09: Loading

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mustahil lolos tanpa luka saat menghadapi musuh secara nyata. Ini bukan gim, melainkan kesalahan program yang harus mereka lawan. Jika saat bermain saja bisa terluka, terlebih ketika menghadapi musuh dengan mengorbankan nyawa sungguhan.

Kali ini Miky dan Mahen harus berjuang keras. Meskipun musuh bergerak secara terbagi hingga memecah menjadi bagian-bagian terkecil, tetapi melawan lima manusia virtual tetap terasa berat sekali pun bekerja sama.

Mahen menggeram frustrasi. Keringat bercucuran di pelipis menandakan betapa rumitnya situasi kali ini.

"Apa kabar sama Vichi, dia sendirian," lirihnya, tetapi masih dapat terdengar jelas oleh Miky.

Miky melirik keadaan di luar melalui jendela setelah berhasil masuk ke dalam rumah. Embusan napas berat menjawab kekhawatiran Mahen.

"Gue yakin dia baik-baik aja." Meski tak sepenuhnya percaya, mengingat Vichi mempunyai luka yang belum sembuh, bahkan mengering.

Cowok berseragam hitam di sebelah kanan pintu tersenyum miring. "Gue jadi percaya lo gak bakalan suka sama dia ... dan gue harap kayak gitu."

Miky menoleh, alisnya bertaut. Selama ini apa yang diucapkannya tentang Vichi memang menjurus kepada ketidaktertarikan. Namun, sesuatu dari dalam seakan meronta saat mengucapkan itu semua. Dia sadar telah mengelak selama ini, tetapi dia juga susah payah membangun benteng sejak pertemuan pertama.

Hubungan persahabatan dengan Mahen sudah lama tergulung bersama kenangan tempo dulu. Ketika cowok berlesung pipit itu mengibarkan bendera permusuhan dia sudah tidak mengenali Mahendra Artha. Jadi, tidak ada salahnya membuat cowok itu cemburu mati-matian sebagai balas dendam akan sakit hatinya selama ini.

"Jangan-jangan rasa suka gue buat Vichi lagi loading. Kita tunggu aja waktu play-nya," ujar Miky sambil tersenyum miring.

Tidak meleset. Dugaannya benar, Mahen sigap meraih kerah baju Miky dan membuatnya terpojok. Tatapan tajam berselaput amarah menghantam netra kelam sipit itu.

"Sampai kapan lo cari gara-gara sama gue? Sampai kapan?!"

Miky tertawa hambar, melempar pandang ke luar jendela. Sorot meremehkan kini berganti menjadi kekhawatiran ketika melihat Vichi dikepung dua samurai dan tiga penembak mendekati gadis itu.

"Vichi!" Dia mendorong Mahen kuat-kuat, membuat cowok itu hampir terjatuh.

Sadar ada yang tak beres, Mahen mengikuti langkah Miky. Ketika melihat Vichi terjatuh dan setengah mati mempertahankan diri menggunakan pedang di depan wajah, dia semakin berlari kesetanan, bahkan merusak fokus Miky yang tengah membidik musuh di atas Vichi.

"Lo kayaknya emang niat banget suka sama Vichi," gumam Miky. "Tapi apa gue salah kalau sewaktu-waktu gue beneran suka juga sama cewek yang sama?" lanjutnya.

Miky seketika tersadar dari lamunan. Tidak seharusnya dia memikirkan hal seperti itu sekarang. Masih ada beberapa musuh di hadapan sana yang siap diberi tembakan gratis dengan rasa perih tiada tara. Namun, makhluk virtual tidak akan merasa, berbeda jika dia yang terkena peluru.

Cowok berseragam tentara cokelat itu tidak mendekat ke arah dua orang yang tengah berjuang melawan samurai. Miky memilih bermain dari jauh, menembakkan peluru ke arah musuh jika ada yang mendekat ke arah Mahen dan Vichi. Begini jauh lebih baik.

***

Pergolakan berakhir, kelima manusia itu berhasil berkumpul setelah melumpuhkan puluhan musuh. Mereka beruntung karena tidak ada sniper pada kesalahan teknis kali ini. Hanya saja mereka harus menyumbang bekas luka di tubuh masing-masing meski tidak terlalu parah.

"Kita harus main gim lagi, persediaan obat udah menipis." Gea mematikan arloji setelah mengecek obat yang tersedia.

Wira memejam cukup lama. Cowok itu sangat lelah telah menghabisi belasan musuh meski dibantu Gea. Miky memilih duduk di depan pintu, mengecek goresan pedang di betis kanan. Andai saja Vichi tidak membantunya tadi mungkin saja dia akan kehilangan kaki.

Cowok itu menghela napas. Selalu saja Davichi. Bagaimana mungkin dia tidak menaruh rasa jika gadis itu yang selalu menolong? Benteng setengah jadi dalam hati tidak akan bertahan lama karena kepedulian. Munafik jika Miky membenci perasaan ini, dia justru merasakan letupan bahagia. Akan tetapi, ketika melihat wajah Mahen segalanya malah jadi campur aduk.

Antara ingin suka atau tidak, sebisa mungkin dia akan mengatakan tidak di hadapan Vichi, tetapi di depan Mahen dia akan mengatakan iya agar cowok itu kesal sepanjang hari. Mahen harus diberi pelajaran atas sakit hati yang telah ditorehkan untuknya. Persahabatan kandas hanya karena gim? Konyol.

"Mik, lo punya rencana apa lagi?" Wira menegakkan punggung. Kini cowok itu jauh lebih bersemangat meski wajahnya lelah.

Miky menggeleng, lalu menoleh ke arah Mahen. "Tanya aja sama dia, Bang. Gue udah kehabisan ide."

Wira melirik Mahen dan dihadiahi gelengan lelah. Tak ada wajah ceria, hanya ada kesuraman. Mereka sudah kehabisan tenaga, tetapi mengingat dunia nyata sedang menunggu untuk disambangi serasa ada api yang tengah berkobar, membakar semangat.

"Kita gak boleh kalah. Kali ini kita susun rencana terbaik dan kalahkan si makhluk tanpa rasa itu." Vichi tertawa lebar, mencoba menyalurkan semangat.

Akan tetapi, hanya Wira yang dengan senang hati mengambil tempat di tengah-tengah ruangan, disusul Vichi. Belum ada pergerakan dari ketiga manusia lainnya. Melihat itu, Vichi dan Wira saling pandang, lantas mengedikkan bahu.

Kedua pemanah itu mulai berpikir, saling mengutarakan jalan pikiran agar bisa menemukan titik temu yang pas. Sesekali tawa menghiasi percakapan. Tak jarang melirik ketiga teman-temannya, belum berniat bergabung.

"Kita dari tadi ngomongin apa, Ci? Gue gak ngerti," bisik Wira, tetapi sibuk menggerak-gerakkan tangan di udara, layaknya menjelaskan sesuatu dengan serius.

Vichi meringis. "Kalau lo gak ngerti, apalagi gue. Otak gue udah buntu."

"Rayu mereka, dong, Ci."

Vichi kontan menyubit paha cowok di sebelahnya. "Enak aja. Lo pikir gue apaan pakai rayu-rayu segala, dikata gue cabe-cabean!" geramnya tertahan.

Sadar ada yang tak beres, Miky mendekat dan duduk di sebelah Vichi. Sadar tindakannya barusan, dia melirik Mahen sambil tersenyum miring.

Panas-panasin biar meletup sekalian!

Gea sudah ikut bergabung, siap mendengarkan misi penyerangan berikutnya. Pembicaraan berlangsung ramai, sesekali saling meledek satu sama lain. Melihat keakraban itu membuat Mahen tercekik.

Jangan terlalu meninggikan ego jika tidak ingin terasingkan. Mahen mengangguk mantap saat mengingat kalimat almarhum papanya. Tanpa mempedulikan ekspresi meremehkan Miky, cowok itu duduk di hadapan Vichi seraya tersenyum manis.

"Coba lo ulangin lagi, Mik. Gue gak denger tadi." Mahen balas menatap Miky, tak lupa memasang ekspresi tanpa dosa.

Miky menghela napas pendek. "Punya telinga, kok, gak berfungsi."

"Kalian pengen berantem lagi? Udah, udah. Biar gue aja yang jelasin." Daripada mendengar cacian dari kedua cowok berwajah manis itu, lebih baik Vichi menengahi.

"Gak usah, nanti lo capek. Bang Wira aja," celetuk Mahen.

Wira yang tadinya sibuk bercanda bersama Gea seketika menoleh. "Apaan nyuruh-nyuruh gue. Gue bukan pembantu. Lagian sopan santun lo di mana sama orang yang lebih tua."

"Idih, Vichi manggil Bang Wira juga pakai lo, doang. Lebih gak--"

"Vichi pengecualian." Wira merangkul Vichi, alisnya naik turun menggoda.

Miky dan Mahen kompak memelototi tangan Wira yang merangkul gadis berwajah bulat itu. Merasa terintimidasi, cowok berkulit putih tersebut menyengir dan menyingkirkan tangannya.

"Hati-hati berurusan sama mereka berdua, garang," peringat Wira terdengar seperti berbisik di telinga Vichi.

🎮
(Day 9)

Dua manusia ini katanya garang, jadi jangan dekat-dekat 😂





Btw, selamat menyambut bulan puasa bagi yang merayakan. Mohon maaf lahir batin.
~Hapding everybody~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro