Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Koridor rumah sakit umum daerah siang itu sudah mulai lengang dari para pendaftar, hanya tersisa beberapa pasien yang telah mendaftar dari pagi dan mereka sedang menunggu panggilan dari pengeras suara yang akan mengarahkan mereka menuju poli kesehatan sesuai keluhan penyakit masing-masing.

Seorang perawat kemudian masuk ke salah satu poli bedah, dan ketika berada di dalam. Ia melirik pada perawat yang sedang bertugas di sana.

"Dokter Raihan masih ada?" Tanyanya, dan segera di jawab oleh yang bersangkutan.

"Iya, kenapa Wid?"

Si perawat, dengan tersenyum semanis mungkin mendekati dokter muda yang berwajah tampan tersebut.

"Dokter, ke UGD, yah. Yang jaga di sana lagi nanganin pasien sesak napas, ada pasien baru masuk, habis kecelakaan. Butuh jahitan dan kayaknya lumayan parah."

Raihan menoleh pada tumpukan med rec pasien berikutnya, dan menemukan hanya tinggal satu pasien lagi tersisa yang harus ia tangani, sehingga saat berikutnya ia menoleh lagi pada si perawat, ia menganggukkan kepalanya.

"Suruh tunggu bentar, ya Wid. Nanti saya kesana."

"Oke, dok. Wid tunggu di UGD, ya."

Raihan mengangguk, dan mempersilahkan perawat poli bedah memanggil pasien terakhirnya.

Tidak lama, sekitar sepuluh menit kemudian, Raihan bergegas menuju ruang UGD yang letaknya berada di bagian depan rumah sakit. Seperti antrian di bagian poli, kondisi UGD juga sudah tidak seramai pagi, lagipula UGD biasanya menjadi base pertama penanganan yang membutuhkan penanganan darurat seperti serangan jantung, kecelakaan, yang jika tidak ditindak lanjuti secara cepat akan berbahaya bagi kelangsungan nyawa pasiennya, sehingga hanya akan ramai pada saat-saat tertentu saja.

Saat masuk, seperti kata perawat yang bernama Widya tadi, dokter jaga UGD sedang membantu seorang pasien yang kelihatannya kesulitan bernapas.

"Dokter Raihan, pasiennya di sini."

Suara Widya membuat pemuda itu menoleh, dan ia kemudian mendekati salah satu bilik yang tertutup gorden.

"Abaaang, jangan tinggalin..."

Sebuah suara yang terdengar familiar membuat Raihan menolehkan kepalanya.

Bukan Jasmine, pikirnya.

Padahal ia baru saja melihat gadis itu pagi tadi. Terkapar tidak berdaya sehabis operasi pengangkatan tumor otak.

"Bang, Anggie nggak mau ditinggal sendirian." Suara pasien itu kembali menari-nari dalam telinga Raihan. Membuatnya nyaris tersenyum, betapa kuat efek yang ditoreh Jasmine padanya, sehingga orang lain pun akan disangka seperti dia.

Raihan mencoba mendekati pasien itu dan tertegun dengan apa yang dilihatnya.

Seorang pegawai negeri, masih memakai seragam PDH berwarna khaki sedang terduduk sambil memegangi dadanya yang terluka, darah menetes sampai ke ujung jarinya, kakinya yang seharusnya mulus dan jenjang penuh baret dan lecet.

"Ada yang bisa dibantu?" Katanya, membuat PNS lelaki yang berada di samping pasien mundur beberapa langkah untuk memberi ruang pada Raihan.

"Kecelakaan, dok." Kata si pria, sementara yang wanita masih menundukkan kepalanya.

"Jatuh dari motor?" Tebak Raihan, lagi, si pria itu menjawab, sambil menahan tawa.

"Pohon mangga, dok." Katanya sambil terkikik, membuat si pasien wanita mendongakkan kepala dan mulai bicara.

"Abang ih, Anggie bilang nggak usah ketawa."

Raihan tersenyum. Namanya Anggie, pikirnya. Namun ketika menoleh pada badge nama dan kartu asuransi, tertulis namanya adalah Kenanga.

"Oke kalau begitu saya periksa dulu. Wid, tolong bantu dilepas bajunya, soalnya mau di cek pendarahannya, sama mau diambil sisa patahan yang menancap."

"Oke, dokter." Kata Widya patuh, kemudian perawat tersebut menoleh lagi pada Anggie.

"Ibu, bajunya dilepas dulu, mau kita periksa."

Wajah Anggie tampak pias.

"Hah? Buka apa?"

"Baju ibu dibuka dulu, lukanya mau dibersihkan, dan dijahit." Widya menjelaskan.

"Siapa yang jahit? Suster kan?"

Widya menggeleng, ia melirik Raihan yang sudah memakai sarung tangan karetnya.

"Dokter Raihan, bu."

Anggie menatap Raihan dengan wajah seperti habis melihat setan.

"Nggak ada yang perempuan, sus?"

Perkataannya itu membuat Raihan menoleh padanya, sementara wajah Edo, sudah memerah karena menahan tawa.

"Bang Edo, lo kaga bilang dokternya laki. Tau gini gue dianter ke bidan aja tadi." Anggie mulai menggerutu, membuat Edo perlahan-lahan mundur teratur dan menjauh dari tempat itu sebelum terkena sasaran mulut pedas milik Anggie, sementara wajah Raihan sudah berubah masam.

"Nggak ada ibu, dokter jaga perempuan lagi off duty, lagian dokter Raihan ini dokter bedah, sekalian mau jahit luka ibu soalnya."

Anggie memejamkan matanya, sakit di dadanya sudah berdenyut-denyut dari tadi, dan ia sebenarnya juga sudah tidak tahan lagi, tapi membayangkan ada seseorang yang melihatnya membuka baju aduh, dia tidak sanggup, walaupun dokternya berwajah ganteng.

Hm, wajah pak dokter tak kalah ganteng dengan mas Koko.

"Ibu Kenanga...?" Widya memanggil kembali nama Anggie yang terlihat diam tak bereaksi.

"Iya..ya."

"Saya bantu ya, bu." Kata Widya lagi, dengan perlahan membuka kancing baju Anggie satu demi satu. Saat hendak membuka salah satu lengan baju, Anggie mengaduh.

"Maaf, bu. Saya pelan-pelan, kok." Kata Widya, mengamati perubahan wajah Anggie yang jelas merasakan kesakitan.

"Iya, suster. Tapi gimana ini rantingnya masih nancep?"

Widya kemudian menoleh pada Raihan.

"Dok, ini langsung dicabut atau gimana? Bajunya nggak bisa dibuka seluruhnya."

Raihan kembali mendekat. Ia sedikit terbatuk saat menyadari Anggie kini hanya memakai kamisol tipis berenda berwarna cokelat muda sehingga ia bisa melihat pakaian dalam gadis itu yang berwarna nude.

Profesional, Raihan. Pikirnya.

"Kita cabut dulu, rasanya akan sakit, saya nggak akan berbohong, jadi anda tahan sebentar, ya." Katanya sopan, membuat Anggie segera membelalakan matanya ketakutan. Tapi satu yang Raihan salut, wanita ini tidak menangis, atau belum.

"Tolong berbaring dulu." Katanya lagi,membuat Anggie dengan susah payah membaringkan tubuhnya, lalu tanpa sadar, Raihan membantunya membuat gadis itu tersentak. Namun dia tidak mengucapkan apapun.

Ukuran 36 A, B, atau C? Batin Raihan. Kemudian tanpa sadar ia menggelengkan kepalanya sendiri, mencoba menepis sesuatu yang menggoda pikirannya.

Dengan sebuah penjepit, Raihan dengan perlahan mencabut ranting yang menancap, sampai akhirnya sebuah suara keluar dari mulut Anggie ketika ranting tersebut berhasil dikeluarkan.

"Ayaaam.."

Wid terkikik, sementara Raihan menahan senyumnya.

"Mati dah gue, ampun ya mbak Esih, gak mau lagi dah ngambilin mangga." Dia mulai menggerutu, entah kepada siapa, pikir Raihan sebelum ia mulai bicara lagi pada gadis itu.

"Lukanya agak dalam dan panjang ini, setelah dibersihkan nanti kita jahit, ya."

Wajah Anggie tampak pasrah, terutama saat Wid mulai mengoleskan kapas basah berisi alkohol, lalu Raihan mencari-cari sisa potongan ranting pada lukanya.

"Dok, jahitnya yang bagus, ya. Biar calon suami gue masih nafsu ngeliatnya jangan dibuat kayak cakar ayam."

Raihan langsung batuk-batuk.

"Masih bagus kan, walo segelnya agak bocor dikit?" Kata Anggie polos membuat Raihan tidak tahan lagi untuk tertawa.

"Jangan ketawa, dok. Nanti salah jahit." Bisik Anggie ketakutan menatap pemuda itu. Ketika Raihan menoleh dan mata mereka beradu, Raihan sempat terpaku menatapnya. Hanya sepersekian detik, sebelum ia kembali fokus pada pekerjaannya.

Dia imut, pikir Raihan. Walau tidak seperti Jasmine.

"Aduuduuuh dok, situ bencik ya sama gue? nusuknya dalem banget."

Suara gadis itu membuat Raihan kembali menatapnya. Dia lupa memberi tahu, bahwa sebelum di jahit, ia akan menyuntikkan bius lokal terlebih dahulu di dekat area luka, yang tentu saja rasanya tidak nyaman.

"Maaf, sebelum dijahit, saya bius dulu tadi, biar nanti nggak sakit." Katanya. Membuat Anggie menghela napasnya.

"Ya udah dok, nggak papa. Pasrah deh mau diapain. Yang penting janji ya, dibikin bagus lagi."

Raihan mengangguk sambil mengulum senyum. Benar-benar ajaib pasiennya hari ini, bukannya mengkhawatirkan luka, malah memikirkan calon suami.

Mungkin pria tadi calon suaminya.

"Kerjanya dimana?" Raihan basa-basi, mencoba mengalihkan perhatian Anggie dari rasa sakit, dan perhatiannya sendiri pada gundukan kembar di balik kain tipis yang terlihat menantang di depan wajahnya itu.

"Oh, di dinas pertanian." Jawab Anggie pendek.

"Terus kecelakaan karena naik pohon mangga itu benar?" Tanya Raihan, yang kini mulai memasukkan jarum ke luka sobek milik Anggie.

"Iya, naik pohon mangga, kepeleset gara-gara ada ular. Gue kaget banget, ih geli amit-amit." Anggie bergidik, membuat Raihan dengan melihat jelas rambut-rambut halus di lengan gadis itu meremang.

"Kalau PNS pertanian kerjanya apa, sih?" Raihan bertanya lagi, mengabaikan keinginan untuk mengelus rambut-rambut yang berdiri itu.

"Ya tergantung divisi, ada yang dikantor, bagian kesekretariatan, ada perkebunan, peternakan, tanaman pangan, holtikuktura, ada penyuluhan juga. Macem-macem. Emang pak dokter mau buka lahan pertanian?"

Raihan mengangguk.

"Nanti kalau udah agak santai, kalo udah nikah."

"Waaah belom nikah? Kenapa?" Tanya Anggie kepo. Tanpa sadar ia menoleh dan mendapati Raihan yang sedang fokus menjahit, terpaksa Anggie kembali menatap langit-langit daripada melihat kulitnya ditarik-tarik. Ngeri bok.

"Belum ketemu jodoh."

"Masak siiih? Katanya kalau dokter tuh banyak yang suka. Masa depannya bagus."

"Masak sih?" Raihan balik bertanya.

"Yee, kan eke yang nanya pakdok." Balas Anggie seenaknya.

"Kalau belom ada jodohnya gimana, dong?"
Balas Raihan mencoba memancing sesuatu dari Anggie. Ia menatap gadis itu, yang masih fokus menatap langit-langit, menunggu jawaban darinya.

"Ya, derita situ dong. Kok nanya diriku?" Anggie meringis. Membuat Raihan yang sedang menarik benang jahit sedikit menghentikan gerakannya.

"Sakit?" Ia bertanya. Anggie menggeleng.

"Nggak, cuma agak serem, rasanya kayak ditarik-tarik."

"Tapi hebat, kamu nggak nangis loh. Kebanyakan pasien yang luka begini, biar bapak-bapak kebanyakan nggak bisa nahan sakit." Kata Raihan lagi, membuat Anggie tertawa.

"Ini sih masih mending, dok. Gue pernah ditanduk sama kebo ngamuk. Ampun dah ah, nggak bisa jalan seminggu."

"Kerbau?"

"Iya. Pas mau diinseminasi, itu kebo jantannya tahu kalau kami pake vagina palsu, gue kan lagi posisi megang miss V palsu itu, ya ampun gue diseruduk sampe nabrak pagar." Anggie tertawa, namun setelah beberapa detik dia menutup mulutnya sendiri dan melirik Raihan yang sedang fokus pada bagian terakhir lukanya.

Untung kaga denger. Oon lo Nggie ngomong begituan depan laki-laki. Maki Anggie pada dirinya sendiri.

"Itu cara menggoda kerbaunya gimana biar bisa bergairah? Kamu yang rayu atau kerbau betinanya yang ngerayu?" Tanya Raihan yang kini tampak tertarik dengan cerita wanita itu.

Mampoooos lo Nggie!

***

Anggie centil, ya?

Ini tokoh kebalikan sifatnya dari Jasmine. Kalau Jasmine minderan, cengeng, Anggie ini mirip Rhein versi cewek plus mulutnya tidak bisa di rem. Pokoknya Anggie ajaib deh.

Cantiknya juga kebangetan, bikin Raihan sempat memuji, walau belum bisa move on dari Jasmine.

Kira-kira bisa nggak ya, Anggie menggantikan posisi Jasmine di hati abang Raihan?

Di cerita Anggie di gambarkan berambut pendek, tapi pas nemu visualisasinya, rambutnya panjang. Ya, nggak apa-apa, ya. Yang penting kakak yang ada di foto, sesuai sama image mbak Anggie yang kayak barbie.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro