1. Curhat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dia bersandar di kursi gaming sambil meregangkan tubuh. Menggunakan kacamata anti radiasi untuk melindungi matanya agar tidak buram. Headphone berwarna hitam terpasang di kedua kupingnya yang mungil. Dengan secangkir susu cokelat di samping komputer. Tangannya tak berhenti mengarahkan mouse dan keyboard secara bersamaan. Gadis berambut panjang itu hanya fokus pada game online yang sedang dia mainkan sekarang.

"Booyah," gumamnya pelan.

Dengan tatapan malas, dia mematikan komputer, meletakkan headphone di atas meja. Berjalan terhuyung-huyung dan menjatuhkan dirinya di kasur. Tangan kanannya bergerak mencari sesuatu. Dia berguling, kemudian tangan kanannya dia paksakan lagi agar bisa menggapai PSP yang terletak di kursi sofa dekat kasurnya.

Dapat.

Dia mengaktifkan PSP dan memainkan game yang populer pada zamannya.

"Gue bakalan nikah sama Marry," gumamnya sambil memainkan game tersebut.

"Ke pantai memancing, dan ke gua untuk menambang. Gue harus punya banyak uang biar jadi orang terkaya di Mineral Town." Dia menghadap depan, mengangkat PSP di depannya dan bermain dengan tenang.

Krik.

Rose menengok.

"Ga punya otak Bang?"

"Iya-iya."

William Andara, satu-satunya kakak Rose. Dia kembali keluar kamar, menutup kembali pintu kamar Rose dan mengetuk.

"Masuk," ucap Rose santai.

William masuk ke kamar. Laki-laki bertubuh jangkung itu menatap Rose dengan sorot mata yang tajam. Rose tak peduli, dia hanya fokus pada game.

"Tan." William duduk di kasur Rose. Jari telunjuknya menyentuh bahu gadis yang sedang asik bermain game itu.

"Oi Tan."

"Tan."

"Tan."

"Tan."

"Tan."

"Tan."

"Tan."

"Tan tuli ya?"

William mulai kesal. Dia berdiri di atas kasur, menggendong tubuh Rose. Kaki jenjang Rose cukup merepotkan. Gadis itu tetap tidak peduli. William berdiri di ujung kasur. Menatap Rose tajam, kemudian melepaskan pegangannya.

Bruk.

Dengan bunyi yang cukup kuat, gadis itu terbaring di lantai sekarang. Tulang punggungnya sepertinya akan bermasalah. Beberapa menit dia terduduk di lantai sambil memegang punggungnya.

William tersenyum bengis. Rose berdiri, dengan keadaan tangan kanan yang masih memegang punggung, PSP tak terlepas dari tangan kirinya. Mendongak dengan tatapan kesal dan menendang kaki William. William terjatuh di atas kasur. Dengan tatapan marah, Rose naik ke atas kasur dan menendang Abangnya hingga terjatuh di lantai.

"Lain kali, gue bakal nendang lo sampe ke luar jendela, dan gue bukan tante lo." Rose tersenyum angkuh. Dia kembali berbaring di kasur dan lanjut bermain game.

William bangun, dia meringis kesakitan sambil memegang kakinya. Berdiri dan kemudian duduk kembali di kasur. Tatapan Rose tak beralih dari game yang sedang dia mainkan.

Hening.

William mengubah tempat duduknya. Dia berjalan dan berbaring di samping Rose. "Gue mau curhat Nek."

Rose melihat William sejenak, kemudian mengubah ekspresinya.

"Napa lo lihat gue kayak jijik gitu?" tanya William heran.

Rose mengabaikan pertanyaannya. "Curhat aja Cu."

"Gini Nek-"

"Bayar tapi," potong Rose dengan cepat sebelum William menceritakan kisah hidupnya yang tidak penting.

"Iya, gue beliin lo gorengan."

"Ga. Gue cuma mau duitnya aja."

William menatap adiknya heran. "Gila ya, ini kecil-kecil udah pinter malak."

"Bukan malak, kan upah dari Abang curhat," sangkal Rose.

"Halah, pas ada maunya aja baru manggil Abang."

"Yaudah kalo ga mau, curhat ke orang lain."

William mendengus, "Iyadeh, ntar gue kasih upah."

"Sip." Pandangan Rose kembali ke game.

"Gue lagi jatuh cinta Nek."

Rose tertegun, dia kembali menatap William dengan ekspresi jijik. "Kasihan ya," ucapnya sendu.

William lagi-lagi terheran. "Kasihan kenapa?"

"Kasihan orang yang di sukain sama lo. Pasti takut liat om-om pedo."

"Gue masih muda Rose." Kini William berucap dengan nada datar, "Dia juga sekelas sama gue."

"Gue kira anak SD yang lo suka." Rose mengalihkan pandangannya, "Jadi ... siapa nama Tante yang lagi lo suka?"

"Bukan Tante-tante oi."

"Oh, siapa nama Neneknya?"

"Lo adek atau musuh sih? Bikin emosi."

"Gue bukan adek lo, tapi majikan lo."

William mengepal tangannya, dia mulai geram dengan ucapan adiknya.

Sabar Will, sabar, batin William.

"Namanya Bella. Satu kelas sama gue, rambutnya panjang, kulitnya-"

"Gue cuman nanya nama, ga lebih," potong Rose.

William mulai terbiasa dengan ucapan Rose yang menyebalkan dan membuat panas otak serta ototnya.

"Gue harus gimana buat dapetin hatinya?"

"Gausah ngejar dan pakai segala macam cara."

"Karna gue ganteng ya?" Dengan sombong, dia memegang dagunya, kemudian memegang rambutnya.

"Karna bakalan ditolak. Jadi percuma lo usaha."

Ekspresi William berubah jengkel. "Bantu gue Nek, gue butuh solusi. Ini pertama kali gue jatuh cinta."

"Lo mau narik perhatian dia?"

"Iya." William menganggukkan kepala.

"Telanjang aja di kelas. Ga cuman perhatiannya, tapi lo bakal pemes."

"Ntar gue di keluarin dari kampus, ogeb."

"Yaudah, ajak dia di satu tempat, lalu lo telanjang."

William menyapu-nyapu dadanya, mencoba untuk lebih sabar.

"Ga usah di kejar. Dia juga ga bakal milih lo. Ga usah buang-buang tenaga buat dapetin hal yang ga mungkin lo dapetin."

William menelan ludah, "Usaha aja belum, udah di suruh nyerah." Dia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Bingung apa yang harus dia lakukan.

"Percuma usaha kalo ujung-ujungnya ga dapet."

"Lo pernah di sakitin ya?"

"Ck," desisnya kesal, "Muzuna nolak gue. Padahal cuman salah pilih opsi. Gara-gara gue ngotot mainnya pake bahasa Jepang, dan lupa buat nerjemahin opsinya-"

William menjitak kepala adiknya. Rose terdiam sambil memegang kepalanya. "Gue ga paham game apa lagi yang lo ceritain sekarang."

William berdiri. "Yaudah, gue cabut ya. Percuma curhat sama lo."

Saat William hampir menutup pintu kamarnya, Rose dengan cepat memanggil dan berjalan menuju Abangnya. "Jangan lari, lo belum ngasih gue upah." Rose mengajukan tangannya, menggerak-gerakkan jari telunjuknya, dengan ekspresi paling licik.

William menatapnya kesal, padahal sedikit lagi dia terbebas.

"Cepet, mana upahnya."

William membuka dompetnya. Secepat kilat, Rose mengambil uang seratus ribu dan langsung mengunci pintu kamarnya.

William terdiam kesal, menahan emosi karena kelakuan adek satu-satunya itu.

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro