Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Entah ada angin apa tiba-tiba kedua orang tua Raihan akhirnya memutuskan untuk pulang lebih dulu, meninggalkan anak bujangnya yang kini duduk berhadapan dengan Anggie yang menatap pemuda itu seperti hendak menggetoknya dengan ujung hi heels Anggie yang terpaksa harus ditinggal di locker kantor. Sementara emaknya sendiri sudah menghilang dengan alasan mau ke warung, meninggalkan mereka berdua yang sepertinya sibuk dengan pikiran masing-masing, termasuk Anggie yang berpikir cara termudah kabur dari hadapan Raihan.

Emak kagak tau apa ya, kalo orang berdua, yang ketiganya setan. Pantesan sih emak lari, kaga mau disangka setan.

Grr.. sempet-sempetnya sih mikir ginian.

"Apa kabar, Kenanga?" Kata Raihan membuka percakapan mereka pada sore itu. Anggie mengerutkan alisnya.

"Setau saya, nggak mesen layanan paska cabut jahitan, deh pak dokter."

Raihan tersenyum.

"Kabar kamu?" Ia mengulang lagi. Membuat Anggie nyaris menggigit lidahnya sendiri.

Keras kepala, ih.

"Kalo nanya kabar, badan saya capek, remek, tiga hari tidur di alas tikar sama nggak keramas tiga hari. Tapi untungnya masih idup sampe hari ini."

"Kamu bisa tidur pake tikar?"

"Jangankan tikar, dok. Pake koran juga bisa, kok."

Raihan menatapnya takjub.

"Biasanya cewek cantik agak cerewet urusan gitu." Katanya lagi.

"Pertama, makasih ya udah muji Anggie cantik, udah setelan dari lahir, kok. Berendem di empang juga masih cantik, nggak perlu jacuzzi ato bath tub. Kedua, emak Anggie dari kecil nggak manjain Anggie, jadi mau di tidur di tanah atau hotel bintang lima, Anggie hayuk aja."

Kepedean ya?

"Tidurnya dimana kok sampai pake tikar?" Tanya Raihan heran.

Anggie lebih heran lagi kepada dirinya ketika dia menjawab pertanyaan pemuda itu dengan santai.

"Di balai desa. Sama rombongan penyuluh lainnya."

"Nggak takut?"

"Takut kenapa? Kecoa? Curut? Nyamuk? Hm, pak dokter, yang Anggie takutin mah, diduain, ditigain, sama ditinggal kawin."

"Oke, saya catat nanti, bahwa Kenanga tidak mau dipoligami."

Anggie menggetok kepalanya sendiri.

"Pak dokter nggak nyuntik orang? Tumben keluyuran." Kata Anggie asal.

"Pertama, nama saya Raihan. Kedua, saya sedang bebas tugas saat bunda mengajak kesini, saya pikir tidak ada salahnya ikut, ternyata saya bisa ketemu kamu, yang hebatnya walau sudah tidur di tikar atau tidak keramas tiga hari masih cantik, dan katanya memang setelan dari lahir."

Wow, eke terkezut.

Anggie sampai lupa menutup mulutnya.

"Situ ngejek apa gimana?"

Raihan mengedikkan bahunya.

"Saya tidak pernah mengejek. Kecuali memang kamu ingin diejek. Tapi walaupun diminta, sepertinya saya tidak tertarik." Katanya datar.

"Ngomong sama bapak kayak baca buku teks SMP pak, penuh dedikasi dan ejaan yang disempurnakan."

"Untuk yang pertama, kamu boleh panggil saya Mas atau Abang."

Ebujug, ni orang kalo ngomong kayak sales, harus ada target.

"Panggil oom boleh? Bapak kan dah tua."

Entah mengapa kata-kata Anggie mengingatkan Raihan kembali kepada Jasmine, ketika mereka dulu meributkan cara memanggil Raihan, yang akhirnya diputuskan oleh Jasmine bahwa dia akan memanggilnya dengan sebutan abang. Hal itulah yang membuat Raihan tertegun ketika Anggie memanggil Edo abang, dalam pertemuan pertama mereka.

Apa kabarmu, Jasmine? Kamu baik-baik saja, kan? Calon suamimu berjanji akan menjaga kamu sebaik mungkin. Aku bohong kalau bilang tidak rindu padamu, tapi aku tidak bisa menerobos masuk hati seseorang yang sudah memilih orang lain.

"Tidak mungkin kamu memanggil calon suami kamu dengan panggilan oom, kan"

Wajah gadis itu langsung berubah seperti tomat, dan Raihan nyaris tertawa. Lihatlah, bahkan si cerewet tidak bisa berkutik sama sekali.

"Eh, bapak serius?seriuus mau nerima perjodohan emak Anggie?"

Kenapa dia masih memanggilku bapak?

"Saya bukan bapak kamu, Kenanga."

"Oke, kenapa situ mau nerima dijodohin sama saya?" Anggie mengoreksi ucapannya, membuat Raihan gemas, lalu dengan sengaja menarik jemari gadis itu.

"Kamu malu menyebut nama saya dengan baik? Sampai kamu memanggil nama saya dengan benar, saya tidak akan melepaskan tangan kamu."

Wajahnya tambah memerah.

"Tangan gue bekas garuk rambut, tiga hari loh nggak keramas. Nggak steril, dok."

Pak, dok, bapak, pak dokter, situ, tapi tidak ada satupun nama Raihan disebut di dalamnya. Aneh, kan?

"Saya tahu cara mensterilkan badan dengan baik, Kenanga, tapi saya kira kamu kesulitan buat mengeja nama saya dengan baik?"

"Oke, Raihan, R A I H A N, puas?" Kata Anggie sambil menarik tangannya, yang akhirnya dilepaskan oleh pemuda itu.

"Saya rasa tidak ada salahnya mencoba. Bukannya semua juga sudah sesuai dengan doa kamu, bahwa saat kita bertemu lagi, saya akan mendapatkan jodoh saya."

"Tapi gue ngomong begitu kan asal aja, pak. Biasa aja kali ngedoain orang, apalagi doanya baek."

"Untungnya doa kamu langsung diijabah. Saya sih tidak keberatan mencoba, siapa tahu kita memang jodoh. Tapi tidak tahu dengan kamu, Kenanga. Dilihat dari wajah kamu, kamu belum menerima perjodohan ini dengan baik."

Anggie menghembuskan napasnya, entah sudah kali keberapa. Dokter penganut KBBI dan EYD di depannya sudah selangkah lebih maju, seperti iklan motor dan menanggapi perjodohan ini dengan positif. Sementara dirinya?

Ayolah Nggie, udah ngangguk juga dari tadi. Kepalang tanggung, jalanin dulu seperti kata mas Koko, kalo nggak cocok tinggalin aja.

"Gue yang slebor ini kali nggak cocok samaa sifat situ, pak. Pasti doyannya yang lemah, lembut, hidup sama gue, ntar dikao jantungan."

Tuh, mulai lagi, batin Raihan.

"Seperti yang saya katakan sebelumnya, tidak ada salahnya mencoba."

"Ya ampun bapak, buat idup kok coba-coba? Yang pasti-pasti aja, lah."

Raihan tidak menjawab. Ia hanya diam menatap Anggie yang tak ubahnya kepiting rebus, mencoba berkelit dari semua ucapannya yang berbelit-belit.

"Saat saya bilang mau mencoba, artinya saya berusaha memberikan kepastian pada kamu, bahwa saat ini saya sedang menjadikan kamu fokus saya. Mencoba menjalani hubungan ini dengan baik, siapa tahu berakhirnya juga baik."

"Atau kamu takut?"

Anggie menggaruk rambutnya dengan keras, sampai dia yakin kulitnya terkelupas.

"Aduh, pak dokter, gue nggak bisa mikir. Gatel semua sebadan-badan. Mau mandi dulu, ya. Permisi."

Setelah itu, Anggie langsung kabur masuk rumah secepat yang dia bisa, membuat Raihan terbengong bingung. Namun sebuah senyum tidak luput keluar dari sudut bibirnya.

Entah sudah berapa kali ia tersenyum karena wanita itu, yang anehnya mulai mengikis keberadaan Jasmine yang sebelumnya pernah berada di hatinya.

***

Selesai mandi, ternyata Anggie menemukan  Raihan masih menunggu di depan rumahnya, sambil membaca koran tua yang berada di sana, begitu khusuk sampai ia tidak menyadari bahwa Anggie sudah berdiri di depan pintu dengan rambut basah, menatap bingung ke arah jalan raya.

Aroma rambut basah dan wangi shampo beraroma apel membuat Raihan menoleh pada sosok gadis yang kini berdiri tidak jauh darinya, memakai kaos dan celana super pendek yang membuat Raihan harus menelan ludah saat melihatnya.

"Emak kok belum balik, sih?" Keluhnya, lalu tak sengaja ia melihat Raihan yang masih memegang koran namun menatapnya dengan wajah keheranan.

Eeh, koran itu kan?

Tanpa sadar Anggie langsung melompat ke arah Raihan dan berusaha menarik koran yang sedang di bacanya. Namun Raihan yang sudah mengamati gerak-gerik Anggie langsung mengangkat koran itu tinggi-tinggi.

"Pak dokter balikin koran Anggie, ngapain baca yang itu?"

Anggie bahkan tidak sadar posisinya sekarang membahayakan Raihan, karena ia duduk di atas perut pemuda itu, yang langsung menegang begitu pantat Anggie mampir ke atas perutnya.

Setelah Anggie berhasil mendapatkan korannya, ia segera bangkit. Namun tidak dengan Raihan yang masih terpaku karena perbuatan Anggie.

"Eh, lo ngapain dok begitu? Kena kram? Dokter kok bisa sakit?"

Dokter juga manusia, Nggie. Lagian dia bukan sakit, cuma ngilu dan itu gara-gara elu.

Perutnya pecah apa ya gara-gara gue tiban tadi? Yaelah, mati dah anak orang.

Buru-buru Anggie mendekati Raihan dan menepuk pipinya.

"Eh, pak dokter, kagak napa-napa kan, ye? Haloo?"

"Nggak, tapi bagian yang lain jadi kenapa-kenapa." Jawabnya polos, membuat Anggie melotot padanya.

"Lagian kenapa baca koran ini, ini bukan buat konsumsi publik." Kata Anggie keki.

Raihan yang sudah kembali pada posisi duduknya semula tersenyum padanya.

"Kamu malu saya baca profil kamu disitu? Padahal karena saya baca semua hasil wawancara kamu saya bisa tahu sebagian besar kesukaan kamu loh."

"Emang kalau bapak tahu kesukaan gue, mau apa? Mau nyogok?"

"Biar saya tahu, kemana harus membawa kamu nanti."

"Kayak lagu." Dengus Anggie yang akhirnya memutuskan untuk tetap berdiri.

"Jadi gimana?" Kata Raihan lagi.

"Gimana apanya, pak?"

"Kamu bisa memulai dengan memanggil nama saya dengan benar. Nggak susah kok."

Anggie menatap Raihan dengan perasaan galau. Dia bukannya tidak mau menyebutkan namanya, tapi dia tidak bisa. Sudah beberapa kali gadis mencoba, tapi setelah mengucapkan nama Raihan, badannya langsung merinding.

"Harus lolos seleksi dulu biar namanya bisa dipanggil sama Anggie."

Raihan mengerutkan alisnya.

"Seleksi yang bagaimana?"

"Adalah, mau tau aja."

"Saya harus tahu. Kalau memang seleksi yang kamu sebutkan itu ada. Atau kamu grogi menyebutkan nama saya?"

Lewat wajahnya yang langsung merona merah, Raihan tahu kalau ia benar. Namun ia lebih suka menuruti permainan gadis itu.

"Ada. Sekarang juga kita bisa langsung mulai seleksinya."

"Oke, saya ikut permainan kamu. Kalau saya menang, bukan hanya menyebut nama saya, kamu harus mau jadi pacar saya."

Raihan tahu bahwa Anggie tidak mungkin mundur lagi, tapi setelah mendapati senyuman aneh di bibir gadis itu, ia yakin, Anggie akan berusaha membuatnya jatuh.

"Oke kalo situ nekat. Ronde pertama, mie abang adek level pedas mampus. Kalo bapak bisa ngalahin Anggie, jangan kata jadi pacar, jadi bini juga boleh."

"Setuju. Pegang kata-kata kamu, ya Kenanga. Tapi sebelum itu, tolong kamu ganti celananya, saya nggak kuat nanti di jalan banyak yang lirik-lirik paha calon pacar saya, bahaya."

Anggie mendengus, namun kemudian ia memutuskan untuk masuk dan mengganti pakaiannya.

Awas lo pak dokter, jangan panggil gue Anggie kalo abis ini elo kaga mencret.

Indomie abang adek

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro