Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ini plasternya anti air, ya ibu Kenanga." Kata Raihan pada akhirnya, setelah ia menyelesaikan proses penjahitan terhadap Anggie yang wajahnya sudah semerah kepiting rebus.

"Jadi kalau mau mandi, lumayan aman. Tapi tetap di jaga, jangan sampai kemasukan air." Katanya lagi.

"Saya resepkan antibiotik juga penurun panas, jaga-jaga kalau nanti infeksi. Kalau ada sakit, keluhan lain silahkan balik kesini." Anggie menganggukkan kepalanya.

"Saya kasih surat kontrol, tujuh hari lagi kembali kesini, kita cek lagi, buat buka jahitannya."

Anggie langsung menoleh pada Raihan, sebelum pemuda itu meninggalkannya.

"Dok, dalam satu minggu ini, saya mesti keluar kota, itu gimana, ya?"

Raihan menatap Anggie, yang bicaranya mulai berubah menjadi formal sejak dia keceplosan bicara alat kelamin wanita tadi.

"Keluar kotanya jalan-jalan atau gimana?"

"Ada pelatihan di luar kota, sama training. Sekitar tiga hari. Pengaruh nggak sama lukanya nanti?"

"Kalau cuma duduk-duduk, sih nggak apa-apa. Kecuali kalau kamu lari-lari, atau aktivitas berat lainnya, paling terasa nyeri."

Anggie tampak berpikir, sambil mengerucutkan bibirnya, membuat Raihan terpaku pada wajahnya selama beberapa detik.

"Saya kasih surat rekomendasi, kalau kamu sakit, jadi nanti kalau ada aktivitas berat, bisa jadi pertimbangan bisa izin. Gimana?"

Anggie langsung menganggukkan kepalanya.

"Bisa ya? Oke, saya mau, dok. Tolongin ya, pak dokter yang baek." Raihan tersenyum. Kemudian ia menjauh dari bed tempat Anggie berada menuju mejanya, dan menyuruh Widya untuk mengetikkan surat rekomendasi.

Anggie yang sudah diobati lukanya, lalu berinisiatif bangun, dan hendak memakai pakaiannya, sementara Widya yang tadi membantunya sudah lebih dahulu keluar dari ruang UGD.

"Butuh bantuan?" Tanya Raihan sambil melirik Anggie yang tampak kesulitan, namun Anggie menggeleng.

"Bisa, kok, pak. Enteng ini, Aadduuuh."

Anggie mengerang, saat ujung badgenya menyenggol tangannya yang luka, membuat Raihan langsung bangkit dari tempat duduknya untuk membantu.

"Dok...dok...disitu aja. Beneran nggak apa-apa, kok."

Jantung, elo jangan maen dag dig dug aja. Kaga enak banget ini rasanya senat-senut.

Akhirnya karena tidak diizinkan membantu, Raihan berdiri di tempatnya sampai Anggie selesai mengancingkan seluruh pakaiannya. Tepat pada saat itu, Edo dan Widya kembali masuk.

"Udah beres, Nggie?" Tanya Edo, membuat Anggie mengangguk, kemudian menjulurkan tangannya.

"Bang, bantuin Anggie turun, dong. Susah ini tinggi banget." Katanya.

Dengan sigap Edo mendekat dan meraih tangan Anggie untuk membantunya turun kemudian memapah gadis itu menuju meja Raihan.

"Nah, ini surat rekomendasinya, ini surat kontrol, resep silahkan nanti di tebus di apotik. Sampai bertemu tujuh hari lagi." Kata Raihan sambil tersenyum.

"Cepat sembuh." Ia menambahkan, yang segera di balas senyuman oleh Anggie.

"Makasih pak dokter yang masih jomblo. Semoga tujuh hari lagi udah ketemu jodoh, ya." Ia terkikik sendiri mendengar ucapannya, yang kemudian di hadiahi kepretan surat-surat pemberian Raihan yang sudah berada ditangan Edo.

"Idih, bang Edo." Anggie bersiap memuntahkan kekesalannya kepada Edo saat Raihan kembali bicara.

"Aamin. Jangan kerja yang berat-berat dulu ya, bu."

"Pak, saya ini masih single dan available, jangan panggil ibu, dong. Ntar kalo anak saya dah lima boleh tu dipanggil ibu. Tapi cocoknya sih macan ternak. Mama cantik anter anak."

"Berisik lo Nggie!" Kata Edo sambil menuntun tangan Anggie yang berjalan tertatih-tatih keluar ruang UGD meninggalkan Raihan dan Widya yang sudah tertawa dari tadi.

Sesampai di mobil, Anggie bersandar pada kursi penumpang sambil memegangi dadanya, membuat Edo yang sudah duduk di kursi pengemudi menatapnya cemas.

"Masih sakit, Nggie? Kita langsung balik kerumah lo abis ini. Tadi mbak Esih bilang nggak usah ke kantor. Urusan surat tugas udah di kasih sama pak Moko semua."

Anggie menggeleng dan mengangguk, membuat Edo berdecak bingung.

"Dokternya ganteng bangeeet, bang." Katanya sambil tersenyum-senyum.

"Haish. Gue kira apaan. Dah kita balik nih, emak lo udah dikasih tahu belom?"

"Belom, bang. Ntar aja pas dirumah. Tangan Anggie masih ngilu, nggak sanggup pegang hape. Tapi kalo makan bakso mercon, Anggie masih sanggup, bang."

"Elo modus aja."

"Beliin ya, bang. Anggie belom makan dari tadi. Untung perut Anggie kaga bunyi di depan pak dokter."

Setelah menjalankan mobilnya, Edo mengangguk.

"Iya, bawel"

"Jangan doyan marah, bang Edo ganteng. Entar mbak Kiki nggak betah."

"Hush.. brisik!"

Anggie tertawa di sela-sela usahanya menahan nyeri di sekujur tubuhnya.

***

Saat kembali ke rumah sakit untuk melepaskan jahitan seminggu kemudian, Anggie ditemani oleh ibunya, yang ketika mengetahui kecelakaan anaknya menjadi histeris bukan main. Apalagi dua hari kemudian Anggie harus mengikuti pelatihan di Bandung, yang menyebabkan dirinya cemas bukan main. Untunglah, ketika kembali keadaan Anggie baik-baik saja, plus tetap sarap seperti biasa.

"Nanti kita langsung kemana, Nggie?" Tanya sang ibu kebingungan melihat kondisi rumah sakit yang mulai ramai pagi itu.

"Tadi dibilangin langsung ke poli bedah, mak. Kan surat kontrolnya ditandatangani sama dokter bedah."

"Yaelah, emak juga tahu. Kalo yang nandatangani surat elu dokter kandungan, elu ke dokter kandungan." Balas sang ibu, membuat Anggie menggelengkan kepalanya.

"Ih, emak. Ngapain juga Anggie ke dokter kandungan. Emak rela?"

"Rela kalo elu dah kawin. Berarti sukses laki lu "nembak" ampek blendung."

Fix, emak anak sama sarapnya.

"Jiah, emak masak nembak? Mati dong Anggie entar." Gadis itu terkikik geli.

"Lah elu, umur udah dua lima, nggak punya pacar, tuh si Ipeh anak mang Kosim, umurnya delapan belas tahun anaknya udah dua." Balas si Emak, membuat Anggie langsung mengerucutkan bibirnya.

"Buset dah Mak, ngomong nggak kira-kira, la si Ipeh itu pan nyoblos duluan. Mak mau anak emak di coblos duluan?"

"Amit-amit Nauzubilah, gua cemplungin lu kesumur kalo kejadian."

"Yaelah, emak tega." Anggie meringis.

"Makanya, Eh, elu mau kagak dijodohin sama anak temen sekolah emak dulu? Anaknya ganteng loh. Kalo mau ntar emak mintain fotonya."

Ini lagi, pikir Anggie. Sudah beberapa kali emaknya mencoba menjodohkan Anggie dengan beberapa pemuda. Karena Anggie baik dan nurut sama emaknya, dia tidak pernah menolak, namun setelah beberapa kali pertemuan dengan mereka, biasanya Anggie akan menghilang tanpa kabar. Atau minta tolong pada ke empat abangnya di kantor untuk berpura-pura menjadi pacar mereka. Pokoknya sebisa mungkin dia mencoba menolak perjodohan emaknya dengan cara halus.

Dia belum bisa melupakan pria itu.

"Nggie, gimana? Mau kagak?" Bujuk emaknya, membuat Anggie seperti biasa sulit untuk menolak.

"Ya, Anggie coba dulu. Ntar emak kasih aja fotonya, kalo cocok Anggie sosor dah."

"Idih, lu kate anak emak bebek."

Mereka tertawa.

Lalu terdengar nama Anggie di panggil oleh pengeras suara, sehingga mereka berdua menghentikan obrolannya dan bergegas menuju poli bedah.

Saat mereka masuk, Raihan sudah berada di mejanya, dan tersenyum kepada Anggie.

"Ibu Kenanga gimana kabarnya?" Tanya Raihan, membuat Anggie mengerutkan dahinya.

"Pak dokter dibilangin jangan panggil ibu, ih." Tapi tak urung Anggie membalas senyuman Raihan.

"Oke, deh, mbak Kenanga sudah baikan?"

Cape deh ,pikir Anggie.

"Kabar baek, pak dokter."

"Lukanya masih sakit?"

Anggie menggeleng.

"Yuk kita periksa, sekalian buka jahitannya. Naik ke ranjang periksa dulu, ya." Pintanya. Anggie menurut, sementara emaknya memilih duduk di kursi yang tersedia.

Seorang perawat ruang bedah membantu Anggie melepas kemejanya. Pada hari itu, Anggie sudah memakai tanktop yang tebal, sehingga ia tidak begitu malu saat Raihan mendekat padanya.

Saat perawat melepas plaster anti air dengan pelan, Anggie menahan napasnya. Tidak sakit, tapi lem yang merekat pada plaster ikut menarik rambut-rambut halus pada permukaan kulitnya.

"Lukanya sudah kering, kita cabut benangnya, ya. Santai aja, nggak sakit, kok." Raihan meyakinkan.

"Kalo sakit?"

"Kalo sakit ya teriak 'ayam' lagi aja."

Anggie mendengus menahan tawa yang nyaris lolos dari mulutnya.

"Inget aja, dok." Katanya, membuat Raihan tersenyum lagi.

Dengan perlahan Raihan menarik ujung benang yang menjahit luka di tubuh Anggie. Gadis itu tidak mengaduh, namun wajahnya menunjukkan kalau dia merasa tidak nyaman. Untunglah proses itu tidak lama, dan diakhiri dengan mengoleskan cairan betadine.

"Yap, sudah selesai." Kata Raihan pada akhirnya, lalu kembali ke mejanya, sementara Anggie sudah bangun dan memakai kembali kemeja biru bermotif bunga miliknya.

Setelah selesai, ia ikut duduk di samping emaknya, yang entah kenapa menatap Raihan seperti seseorang yang baru mendapat undian panci gratis dari sabun colek, bahagia.

Duh emak, malu-maluin aja, mentang dokternya ganteng. Inget umur, mak.

"Elu Rehan, bukan?" Kata Emak Anggie tepat pada saat Raihan duduk di kursinya, membuat pemuda itu menoleh, namun pada akhirnya mengangguk.

"Anaknya bu Santi sama bapak Sastra?" Tanyanya lagi, membuat Raihan untuk kedua kalinya mengangguk.

"SMA nya SMA dua, kan? Temennya Akbar?"

Raihan menatap Emak Anggie dengan takjub, seolah sadar akan sesuatu.

"Eh, ibu mamanya Akbar, ya? Saya nggak sadar, sudah lama nggak ketemu." Raihan lalu buru-buru bangkit, dan mencium punggung tangan emak Anggie, membuat anaknya menatap dengan heran.

"Pak dokter teman bang Akbar? Gue kok kaga tau, ya?" Anggie menggaruk kepalanya dengan bingung. Sementara Raihan sudah kembali ke kursinya.

"Iya, temen pas SMA, pas kuliah udah nggak sempat main lagi, sudah sibuk."

"Hm.." Anggie manggut-manggut, sementara wajah emaknya sudah berubah menjadi antusias.

"Kagak nyangka dunia kecil, ketemunya disini lagi. Padahal ibu minggu kemaren baru ketemu orang tua kamu."

Serentak, Raihan dan Anggie menoleh kepada wanita itu.

"Ini si Rehan yang mau dijodohin sama elu, Nggie." Kata emaknya polos. Membuat Anggie tidak bisa menghentikan dirinya untuk membuka mulutnya karena kaget mendengar berita itu, sementara Raihan, yang memang sudah diberitahukan sebelumnya oleh orang tuanya tentang perjodohan, sama sekali tidak menyangka bahwa gadis yang pernah mengucapkan kata "semoga tujuh hari lagi sudah ketemu jodoh" adalah orang yang akan dijodohkan dengannya.

Emak Anggie benar, dunia memang sempit.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro