5. Darel Oris Tristan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jadi, sekarang kamu memiliki Sugar Baby?"

Pertanyaan seseorang barusan mampu membuat Darel tertawa kecil. Darel bahkan belum mengatakan apa pun pada John tapi kini malah sahabatnya sudah tahu tentang Deandra. Ternyata, berita dirinya menyelamatkan seorang gadis di kelab tersebar.

"Apakah kelab malam ini menjadi tempat bergosip?" jawab Darel sembari melirik Deandra yang baru saja keluar dari ruang ganti.

Gadis itu tersenyum malu mendapati Darel tengah mengerling genit padanya. Tahu sang tuan sedang sibuk di telepon, Deandra memilih lebih dulu turun ke lantai bawah. Darel pun tidak menghalangi kepergian gadisnya, membiarkan Deandra menikmati sarapan tanpa dirinya bukanlah masalah.

"Ck! Kamu menyembunyikan hal ini selama dua pekan, Darel. Pantas saja kamu tidak jadi datang malam itu, padahal kami semua sudah berkumpul."

"Ya, aku hanya ingin membuatnya aman dari playboy sepertimu."

John mengumpat pelan, tidak terima dikatai sebagai seorang playboy. Darel hanya tertawa kecil, membayangkan kehebohan tiga sahabatnya jika berkumpul untuk mengorek lebih dalam perihal gadis yang Darel selamatkan. Sebagai sahabat yang tumbuh bersama sejak kecil, mereka memang terbuka dalam hal apa pun. Keterbukaan satu sama lain pastinya sudah dilandasi kepercayaan tinggi dan sudah mengetahui konsekuensi masing-masing jika ada yang melanggar.

"Tapi aku heran, bagaimana kamu bisa memilih gadis belia seperti itu? Sangat tidak menarik, Darel, karena dia tidak memiliki banyak pengalaman. Paling-paling hanya bisa diam seperti patung ketika di ranjang." Terdengar tawa mengejek John dari seberang sana.

"Selengkap apa kamu mendapatkan informasinya?"

"Para gadis di kelab bergosip dengan heboh tentang bos mereka yang diancam oleh anak buah seorang Darel Oris Tristan. Ya, tentunya kamu dan gadis itu menjadi topik hangat, mengingat kamu biasanya tidak peduli pada gadis-gadis yang bersedia telanjang untukmu di kelab."

Apa yang diucapkan John memang benar. Darel bukanlah laki-laki yang senang mencicipi tubuh para gadis di kelab. Meski dia adalah laki-laki normal, tapi otaknya tidak hanya dipenuhi tentang seks. Menjaga diri dengan menolak tubuhnya dapat disentuh oleh siapa saja adalah hal yang sudah Darel lakukan selama satu tahun ke belakang. Perihal cara memuaskan dirinya sendiri, Darel dapat mengandalkan tangannya setiap dia ingin.

"Apa dia semenarik itu? Aku jadi penasaran."

Gairah Darel tiba-tiba naik, membayangkan semenarik apa Deandra di matanya. Rasa bibir gadis itu masih dia ingat lekat, membuatnya ingin melakukan lagi dan lagi. Bahkan kejadian semalam hampir menghilangkan kewarasan Darel. Gadisnya yang duduk dengan bagian depan tubuh terbuka nyaris meruntuhkan pertahanan diri Darel.

"Menjadi yang pertama untuk seorang gadis itu sangat menyenangkan, John."

"Wow! Selugu itu? Pantas saja kamu rela menanggung resiko terkena masalah."

"Perasaan Rosella tidak penting bagiku." Darel lalu menghela napas panjang.

"Ya, hanya keluarga kalian saja yang tidak tahu bagaimana kamu mengabaikan istri cantikmu itu."

"Ck! Malas sekali jika harus membahas dia." Darel melirik jam di pergelangan tangan kirinya, lalu bangkit dari sofa. "Aku akan sarapan sekarang. Kita bisa makan siang dengan yang lain jika kalian ada waktu."

Laki-laki itu keluar dari kamar, menuruni anak tangga dengan langkah pelan sembari membayangkan wajah manis Deandra yang sedang sarapan. Dugaan Darel tidak meleset jauh, karena sesampainya di lantai bawah, gadisnya berdiri di balkon menghadap samping dan tengah menyesap teh.

Rambut gadis itu bergerak-gerak pelan, karena desiran angin. Langkah Darel terhenti sejenak untuk menikmati lebih banyak bagaimana Deandra membuat paginya bersemangat. Meski hanya dari samping, Darel tetap bisa meneliti kecantikan Deandra.

"Kelab, nanti malam."

"Aku tidak bisa. Gadisku sudah terlalu lama sendirian."

"Darel, kamu benar-benar-"

Sambungan telepon Darel putus secara sepihak. Apa yang dia saksikan saat ini jauh lebih menyenangkan daripada melayani sahabatnya. Segera, dia memasukkan ponsel ke saku celana dan menghampiri Deandra. Gadis itu seketika menoleh, mengetahui ada derap langkah yang mendekat.

"Kenapa tidak sarapan?"

"Deandra menunggu Tuan."

Tanpa kata, Darel meraih tangan Deandra dan mengajak masuk untuk duduk bersama di meja makan. Keduanya duduk berseberangan, hingga Darel dapat mengamati dengan leluasa bagaimana sikap gadisnya di meja makan.

Sarapan bersama terakhir mereka hari itu masih diingat oleh Darel dan kondisinya agak berbeda dengan sarapan kali ini. Tidak ada lagi Deandra yang malu-malu mengunyah makanan. Laki-laki itu sedikit menyesal tidak bisa melihat langsung bagaimana gadisnya berubah sikap hanya dalam waktu dua pekan.

"Aku mau kamu memiliki pendidikan tinggi." Darel membuka percakapan yang seketika membuat Deandra tertarik. "Aku akan memanggil pengajar pribadi untukmu. Usiamu masih muda, sangat disayangkan jika harus melewatkan pendidikan."

Pelan, Deandra mengangguk. Tidak perlu lagi dia tanya kenapa Darel tiba-tiba membahas masalah pendidikan. Agustin yang memberi tahu, itu pasti. Beberapa hari lalu Agustin memang membicarakan pendidikan terakhir Deandra. Lagi-lagi karena alasan keterbatasan ekonomi, gadis itu tidak mampu melanjutkan ke jenjang menengah atas.

"Besok pengajarmu akan datang. Pastikan kamu belajar dengan sungguh-sungguh." Lagi, Deandra mengangguk. Tidak ada bantahan, itu yang Darel suka. "Apa kamu suka ponsel barumu?"

"Tidak. Deandra tidak suka."

Kening Darel mengerut. Seingatnya, dia sudah menyuruh Agustin membelikan ponsel keluaran terbaru dengan aplikasi lengkap yang pastinya akan menyenangkan Deandra.

"Apa ponselnya tidak bagus?"

Darel menyesap kopi sembari menunggu jawaban Deandra. Tidak langsung menjawab karena sedang mengunyah quiche, Deandra hanya melirik sekilas ke arah Darel. Ada sesuatu, Darel tahu, karena sampai lima menit berlalu, gadis di hadapannya masih diam.

"Deandra ...."

Panggilan pelan, tapi penuh penekanan itu akhirnya membuat Deandra menghabiskan dengan cepat telur dadar keju yang mendapat tambahan jamur, ubi, dan bayam di piringnya. Darel masih sabar menunggu Deandra selesai minum. Padahal laki-laki itu tahu, kalau Deandra tadi sengaja memilih mengabaikan pertanyaannya.

"Deandra tidak suka, Tuan."

Sendok yang tadi Darel pegang, kini dia letakkan pelan di piring. Tadinya ingin dia entak kasar saja, tapi mengingat lawan bicaranya adalah gadis tujuh belas tahun, Darel mengurungkan niat. Dia akan bersikap sebaik mungkin pada Deandra. Berusaha membuat gadis itu tetap nyaman dengannya setiap saat.

"Kamu sudah bilang tidak menyukainya. Sekarang aku ingin tahu alasannya."

Menatap ragu selama beberapa detik, Deandra pun bersuara. Meski mungkin dianggap sebuah kelancangan, dia tidak peduli. Karena Darel yang memaksanya untuk mengaku. Karena Darel yang ingin tahu alasan ketidaksukaan Deandra terhadap benda pipih itu.

"Karena Tuan tidak menghubungi Deandra, jadi Deandra tidak suka ponselnya."

Bersiap-siap atas kemarahan Darel, Deandra menundukkan wajah. Terlalu takut untuk menatap laki-laki itu lagi, karena Deandra paham, dia adalah si tidak tahu diri. Namun, bagaimana lagi, itu adalah fakta sial yang harus diakui Deandra.

Mendengar kaki Darel yang mendekat ke arahnya, Deandra agak berdebar. Pikirannya berkecamuk membayangkan kalau laki-laki itu akan memberi tatapan mematikan. Akan tetapi, sentuhan di dagu yang membuat Deandra mendongakkan wajah, memusnahkan segala pikiran buruknya tadi. Terlebih ketika Darel menunduk dan menyatukan bibirnya dengan Deandra. Deandra terkesiap untuk beberapa saat.

Mungkin itu salah, tapi Deandra memejamkan mata dan menikmati bagaimana Darel mengulum bibirnya penuh kelembutan. Deandra tidak bisa menjelaskan bagaimana sensasi yang dia rasa. Yang jelas, hangat desah napas Darel dan kuluman di bibirnya membuat Deandra kecanduan. Kecupan mesra dan gigitan lembut yang dia terima membuat Deandra ingin lebih lama berada dalam situasi ini.

Sarapan kali ini akan selalu Deandra ingat, karena berakhir dengan ciuman penuh gairah yang mendorongnya untuk membalas bibir Darel.

🍁🍁🍁

"Nanti sore kamu harus menemui seseorang."

"Siapa?" tanya Darel sembari tetap fokus pada laptop.

"Orion Damon, pemilik lahan yang ingin kita beli dan dibangun vila berserta arena rekreasi keluarga."

Seketika Darel menghentikan gerakan jarinya pada keyboard. Mendengar nama Orion Damon membuatnya tertarik. Tidak menyangka, kesempatan untuk bertemu pria setengah abad itu datang begitu cepat.

"Kenapa tidak Ayah saja yang menemuinya?"

"Ayah ada meeting dengan calon investor. Lagi pula, mungkin saja Orion mau menjual lahannya jika kamu yang memberi penawaran."

Pria yang Darel panggil sebagai ayah memperbaiki posisi duduknya. Tatapannya jatuh pada manik cokelat sang anak. Mereka berdua tampak sangat mirip secara fisik, yang membedakan adalah, Darel memiliki pikiran yang cukup kritis dan sedikit licik.

"Jadi masalahnya ada pada Orion yang tidak mau menjual lahan?" Billy mengangguk. "Baiklah, aku akan mendapatkan lahan itu untuk kita."

Tahu sang anak tidak akan menolak, pria itu meletakkan sebuah map di meja Darel. Di dalamnya berisi informasi tentang lahan yang hendak mereka beli, juga beberapa informasi lainnya tentang Orion jika diperlukan. Darel mengangguk mengerti setelah melihat data-data itu.

"Lanjutkan pekerjaanmu, Darel. Ayah akan menunggu hasil pembicaraan kalian."

Pemilik jabatan tertinggi di perusahaan itu meninggalkan ruangan sang anak, menyisakan Darel yang tersenyum sembari menyadarkan tubuh di kursi kebesarannya. Orion Damon, nama itu terus berlarian sejak kemarin di benak Darel.

Pintu ruangan Darel kembali terbuka, sang ayah berdiri di sana. Darel memberi isyarat dengan menaikkan dagunya, menanti apa yang hendak dikatakan pria itu.

"Oh, ya, Darel. Sudah satu tahun, sepertinya Ayah sudah siap untuk menggendong seorang cucu."

Kalimat itu sudah berulang kali Darel dengar dan dia hanya akan memberi jawaban yang sama; belum waktunya.

"Ayah hanya tidak sabar, Darel."

"Tapi sayangnya Ayah memang harus memperbanyak kesabaran."

Lalu Darel sengaja menyibukkan diri dengan laptop, hingga pintu ruangannya kembali tertutup. Laki-laki itu mengembuskan napas panjang, dia bosan dengan pembicaraan perihal anak ataupun cucu. Baginya, memiliki anak haruslah dengan pasangan yang tepat. Karena ada tanggung jawab yang harus dia pikul terhadap tumbuh kembang buah hatinya.

Waktu bergerak cepat, mengantarkan Darel pada senja. Laki-laki itu bersiap untuk meninggalkan kantor dan menuju restoran tempatnya akan bertemu dengan Orion. Sembari mengemudi, Darel menghubungi seseorang. Wireless headset-nya sudah terpasang baik di telinga, siap untuk mendengar suara seseorang di seberang sana.

"Apa yang sedang kamu lakukan?" Darel langsung memberi pertanyaan ketika panggilannya dijawab.

"Deandra sedang duduk di balkon, Tuan."

"Apa sekarang kamu sudah senang atas ponselmu karena aku menghubungimu?"

"I-iya, Tuan."

Tidak bisa ditahan, Darel menarik kedua sudut bibirnya. Gadisnya yang lugu, yang setiap saat mampu mewarnai hati Darel dengan sesuatu yang baru. Katakan saja kalau Darel telah menggila karena memilih membiarkan Deandra berada di sisinya. Nyatanya, Darel memang tidak bisa menghentikan kegilaannya, meski dia punya kesempatan untuk melepas Deandra.

"Jadilah gadis yang baik. Aku akan menemuimu nanti."

"Tuan akan kemari? Tidur di sini lagi?"

"Ya. Apa kamu keberatan?"

"Tidak."

"Bagus. Sampai jumpa nanti malam, Gadis Manis."

Laki-laki dengan tinggi badan 188 sentimeter itu kembali fokus pada jalanan setelah sambungan telepon berakhir. Restoran yang dia tuju sudah tampak. Darel segera memasuki pelataran restoran dan sempat merapikan jasnya sebelum masuk. Seorang pelayan menyapa ramah, juga menanyakan sudahkah Darel membuat reservasi.

"Di sebelah sini, Tuan."

Pelayan tadi menunjukkan arah suatu ruangan setelah Darel mengatakan sudah membuat reservasi atas mama Billy Tristan. Tiba di ruangan pribadi, seorang pria sudah lebih dulu duduk di sana dan menyambut Darel dengan senyum hangat.

"Maaf jika saya terlambat, Tuan Orion Damon."

Segera, Darel duduk di seberang Orion. Wajahnya sudah dia atur agar menampakkan keramahan.

"Tidak masalah, aku juga belum menunggu lama." Orion terdengar sangat tenang. Ekspresinya begitu sulit ditebak.

"Saya hanya tidak paham kenapa Anda tidak menolak pertemuan ini. Padahal, Anda enggan memberikan lahan itu." Tanpa basa-basi, Darel segera menumpahkan rasa penasarannya.

"Anggap saja aku sedang mencari teman untuk bicara."

Tawa pelan Orion terdengar, yang hanya dibalas anggukan oleh Darel.

"Tapi mungkin setelah ini, Anda akan menerima penawaran kami, Tuan."
Sebuah map Darel sodorkan pada Orion. Pria itu langsung menolak dengan menggeser map tersebut ke sisi kanan. Darel masih santai melihat reaksi Orion, tapi itu hanya untuk beberapa saat.

"Aku belum berminat untuk menjualnya, karena lahan itu berada di daerah pegunungan. Mungkin suatu hari nanti aku akan menetap di sana jika bosan pada keramaian kota."

Penjelasan Orion ditanggapi Darel dengan anggukan. Pembicaraan mereka terjeda karena seorang pelayan membawakan pesanan minum Darel.

"Mau sekalian pesan makanan?" tawar Darel.

"Tidak, ini sudah cukup untuk saat ini." Mata Orion melirik secangkir kopi dan sepotong kue keju di meja yang sudah dia pesan ketika baru sampai.

Karena tidak ada pesanan, Darel menyuruh sang pelayan pergi. Kopi yang mengepul di hadapannya dia tatap sejenak sebelum kembali fokus pada Orion.

"Tapi, Tuan, saya akan mendapatkan lahan itu bagaimana pun caranya."

Pembicaraan ini terasa menarik untuk Orion. Beberapa kali terlibat percakapan dengan Billy membuatnya merasakan perbedaan antara ayah dan anak itu. Dengan tenang dia menyesap kopi dan setelahnya siap membalas ucapan Darel.

"Benarkah? Kenapa kamu sangat yakin, Tuan Darel?"

"Karena saya Darel Oris Tristan, dan saya mendapatkan apa pun yang saya mau." Mata Darel menyipit dengan penuh arti, Orion jelas melihatnya. "Apakah Anda masih mencari tahu tentang gadis yang delapan belas tahun lalu Anda tiduri, Tuan Orion Damon?"

Kali ini, ketenangan Orion terusik. Wajahnya tidak bisa menyembunyikan kegugupan yang bercampur ketegangan. Tangannya bahkan sampai bergetar dan urung meraih cangkir kopi. Lain halnya dengan Darel yang memamerkan senyum penuh kemenangan.

To be continued

Selamat pagiiii! Semoga kamu dan kamu selalu sehat.

Apakah kamu berdebar di part ini?

Kalau kalian teliti, di part ini sebenernya mengandung spoiler tentang pernikahan Darel.

Kapan Rosella muncul? Tenang, nggak lama lagi.

Kayak apa sih hubungannya sama Darel? Cus baca pelan-pelan part ini, biar kalian ada gambaran.

Love you from Bali ♥️

Selamat sarapan ditemani roti sobek. Wkwkwk!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro