Empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dunia itu sempit.

Kata-kata itu kemudian selalu terngiang dalam kepala Anggie bahkan beberapa hari setelah insiden di rumah sakit. Saking bingungnya, Anggie bahkan tidak bersuara sama sekali usai sang emak mengatakan bahwa Raihan dan Anggie telah dijodohkan.
Bahkan saat keluar dari poli bedah, yang Anggie lakukan hanya menundukkan kepalanya sampai mereka mencapai parkiran motor, dimana belahan hati Anggie, si Jamilah, terparkir dengan anggun.

"Helm lu kebalik, Nggie." Emak memperingatkan ketika Anggie salah memasang helm di kepalanya.

"Model baru, Mak." Anggie ngeles, namun akhirnya ia memperbaiki posisi pelindung kepalanya itu, kemudian menstarter Jamilah yang mulai meraung lembut.

"Anak emak, kepikiran ya, sama jodohnya yang ganteng? Kok jadi pendiem begini, sih?"

Anggie terkikik geli.

"Anggie malah nggak inget pernah ketemu ama pak dokter sebelumnya, mak. Apalagi emak bilang, tuh dokter temennya Abang pas SMA. Berarti kan minimal Anggie SD atau SMP, mak."

"Sekelas tiga tahun kalo nggak salah, kalian beda empat tahun, kok. Rehan itu seumur Akbar, dua sembilan. Bedanya, ya si Akbar anaknya mau tiga." Emaknya menjelaskan.

"Emak napa bisa ketemu ortunya pak dokter, sih?"

"Namanya Rehan." Kata si Emak lagi. "Ketemuan pas acara kawinan anaknya pak lurah. Dari situ ngobrol-ngobrol, sampe emak tukeran nomor hape. Namanya juga teman lama, Nggie."

Anggie manggut-manggut. Bekas luka jahitannya memang sudah tidak menimbulkan nyeri lagi, namun sesuatu di dadanya mulai berdenyut tidak nyaman. Semenjak emaknya menceritakan tentang perjodohan dan Raihan, semakin dirinya terkenang dengan pria itu, Bhumi Prakasa, sang mantan yang meninggalkan jejak pedih dalam perjalanan hidupnya.

"Anga, maafin aku. Aku khilaf mencium dia. Kamu nggak boleh mutusin hubungan kita sepihak begini, aku nggak rela."

"Astaga Bhumi, kamu nggak nyadar kalau kamu salah, dan kamu merasa aku yang menzolimi kamu?."

"Siapapun yang disodori ikan asin, nggak bisa nolak." Bhumi mencoba membela dirinya sendiri.

Kenanga menatapnya dengan mata yang sudah basah.

"Kamu tahu kita sudah akan menikah, tapi kamu malah santai dipergoki cuma dengan celana dalam kamu, dan dia nyaris tidak pakai baju sama sekali, dan kamu bilang cuma sekedar ciuman. Kamu kira ucapan kamu masuk akal?"

"Coba kalau kamu mau memperhatikan kebutuhan aku, tidak mungkin aku..."

Sebuah tamparan melayang ke pipi pemuda itu, di sertai tendangan di selangkangannya. Membuat Bhumi langsung jatuh tersungkur memegangi pusakanya yang mendadak menciut.

"Sebaiknya kamu jangan muncul lagi di depan aku, atau aku akan berbuat lebih dari yang kamu tahu." Kata Kenanga untuk yang terakhir kalinya, sebelum ia berlari dengan air mata bercucuran.

Laki-laki kurang ajar.

"Bengong begini, bukan Anggie banget, loh."

Sebuah suara dari depan kemudi menyadarkan Anggie kalau dia sekarang tidak sendiri. Ada Koko di sebelahnya sedang mengendarai mobil 4 WD yang memang dipakai sebagai kendaraan dinas kantor saat mereka mengunjungi daerah-daerah yang sulit dijangkau. Mereka berdua baru saja selesai melakukan penyuluhan untuk kecamatan yang memiliki masalah dengan pembiakan sapi dan kerbau. Setelah melakukan tugas lapangan selama tiga hari, pada hari itu mereka kembali ke ibu kota.

Sayangnya, Koko yang bertugas sebagai pendamping Anggie langsung mengetahui kalau si cerewet di sebelahnya sedang mempunyai masalah. Karena jika sedang waras, Anggie yang asli tidak bakal diam barang satu detik pun.

"Anggie bangetnya kelaperan, mas Koko. Bolehlah mampir ke tukang somay atau batagor." Jawab Anggie asal.

"Beneran mau makan? Nanti mas berhenti di tempat makan yang kamu mau."

Dibanding Edo, Maiza dan Hassan, Koko lebih kalem dan ngemong, tidak heran Anggie lebih suka manja kepadanya. Apalagi di kantornya, Anggie adalah anak bungsu. Setelah Anggie, tidak ada lagi pegawai berusia di bawahnya.

Anggie mengangguk. Tidak lama Koko membelokkan mobilnya ke pelataran parkir sebuah pujasera yang berada tidak jauh dari tempat mereka bicara sebelumnya.

"Jadi, Anggie cantik ada yang mau diceritakan sama mas?" Kata Koko saat mereka sudah menghenyakkan pantat masing-masing ke bangku yang tersedia di sana.

"Anggie dijodohin sama Emak, mas."

"Terus salahnya dimana?"

"Salahnya karena nggak bener, mas."

"Aduh, mas bingung. Kalo salah, emang nggak bener toh?"

Anggie mengangguk.

"Tiba-tiba Anggie inget mantan, mas. Kebayang dia dulu nyakitin Anggie sampe susah move on. Takut kalau cowok yang dijodohin sama Anggie juga begitu."

Sebelum Koko menjawab, pesanan mereka tiba. Setelah si pelayan berlalu, barulah Koko mulai bicara.

"Kamu nggak bisa mengeneralisir semua cowok sama, Nggie. Buktinya kami, abang-abang kamu di kantor, semua nggak ada yang suka macem-macem, kok."

"Ya iya, semacem doang. Macem Luna Maya, macem Raisya, macem Nikita Mirzani."

Koko tertawa.

"Ya gimana, dong? Kalo kata Mas baiknya dicoba jalani aja dulu. Kalau cocok ya lanjut, kalau nggak, kamu bisa minta berhenti."

Anggie kemudian mengaduk-aduk potongan batagornya dengan asal.

"Anggie dulu nggak kayak gini loh mas. Dulu Anggie kalem, lembut, kemayu kayak putri keraton. Kalau teman SMA atau kuliah ngeliat Anggie jadi begini, bakalan heboh semua. Gara-gara si kunyuk itu, Anggie jadi begini. Keliatan aja garang, tapi hati Anggie tercabik mas."

"Tapi mas lebih suka Anggie yang begini, daripada kemayu. Anggie mode singa lapar lebih menggoda."

"Gigit ya, ngatain orang singa lapar."

"Jangan dong, Nggie. Nanti badan mas penuh tanda cinta dari kamu. Pulang-pulang mas kena bacok mbak Vivi mu, bahaya."

Anggie mengerucutkan mulutnya. Kecuali Maiza, ketiga abangnya yang lain sudah menikah. Untunglah semua istri abangnya itu tidak ada yang baper melihat Anggie manja dengan mereka, karena selain tuntutan pekerjaan, Anggie juga tidak memiliki perasaan apapun walau abang-abangnya memiliki tingkat kegantengan jauh diatas cowok boyband.

"Sekarang mas Koko yang ngawur. Mentang-mentang sudah tiga hari nggak ketemu istri. Ya udah mas, yuk cabut. Anggie kasian sama mas Koko, pasti sudah ngilu dari tadi."

Koko yang sedang menyeruput es jeruknya terpaksa menyemburkan separuh minumannya, untung saja tidak mengenai tetangga sebelah mereka.

"Ya ampun, Nggie, baek banget sama masmu." Kata Koko menahan malu gara-gara suara Anggie yang lumayan besar membuat beberapa orang menoleh kepada mereka.

"Baek lah mas. Ini Anggie loh. Hihi."

"Nah, sarapnya sudah balik lagi. Dah hayo kita pulang." Kata Koko yang kemudian beranjak menuju kasir.

Lima belas menit kemudian, Koko berhasil mengantar Anggie hingga ke halaman rumahnya. Setelah gadis itu turun dan melambaikan tangannya, Koko langsung bergegas pergi, setelah sebelumnya memberi tanda klakson.

Sepeninggal Koko, akhirnya Anggie memutuskan untuk masuk. Namun beberapa langkah menuju rumah, pemandangan asing menyergap indra penglihatannya, terutama kehadiran beberapa orang yang belum pernah ia temui sebelumnya, dan orang itu?

"Nah, itu si Anggie pulang. Sini, Nggie. Ada tamu buat kamu." Suara emaknya memanggil Anggie untuk mendekat. Dengan raut kebingungan terpaksa Anggie menyeret langkahnya menuju beranda yang dipenuhi orang tuanya dan tamu tersebut.

Wajah Raihan lah yang pertama terlihat diikuti sepasang suami istri berusia paruh baya, yang ditilik dari kadar kemiripan wajah dengan Raihan, bisa ditebak mereka adalah orang tuanya.

Ck, ngapain coba mereka kemari?

"Anggie, jangan bengong. Ayo sini." Sang emak kembali memanggil. Walau enggan, pada akhirnya Anggie melangkah mendekati mereka.

"Aduh, cantik banget. Ini namanya Anggie?"

Kata tamu perempuan yang ditebak Anggie sebagai ibu Raihan. Anggie mengangguk sambil mencium tangannya, begitu juga dengan ayah Raihan. Namun ketika sampai pada Raihan, dia bingung harus berjabat tangan atau mencium tangannya.

Ck, cium tangan? Emangnya laki gue?

Pada akhirnya mereka hanya bersalaman, itupun Anggie sudah tampak kikuk sekali, apalagi saat Raihan tersenyum padanya.

Emak tega banget, ih. Gue baru balik gini, asem banget pasti aromanya. Hadeh!

Sementara Raihan yang menyaksikan Anggie sejak gadis itu turun dari mobil, tidak berhenti mengulum senyum. Ia tidak menyangka, kali ketiga bertemu gadis ini, status mereka akan menjadi pasangan yang dijodohkan.

Apalagi sejak terakhir bertemu hampir satu minggu yang lalu, Anggie mendadak diam saat ibunya mengucapkan kata perjodohan. Lucu rasanya membayangkan seseorang yang dua kali ia temui selalu bicara panjang lebar, kemudian diam seribu bahasa.

Anggie jelas tidak sama dengan Jasmine yang sebelum ini selalu mengisi hari-harinya, bahkan saat ia sibuk menjalani tugas residen yang padat, tapi tidak ada salahnya mencoba berhubungan dengan Anggie. Toh dia juga sudah merasa nyaman.

Lagian, mana ada lagi bisa menemukan pegawai negeri yang cantik, tapi memanggul tas ransel super besar berwarna pink, dan memakai sepatu kets senada, serta jam tangan pink juga.

Hm, kalau yang satu ini, Raihan jelas tidak gaul, karena di lapangan yang sebenarnya, malah ada PNS yang memakai sepatu boot, mendorong motor bututnya yang tenggelam dalam lumpur, atau juga mengajar di sekolah yang hampir rubuh.

"Anggie dari mana? Kayaknya capek banget." Ibu Raihan kembali bersuara, saat itu emak Anggie sudah memaksa gadis itu duduk berhadapan dengan Raihan.

"Dari dinas luar, ada tugas penyuluhan ke daerah tiga hari. Baru pulang hari ini, bu." Kata Anggie sopan. Dia sendiri takjub kenapa bisa kemayu begini, apa karena dihadapan calon mertua? Eeebuseet.

"Nggak usah panggil ibu, panggil bunda aja. Sama kayak Raihan." Wanita itu tersipu, membuat Anggie nyaris jatuh.

Plis deh, bunda? Lah, bapake siapa? Panda?
Brisik deh, Nggie. Kaga sopan tauk

Setelah Anggie duduk dengan canggung, baik emaknya dan bunda Raihan menatap mereka berdua sambil senyum-senyum. Sementara bapaknya Raihan sih biasa saja. Mau ikut senyum, nanti kebanyakan pula yang senyum. Anggie saja sampai bingung, ini acara apa kok semuanya pada senyum.

"Mereka cocok, ya jeng." Suara emak Anggie kemudian diiringi anggukan dari bunda Raihan.

"Nah, jadi kalau sudah begini kita bisa putuskan saja." Bapaknya Raihan kemudian berbicara, membuat Anggie langsung mendongak pada pria itu.

Serem ih, sekalinya ngomong langsung ngasih vonis.

Emak Anggie langsung menyambar.

"Elu gimana, Nggie?"

Anggie menoleh pada emaknya, kebingungan, sebenarnya lebih pada pura-pura tidak tahu, sih, tapi dia kan harus jual mahal dan pura-pura oon dulu, ngapain juga pak dokter harus ganteng banget hari ini?

"Raihannya juga gimana?" Bunda Raihan menoleh pada anaknya.

Anggie menggaruk rambutnya. Sudah tiga hari dia belum keramas, rasanya sungguh tidak nyaman namun mendapati tatapan orang tua Raihan dan emaknya sendiri, rasa tidak nyaman itu bertambah sepuluh kali lipat.

"Raihan ikut gimana Kenanganya saja, bunda."

Ck, emang gue mau kemana, sih pak diikutin?

"Anggie nya gimana?"

Pernahkan kalian tertangkap basah mengintip orang mandi? Belum? Sama, Anggie juga. Tapi ekspresi yang dia tunjukkan saat ini tidak jauh berbeda dengan ekspresi yang di dapatkan kalau ketahuan mengintip orang mandi, alias malu-maluin. Apalagi saat yang bersamaan Raihan juga menatap matanya dengan penuh rasa ingin tahu.

Setelah menyerahkan semuanya kepada Anggie, kini Raihan jadi penasaran, kata-kata apa yang akan dikeluarkan oleh mulut Anggie yang manis itu. Namun yang ia dapati sekarang adalah gadis itu nampak gagap, kehabisan ide untuk mengutarakan apa yang ingin ia katakan.

Ayo Kenanga, aku menunggu mulut manis kamu mengeluarkan senjatanya.

"Raihan ini sudah umurnya loh buat berumah tangga, dia juga kayaknya sudah siap lahir batin. Cocok dengan Anggie yang kata ibunya sedang mencari calon suami." Bunda Raihan kembali bicara, membuat Anggie melotot garang pada emaknya.

Emak, ih. Sejak kapan Anggie minta dikawinin?

"Iya, Nggie, terima aja. Lagian menyambung silahturahmi emak sama bunda Raihan. Elu mau kan, nak?"

Anggie galau mau menggeleng atau mengangguk, tapi saat melihat wajah Raihan yang tersenyum, kepalanya mengkhianati tuannya, membuat Anggie tanpa sadar mengangguk.

Tanpa sadar loh, ya.

Sial.

Entah kenapa, melihat Raihan yang tersenyum seolah setuju dengan keputusan Anggie yang menganggukkan kepalanya membuat ia kembali teringat pada Bhumi?

Bhumi, lagi apa kamu sekarang?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro