08: Escape

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hentakan tactical boots di atas tanah terdengar menenangkan, disusul dentingan besi saling beradu cukup membuat ngilu telinga. Cukup lama Wira dan Vichi berlatih pedang, yang jadi masalah adalah mereka sama-sama petarung amatir, salah satu dari mereka bisa saja terluka jika tidak berhati-hati.

Mahen ngeri sendiri melihat Vichi hampir terkena tusukan di pinggang jika saja gadis itu tidak segera merunduk dan mengayunkan pedang ke arah kaki Wira, tetapi cowok berjaket army tersebut sigap melompat hingga pedang hanya mengikis angin.

Pergerakan keduanya cukup lancar, bahkan mereka sangat mahir memutar pedang di tangan, meliuk mengejar objek untuk dilukai. Mahen meringis, seharusnya dia juga ikut berlatih mengingat dia juga bisa menggunakan pedang, bukan hanya senjata api. Namun, membayangkannya saja membuat bulu kuduk meremang. Dia takut benda runcing itu, saat bermain gim di dunia nyata pun dia selalu menolak menggunakan pedang.

"Lo berdua, kok, bisa pakai pedang?" Cowok beralis tebal itu sesekali meringis ketika salah satu di antaranya hampir terkena sabetan.

Wira tertawa singkat seraya menghindar dari ayunan besi panjang. "Practice makes perfect."

Jawaban singkat tersebut membuat Mahen terbahak, dia jadi teringat kalimat yang terdapat di bawah buku bermerek sidu. Akan tetapi, benar adanya. Latihan memberi sebuah keajaiban dari tidak bisa menjadi bisa.

"Dari dulu latihannya pakai pedang langsung?" Belum puas, Mahen kembali bertanya.

Kali ini Vichi menjawab. "Kita berdua gak mau ambil resiko latihan langsung pakai pedang waktu itu. Ya walaupun di dunia virtual, tapi perlu hati-hati, jadi kita pakai ranting," tuturnya kurang jelas karena harus berlari ke kiri dan kanan, mundur dan maju untuk melawan maupun menghindar.

"Satu hal yang gue tau setelah berada di sini." Wira menggantungkan kalimat, membuat cowok yang sedari tadi menonton itu mengangkat alis. "Saat manusia merasa terancam akan bahaya, jiwa mempertahankan diri jauh lebih tinggi. Makanya efek paksaan menguasai pedang di samping panahan itu kuat."

Mahen mengangguk setuju. Dia berani karena ketakutanlah yang membuatnya menghadapi musuh. Manusia perlu rasa takut, tanpa perasaan itu tidak akan ada yang mengenal berani dalam hidup mereka.

Latihan selesai, kedua pendekar tersebut duduk di depan Mahen. Mereka bertiga membahas cara apa lagi yang harus dilakukan agar bisa menyelesaikan misi kali ini. Tak dapat dipungkiri kata menyerah senantiasa menggoda, putus asa selalu mengambang dalam jiwa, tetapi mereka tidak mau terjebak selama-lamanya.

Sampai ketika Mahen sadar akan sesuatu, pembicaraan serius beralih ke hal yang menurut cowok itu lebih genting.

"Selama terjebak gue gak pernah makan, apa lo berdua juga kayak gitu?"

Wira dan Vichi kompak tertawa. Pengalaman memang jauh lebih membuktikan kemahiran seseorang. Terbukti, Mahen yang merupakan dewa gim WFD tidak tahu apa-apa jika dibandingkan mereka berdua yang lebih dulu memakan asam, pahit kehidupan dunia virtual.

Wira masih berusaha meredakan tawa. "Emang lo pernah merasa lapar?"

Mahen menggeleng. "Enggak, tapi kenapa bisa haus?"

"Harusnya lo yang lebih tau jawabannya, Hen. Katanya jurusan game application, tapi gini aja lo gak paham," ledek Vichi.

Mahen mengembungkan pipi, sekarang dia terlihat bodoh di hadapan seorang gadis yang sudah mengikat hatinya sejak pandangan pertama. Hening sejenak, dia mencoba memikirkan jawaban yang tepat sebelum Miky muncul dan membuat wajahnya merah padam.

"Itu karena si game developer-nya gak masukin unsur lapar ke dalam program. Kalau soal haus gue udah biasa mainin gim yang karakternya doyan minum."

Miky berdiri di samping Mahen dengan wajah angkuh, tidak mempedulikan tatapan tajam yang terarah terang-terangan untuknya. Cowok bermata sipit itu menyandarkan diri di tembok berbahan tanah di belakangnya, dia menerawang lurus ke depan.

"Gimana soal kejadian yang dialami Vichi?" Wira semakin tertarik ke dalam pembahasan, begitu pula Vichi.

Mahen yang melihat antusiasme gadis itu jadi iri terhadap Miky. Ingin sekali rasanya mendorong cowok itu menjauh, tetapi nyatanya dia hanya tinggal diam, merasakan letupan amarah dari dalam. Kebahagiaan beberapa menit lalu seketika ludes termakan kebencian.

"Itu jelas gak terprogram sama si pengembang gim. Mereka mana tau ada manusia yang bakalan terjebak di sini. Gue cuman bisa bilang tragedi terdampar ini karena kesalahan sistem." Mahen tidak mau kalah, dia berusaha mencuri atensi gadis di depannya dan berhasil.

Vichi tersenyum sedih, menatap nanar ke arah tanah. "Gue pengen pulang meski cuma ada adik gue di sana," lirihnya.

Mahen sigap mendekat dan mengenggam tangan gadis itu. "Tenang aja, gue pastiin kita bakalan balik."

Mereka saling menatap dan melempar senyum tipis. Wira yang melihat keadaan manis di depannya terkekeh geli, berbanding terbalik dengan Miky yang mencibir kealayan Mahen.

"Jangan sirik, Mik." Wira dengan bangga mengolok-olok cowok yang masih setia berdiri di depannya.

"Siapa juga yang sirik sama anak layangan," judesnya, lantas berbalik hendak masuk ke dalam rumah.

"Lo cemburu?" Vichi susah payah menahan diri agar tidak meledakkan tawa. Ekspresi Miky sungguh menggelitik.

"Dia gak mungkin cemburu, Ci. Dia gak suka sama lo, beda kalau kasusnya gue yang bakal jelas-jelas cemburu karena suka sama lo."

Lengkungan bibir Vichi dan Wira seketika memudar, tidak menyangka Mahen akan berucap demikian, bahkan menurut mereka itu terkesan buru-buru untuk diutarakan.

"Kenapa? Lo gak percaya?" Kali ini Mahen menatap dalam tepat ke manik mata gadis di depannya. "Love at the first sight," lanjutnya, tersenyum di akhir kalimat.

"Lo--" Belum sempat membalas perkataan Mahen, Miky dikagetkan dengan kehadiran segerombol makhluk di depan sana. "Ka-kabur ..." lirihnya.

Ketiga manusia yang tadinya duduk kompak melihat ke belakang, dan terkejut bukan main ketika melihat para makhluk virtual muncul dengan jumlah banyak, berpencar ke arah lain, hendak mengepung dari segala arah.

Wira sigap berdiri, berlari ke dalam rumah ketika sadar tidak ada Gea di antara mereka. Miky sudah siap bersama senjata dan beberapa granat untuk berjaga-jaga, begitu pun Mahen, dan Vichi.

"Nge-bug lagi?" Suara Vichi bergetar. Kali ini mereka harus bertarung mempertaruhkan nyawa sungguhan, bukan nyawa buatan program.

"Jangan takut, Ci. Gue di sini," hibur Mahen, berdiri di samping gadis itu.

Suara tembakan memulai pergerakan mereka. Wira dan Gea yang baru saja keluar dari rumah sudah disuguhi pedang panjang. Gadis berambut sebahu di belakang Wira sudah siap siaga bersama shuriken.

Miky mengangkat senjata, siap memuntahkan peluru, Mahen melakukan hal serupa, Vichi sudah siap melayangkan anak panahnya ke lawan.

"Kita harus mecah perhatian mereka, Mik," bisik Wira.

Mahen mengangguk mantap. Dia menoleh ke arah Vichi yang masih awas melihat pergerakan musuh hingga ketika Mahen memegang tangan gadis itu, fokusnya jadi berubah.

"Lo ikut sama gue."

Vichi hendak menjawab, tetapi ketika matanya melihat musuh berlari ke arahnya dia sigap melontarkan anak panah. Di saat bersamaan, tembakan dari arah berbeda hampir melukai Mahen hingga cowok itu harus mundur ke arah Miky.

"Mencar!" teriak Wira dan musuh semakin gencar melawan mereka.

"Vichi!" Mahen tidak terima ketika melihat gadis itu berlari sendiri.

Hujan peluru mulai menyambut. Miky sudah siap beranjak, tetapi melihat Mahen hendak lari sendirian membuatnya mundur kembali dan menariknya agar segera bergegas.

"Jangan mati dulu, kita butuh tenaga lo," teriak Miky susah payah karena harus fokus berlari dan menembak di waktu bersamaan.

"Tapi Vichi per--"

"Gue percaya sama dia. Vichi sendiri yang milih pergi sendirian."

Mahen berhenti berlari, diam mematung menatap punggung Miky. Dia tidak habis pikir cowok itu akan berkata demikian padahal dia sendiri tahu keadaan Vichi belum terlalu baik.

"Gak usah peduli sama gue, Mik."

Dor!

Dengan cekatan Miky memeluk Mahen hingga keduanya jatuh menghantam tanah. Peluru hampir saja mengenai tubuh cowok berbaju hitam itu jika tidak menghindar barang sedetik.

"Oke kalau itu keputusan lo." Miky bangkit, berlutut dan mengarahkan moncong senjata ke depan. Letusan peluru yang dia muntahkan berhasil mengenai tiga objek sasaran.

Miky bangkit dan berlari begitu saja, tidak peduli Mahen yang masih terdiam di sana.

"Bego dipelihara," umpatnya.

Miky menegang di tempat, seorang samurai hampir menusuk perutnya jika saja Mahen tidak segera menembak. Gantian, kini dia yang terdiam tak berkutik barang sedikit.

"Lari, bego!" Mahen sudah berada beberapa langkah di depan, sibuk menembak ke kiri dan kanan.

🎮
(Day 8)

Udah day 8 aja. Cepat juga ternyata 😆.

Kali ini bareng Wira sama Gea dulu, ya🤭


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro