17: War

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Miky membelalak, sontak menoleh ke arah Mahen. Bersaing secara sehat? Tidak pernah sedikit pun dia berpikir melakukan persaingan. Miky malah memiliki caranya sendiri dibanding harus bersaing, yakni membiarkan Vichi bebas tanpa harus terbebani sikap saling memperebutkan.

"Gue gak per--"

"Dan Miky setuju. Lo cukup milih di antara kita nanti." Tanpa mau mendengar protes apa pun, Mahen sigap mengambil keputusan.

Cowok bermata sipit di sampingnya berkacak pinggang. Keterkejutan sama sekali belum berakhir. Seingin itukah Mahen bersama Vichi? Kalau demikian dia bisa bersikap biasa saja, melupakan perasannya. Lagi pula ini hal baru yang Miky pikir tak begitu sulit dilakukan.

"Gak perlu bersaing juga kali."

Vichi mengangguk, merasa tidak enak. Dia berani bersumpah bahwa diperebutkan tidaklah seindah cerita fiksi yang pernah dia baca, atau yang para remaja inginkan terjadi dalam hidup mereka. Kalau bisa dia mau segera kembali ke dunia nyata tanpa harus bertemu kedua cowok ini lagi.

Dia memang nyaman bersama kedua cowok itu, tetapi ketika mengingat perkataan Wira dia yakin hanya suka pada satu orang. Jika Miky dan Mahen bersaing untuk dirinya maka percuma saja. Vichi sudah mengantongi satu nama untuk memilih di antaranya.

Siapa pun, tolong selamatin gue dari situasi ini, batinnya meronta.

Seakan terkabul, Wira dan Gea muncul di saat yang tepat. Mereka berdua bisa dianggap sebagai pasangan saking dekatnya, tak pernah berpisah. Bahkan Wira jarang terlihat bersama Vichi semenjak bertemu Gea.

"Ternyata pada ngumpul di sini. Bagus kalau gitu, kita bisa susun strategi sebelum main." Wira duduk, disusul Gea.

Vichi menghela napas lega sambil tersenyum lebar ikut duduk di sebelah Wira. Wira menautkan alis melihat tingkah aneh gadis itu.

"Kenapa lo senyum-senyum?" Matanya menjeling ke arah dua cowok yang masih setia berdiri di depan mereka lalu kembali memfokuskan pandangan pada Vichi. "Oh, ngurusin calon pa--"

Vichi kontan memukul paha cowok itu sambil memelotot agar tidak sembarang mengucapkan kalimat. Dia sudah kesulitan dan tidak ingin menambah kesulitan lain. Guna menetralkan kegugupannya, dia tertawa pelan dengan mata masih menyorot tajam ke arah Wira.

"Ya udah kita bahas strategi aja sekarang."

***

Miky melompat kegirangan saat berhasil mendapatkan peluru sniper sampai-sampai membiarkan Vichi bertarung sendirian di belakang. Tangannya bergerak lincah menyentuh layar hologram di depan mata, menekan sniper dan dalam hitungan detik senjata itu sudah berpindah tangan. Matanya berbinar mengutak-atik benda paling mujarab pembunuh musuh dari jarak jauh itu.

"Mik, tolongin. Malah senyam-senyum. Resek!"

Cowok itu tertawa, tetapi langsung mengarahkan moncong senapan ke depan, membidik musuh. Lengkungan bibirnya semakin menipis ketika pelurunya berhasil mengenai kepala bidikan. Tidak puas, dia kembali melesatkan amunisi hingga tak menyisakan satu pun makhluk virtual.

"Gue hebat, 'kan," ucapnya bangga sambil menyangga sniper pada bahu, tak lupa berkacak pinggang.

Vichi mendengkus lalu meninggalkan Miky begitu saja setelah mengambil permata kedua yang mereka dapatkan. Tak usah ditanya bagaimana pusingnya dikerumuni oleh beberapa musuh dan cowok itu malah asyik bersama sniper. Lebih menjengkelkan lagi ketika Miky sempat-sempatnya membanggakan diri daripada mengkhawatirkannya.

Dia jadi meragukan kewarasannya sendiri sebab menyimpan rasa nyaman untuk cowok itu. Namun, kekesalan beberapa menit lalu seketika luntur saat Miky merangkul pundaknya.

"Jangan marah. Lihat! Kita udah ngumpulin dua permata. Semoga yang lain bis--"

"Mik, lo di mana? Mahen sama Gea udah gugur, barengan lagi." Suara Wira di seberang terdengar gusar. "Tadi kita udah ngumpulin dua permata, tapi satunya hilang entah ke mana."

Miky dan Vichi yang mendengar itu kompak berhenti, saling pandang. Otak mereka seketika berkerja lebih keras, mencoba menggali ingatan. Di saat bersamaan mereka kompak ber 'oh' ria lalu tertawa.

"Kayaknya gara-gara dicuri musuh."

"Musuh?"

Miky kembali melangkah. "Iya, lo gak ingat pemberitahuan awal kalau kita harus hati-hati sama musuh yang mencuri permata."

Suara tembakan mengisi backsound komunikasi mereka. Tampaknya Wira tengah kepayahan di sana.

"Gimana caranya, padahal kita udah nyimpan berliannya di dalam tas."

Vichi mengangguk membenarkan, turut penasaran bagaimana bisa musuh berhasil mencuri barang berharga tersebut. Gadis itu menoleh ke arah Miky yang tengah berpikir.

"Gue gak tau pasti, tapi setau gue gak pernah ada tanda-tanda kalau si musuh pengen mencuri," jawab Miky ala kadarnya. Dia juga bingung sebab bukan dia pengembangang gim ini.

"Ya udah cepetan sini, gue dikepung musuh dari segala arah."

Miky tertawa, berbanding terbalik dengan Vichi yang sudah berlari tergesa-gesa ke tempat Wira. Baru saja ingin mengejar, di depan matanya Vichi jatuh dan seketika menghilang setelah terkena peluru musuh. Cowok itu masih sempat mematung beberapa detik sebelum berlari mencari tempat berlindung.

"Berabe," gumamnya.

Miky berlari memasuki gedung minim cahaya. Untung saja lensa gim membantu mengenali sekitar dan mengetahui letak keberadaan musuh. Dia berhenti berlari dan masuk ke dalam lift, berharap keajaiban terjadi. Seperti lift menyala tanpa listrik.

Namun, dunia virtual tak ubahnya dunia nyata jika mati listrik. Ternyata lift itu hanya sebagai hiasan semata. Miky keluar dan kembali berlari, mengelilingi isi gedung sampai matanya melihat keberadaan tangga darurat. Dia menambah kecepatan, menepaki anak tangga satu persatu.

"Sniper harus digunakan dengan baik."

Masih sempat bermonolog meski napas telah ngos-ngosan. Sial, gedung pilihannya ternyata terlalu tinggi hingga menyulitkan dia untuk sampai ke rooftop sesegera mungkin. Musuh pun tak pernah berhenti menembakkan peluru.

Tidak bisa dibiarkan, cowok itu segera mengganti sniper menggunakan Light Machine Gun, di saat senjata telah berada di tangan, samurai muncul di depannya dan langsung menebaskan pedang. Beruntung, Miky berhasil menghindar dengan menunduk.

Pelurunya berhasil bersarang di dada samurai dan kembali melanjutkan perjalanan. Mendaki dan sesekali berbalik guna menembak makhluk virtual tidak sekeren yang Miky lihat di film-film. Napasnya hampir habis, beratnya senjata api turut menguras tenaga.

"Sialan. Kalau kayak gini gue bisa tepar duluan sebelum sampai rooftop."

Benar saja, dia ambruk setelah menapaki lantai tertinggi gedung akibat kelelahan. Mengangkat senjata pun sudah tidak bisa dilakukan, tenaganya sudah berada di level terendah. Bayangan akan dirinya menembak musuh menggunakan sniper di atas gedung ambyar bersamaan gugurnya dia akibat tusukan pedang.

🎮
(Day 17)

Kalian jangan ikutan ambyar. Semangat puasanya 💪.

~Hapding everybody~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro