18: Stolen

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kelima penyintas gim kembali berembuk membahas strategi penyerangan lagi. Mereka bingung antara menggunakan formasi sebelumnya atau mengubah. Ada yang setuju mengganti, ada pula yang tetap seperti tadi. Masalahnya adalah bukan Vichi, Gea, atau Wira yang berdebat, melainkan selalu Miky dan Mahen.

Ketiga manusia itu membisu dan tidak ingin masuk ke perdebatan dua cowok itu. Masalah formasi mereka setuju-setuju saja. Menang atau kalah bukan hanya terletak pada persiapan, melainkan kegigihan ikut ambil andil.

"Lo sengaja, kan, gak mau ubah formasinya karena lo mau dekat-dekat sama Vichi?" tanya Mahen menyelidik.

Miky memutar bola mata kesal. Mahen terlalu dibutakan oleh perasaannya sendiri. Dia sama sekali tidak berniat seperti itu. Apa yang menjadi keputusannya berangkat dari seberapa persen mereka mampu mengumpulkan permata jika formasinya tetap sama, dan menurutnya mereka hampir berhasil jika saja insiden pencurian tidak terjadi.

"Gue speechless. Serah lo, kalau gue tetap sama formasi tadi," putusnya tak ingin dibantah lagi.

Bukan Mahen namanya jika tidak membuat kepala mantan sahabatnya mendidih. Cowok itu juga keras kepala, tetap pada pendiriannya. Dia jelas ingin diposisi Miky, berjuang bersama Vichi.

Wira yang melihat perseteruan tak penting itu menggeleng takjub. Dia tidak pernah menyangka Vichi akan diperebutkan. Selama mengenal gadis itu tidak pernah ada yang mendekat, kalau pun ada pasti tak bertahan lama.

"Gue juga suka sama formasi tadi." Gea ikut memutuskan.

"Formasi tadi." Wira turut menyumbangkan suara.

Seketika keadaan berubah menjadi proses pemungutan suara tanpa ada yang mengusulkan. Lagi pula ini bisa menjadi jalan tengah, kalau pun ada yang tak setuju mereka bisa membiarkannya saja. Tidak mungkin mempertimbangkan kedua kali jika yang berbeda hanya satu nama.

Vichi mengangguk. "Formasi tadi. Gue mutusin ini karena berkaca sama keberhasilan yang hampir kita capai. Kita cuma kurang hati-hati aja sama pencurinya."

Peduli setan terhadap wajah merah padam Mahen, yang terpenting sekarang adalah mengalahkan musuh, mengumpulkan serta menjaga permata agar mereka bisa lolos secepat mungkin. Tak ada yang mau tinggal lebih lama di dunia virtual sekali pun terlihat keren, ilmu bela diri bertambah. Tidak perlu, mereka memilih kembali ke dunia nyata, menyambut masalah hidup sesungguhnya.

"Lo benci sama gue?"

Kali ini Mahen terdengar kekanak-kanakan sekali di telinga Miky. Ingin hati menjambak rambut cowok itu agar segera sadar. Apakah perasaannya jauh lebih penting daripada keluar dari sini?

Sementara itu, Vichi membuang napas lelah. Tidak tahu harus berkata apa agar cowok di depannya mengerti. "Ini bukan soal perasaan, Hen. Gak ada waktu buat berdebat kayak gini. Ayo, Mik." Vichi menarik tangan Miky, bersiap-siap bertarung.

Miky menegang, lagi-lagi jantung kembali berdisko setelah sekian lama. Dia baru menyadari bahwa darah di dalam tubuh bisa memanas karena efek pegangan tangan. Buru-buru dia membuyarkan ketersimaannya dan pelan melepaskan genggaman tangan itu.

Dia masih menghargai Mahen di belakang sana. Mengembalikan kewarasan cowok itu juga penting dengan cara tidak terlalu menunjukkan betapa dia menyukai gadis di sebelahnya.

"Eh, sori, refleks," komentar Vichi ketika Miky memilih membebaskan tangan dari genggamannya.

Wajah gadis itu memerah, terasa panas. Degup dari dalam begitu keras sampai-sampai dia bisa mendengar detaknya. Perlahan kaki sedikit bergeser, mengambil jarak dengan Miky, takut cowok itu mendeteksi debar jantungnya.

Miky menggaruk tengkuk, berdeham sekilas. Keadaan seketika menjadi canggung. "Ba-bang Wira, mulai sekarang."

"Siap. Semangat!"

Layar hologram dari lensa mata muncul secara tiba-tiba, menampilkan tulisan "Go". Miky dan Vichi sudah bersiap. Panah dan senapan tergenggam manis, siap merenggut nyawa para makhluk virtual.

"Mik, kalau kita udah keluar dari sini, cari gue di Universitas Nasional Jakarta," ujar gadis itu sambil tersenyum simpul.

Miky ikut mengembangkan senyum. "Kalau gue sibuk dan gak sempat cari lo, cari gue di UGM."

Mereka kompak tergelak lalu terhenti sebab pergerakan musuh mulai terbaca pada lensa gim. Mereka sudah siap keluar dari sini.

"Gue di depan, lo di belakang."

Vichi mengangguk, menuruti perintah Miky. Mereka bergegas ke arah pintu masuk, memancing musuh. Cowok itu mengambil granat lalu melemparkannya ke arah jendela kaca yang telah hancur.

Ledakan keras membuat telinga berdengung, mereka mengernyit, lantas menggeleng guna menghilangkan pening yang sempat menyambar barang semenit. Pintu terbuka, beberapa samurai dan penembak muncul secara bersamaan. Tak perlu waktu lama, musuh sigap menyerang kedua manusia yang tengah berlari memisahkan diri di dalam gedung.

"Vichi, usahakan sampai ke lantai dua bersamaan. Lumpuhin musuh sebanyak yang lo bisa dari sayap kanan," perintah Miky melalui alat komunikasi.

"Siap, lo hati-hati."

Jawaban Vichi membuatnya tersenyum singkat dan sempat membuatnya memperlambat langkah. Jika bukan karena suara peluru, dia tidak akan sadar secepat mungkin. Dia kembali berlari, menyusuri tangga sebelah kiri bangunan. Senjatanya tak pernah berhenti memuntahkan amunisi.

Matanya sesekali fokus ke atas, bukan hanya ke bawah. Musuh bisa muncul di mana saja. Seperti dugaannya, samurai tiba-tiba datang dari atas dan hampir menebas kepala jika cowok itu tidak segera merunduk. Shotgun terangkat, menembak tepat ke perut petarung di atasnya.

Cahaya ungu mengambang di atas jasad itu, dia langsung meraihnya sebelum semakin tersudut oleh musuh dari arah bawah. Sementara di sebelah kanan, Vichi sedikit kerepotan menggunakan panah, dia segera mengganti menggunakan pedang. Usahanya tak sia-sia, pergerakan pelan dan sembunyi-sembunyinya sedikit mempersulit musuh.

"Gue udah nemu satu." Suara Mahen mengagetkan Vichi.

"Gue juga," jawabnya lalu disusul Miky kemudian.

"Tetap hati-hati sama pencuri," peringat Wira, takut kejadian serupa terulang.

Masalahnya adalah mereka tidak pernah tahu kapan si pencuri mengambil benda berharga tersebut. Tidak ada tanda-tanda sama sekali bahwa permata akan hilang jika tidak diperiksa. Dunia gim terlalu banyak menyimpan misteri tak terduga.

Setelah berkutat cukup lama di gedung berlantai lima sebelah barat, Miky dan Vichi berhasil keluar membuahkan dua permata. Mereka bergegas ke tempat Wira, Mahen, dan Gea. Di tengah perjalanan mereka sempat menghadapi samurai, tetapi bagi kedua orang itu ahli pedang sangat mudah dikalahkan oleh senjata api.

"Mik, ada permatanya!" Vichi berseru dan langsung berlari meraih benda segitiga itu.

Berhasil, mereka telah mengumpulkan lima permata. Saatnya menemukan gedung serta kotak rahasia tempat mengumpulkan kelima benda berkilau itu.

"Gimana? Lo dapat berapa?" Mahen bertanya antusias, melupakan fakta bahwa hubungannya dan Miky tidak baik-baik saja.

Miky pun sama, cowok itu menanggapi tak kalah antusias. "Kita berhasil ngumpulin tiga," ucapnya seraya mengeluarkan permata dari dalam tas.

Namun, kernyitan di dahi cowok itu semakin jelas tebentuk ketika merogoh isi tas hanya ada dua permata di sana. Dia mendongak, menatap temannya satu persatu.

"Pencuri," ujarnya lesu.

"Dicuri lagi?" Wira membelalak, tidak percaya.

Padahal mereka hanya perlu menemukan gedung serta kotak rahasia dan misi selesai. Akan tetapi, kasus pencurian ini tidak ingin membiarkan mereka menyelesaikan pertarungan dengan cepat. Kelima manusia itu sontak meringis, mengeluh.

🎮
(Day 18)
Eits... sisa berapa chap lagi tamat 🤭


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro