2. Mata

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rose menyipitkan matanya, dia memeriksa dengan teliti isi kulkas, berharap ada cemilan yang tersisa.

Tidak ada, sama sekali. Dia menyalakan ponsel, menelepon abangnya yang sedang di luar.

Maaf, kartu prabayar Anda tidak dapat digunakan, karena-

Tit.

Rose mendesis, dia terpaksa harus pergi ke minimarket. Kurang klop kalau bermain game tanpa ngemil. Dia mengambil uang di tas sekolahnya. Mengunci pintu dan berjalan santai. Menutup wajahnya dengan tangan kiri.

Panas.

Jalannya memelan, dia menghitung. Saat hitungan ke tiga, dia lari dengan cepat, secepat yang dia bisa. Layaknya maling yang lari dari kejaran warga, karena takut di amuk masa. Orang-orang yang melihatnya hanya terheran.

Dia sampai di tempat tujuan, menstabilkan napas sebentar dan masuk ke dalam minimarket. Yang pertama kali dia cari adalah mi instan. Tidak nikmat jika tidak makan micin. Baginya, micin seperti rasa cinta, yang membuat orang jatuh hati, namun juga membuat orang bego.

Mengambil beberapa cokelat dan susu. Menuju ke kasir untuk membayar.

"Mas, ga bisa bonus?"

Celetuknya yang membuat penjaga kasir tertawa kecil. "Ga bisa, Mba."

Rose menonggak pinggang. "Bisain lah, Mas."

Lagi-lagi dia membuat tertawa. "Saya bukan pemiliknya, Mba," ucapnya sambil memasukan barang ke kantong plastik.

"Dimilikin dong Mas."

"Susah Mba, dia ga mau sama saya."

"Mas jomblo, ya?"

Penjaga kasir itu lanjut tertawa. "Bukan."

"Udah punya toh."

"Bukan Mba, saya single."

Mereka tertawa kecil. Rose membayar belanjannya. Saat hendak keluar dia berbalik. "Sabar aja Mas, mungkin jodoh Mas belum lahir," ucapnya seraya melambaikan tangan.

Penjaga kasir hanya tertawa sambil menggeleng-geleng kepala. Rose kembali berjalan. Mengikat kuat-kuat kantong plastik dan berlari kencang. Dia sampai sekejap dalam beberapa menit.

"Fyuh."

Dia menuju kamarnya, menyalakan komputer. Pergi ke dapur untuk memasak mi. Bukan satu bungkus, tapi empat bungkus. Micin asupan yang membuat otaknya lancar.

Dia bermain, dan sedikit terhenti-henti karena harus makan. Merepotkan, tapi dia suka melakukannya.

Ting!

Satu notif dari line masuk. Rose melirik ponselnya. Rupanya dari abangnya. Mengabaikan dan lanjut bermain game.

Abangnya menelepon. Tidak diangkat olehnya beberapa kali. Karena kesal mendengar dering yang mengganggu, dia mengangkat telepon.

"Gue lagi main, jangan ganggu," ucapnya datar.

Tit.

Dia kembali fokus. Abangnya kembali menelepon. Rose tak acuh, dia tetap melanjutkan permainannya.

Sore tiba, dia masih di depan komputer, kini matanya terlihat lelah tidak seperti biasanya. Dia bisa bertahan berjam-jam, bahkan berhari-hari di depan komputer, anehnya, tidak dengan hari ini. Mata gadis remaja itu menatap lesu. Apa dia kalah saat bermain? Ataukah dia sakit?

Dia berjalan pelan tanpa mematikan komputer. Berjalan lunglai tak berdaya, matanya nyaris semerah bibir merah mudanya. Sepertinya dia sakit mata.

Dia mengirim pesan kepada abangnya, meminta abangnya untuk membawanya ke dokter mata.

Andrea langsung pulang setelah mendengar kabar itu.

"Tumben," celetuk Andrea membuat Rose menatapnya. Tatapannya lesu.

"Ya. Tumben."

"Dih."

"Napa Om?"

"Gue bukan om-om. Lo ga kesel gitu, apa kek, marah kek."

Aneh. Bukannya senang adiknya diam saja, tapi dia lebih suka kalau adiknya marah-marah.

"Faktor u."

"Umur lo udah tua. Ingat, udah SMA, bukannya belajar malah main game. Sekarang rasain, mata lo minusnya pasti gede."

"Segede perut buncit lo."

"Ini bukan buncit."

Rose melirik perut Andrea lama.

"Jangan dilihat, nanti lo terpesona liat perut one pack gue."

Syukur, dia sadar kalau perutnya buncit.

***

"Anda sering bermain ponsel?" Dokter bertanya sambil mengambil alat untuk mengetes matanya.

"Bukan ponsel, tapi komputer."

"Kacamata anti radiasi saja tidak cukup."

"Mata saya rabun karena jarang lihat cogan, Dok. Mata saya lelah, yang dilihat dia mulu," ucapnya seraya menunjuk abangnya yang sedang duduk manis memerhatikan.

Dokter tertawa kecil, ada-ada saja Rose ini.

"Saya juga jarang lihat duit, makanya mata saya ga sehat." Dia melanjutkan. Dokter menggeleng.

Rose menjalani serangkaian tes mata untuk menentukan resep kacamata yang tepat.

***

Rose keluar optik dengan kacamata baru yang menghiasi matanya.

"Sialan."

"Iya, sial."

Andrea menatap adiknya datar, memberhentikan langkahnya.

"Kenapa, Bang?"

"Gue ngatain lo tadi, sialan."

"Makanya gue jawab, 'iya, sial' sial punya abang kaya lo."

Tangan Andrea mengepal kuat, ingin rasanya membanting adik tak tahu terima kasih itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro