CHAPTER 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terdiam, kentara sekali Aluna tak berminat menyambut uluran tangan Damar. Entah apa sebabnya, Aluna sendiri tak tau persis apa alasannya. Jemarinya yang sepersekian detik lalu menekap mulutnya kini bergeser ke pipi. Gerakan kecil yang tak luput dari perhatian Damar tatkala ujung jari Aluna menyeka sudut mata.

"Kok nangis?"

Geez, kenapa cowok nggak bisa bertindak seolah-olah nggak liat aja sih, batin Aluna. Sesekali hal itu perlu untuk menjaga perasaan para wanita.

"Enggak," elak Aluna cepat.

Aluna boleh berkelit, tapi Damar bisa melihat dengan jelas kalau mata Aluna memerah. Nyaris seperti menahan kantuk yang parah. Belum lagi semburat di pipi Aluna yang selalu muncul setiap kali terpergok kenyataan yang berusaha disembunyikannya. Tapi, Damar memilih untuk tak mendebat pernyataan Aluna yang bisa berakibat pada perdebatan tak berujung dan tak perlu di pertemuan pertama setelah sekian lama.

Ya ampun, Mar, baru aja dia inget lagi udah dibikin nangis. Kan nggak lucu.

"Oh, oke. Aku keluar dulu, sudah ditunggu buat latian," ucap Damar ringan. Sengaja memberi waktu buat Aluna sendirian. Damar berpikir kalau dia semakin lama di sini dan kantong mata Aluna jebol, bisa jadi dia bingung sendiri bagaimana caranya menenangkan Aluna. Seberapa hebatnya dia dulu membuat gadis itu tertawa, belum tentu jurus itu masih mempan dipakai untuk memenangkan hati Aluna. "Nanti aku ke sini lagi buat konsul," lanjutnya, tak lupa melempar senyum yang membuat binar mata Damar berbeda dari biasanya.

Aluna mengangguk kaku, menahan napas hingga Damar berbalik dan melangkah ke luar ruangan. Langkah-langkah lebar dan cepat, transformasi dari langkah kecil yang dulu diingatnya dari Damar. Tak sampai lima detik, Damar sudah mencapai pintu ruangan. Meraih handelnya dan membuka, lalu keluar tanpa menoleh lagi.

Memori masa kecil Aluna berdesakan mengantarkan ingatan ke permukaan. Tanpa dikomando, benaknya membayangkan tawa lepas Damar di masa kecil mereka ketika bermain bersama. Cengiran lebar yang selalu ditunjukkan Damar begitu berhasil menjebol gawang lawan atau melesakkan tendangan bebas jarak jauh. Senyum Damar yang seperti ini yang tak pernah Aluna lupakan, saat Damar tersenyum atau tertawa, matanya seakan ikut bicara. Berbinar-binar dan hidup.

Bagian itu yang tadi membuat Aluna seolah terhantam rasa familier.

Mencoba mengenyahkan rasa sesak yang di dada, Aluna menghela napas hiperbola saat serangan rasa sakit hati memenangi hatinya. Lima detik setelah pintu ruangannya yang berderit tertutup, Aluna mengeluarkan isakan hebat yang sedari tadi ditahannya. Tanpa ampun, Aluna sesenggukkan seorang diri sambil komat-kamit menyumpah, aku pikir kamu udah mati, ngilang gitu aja, ngilang gitu aja, ngilang gitu aja.

Suaranya kemudian menghilang. Memutar kepalanya ke beberapa sudut untuk memastikan keberadaan CCTV. Nggak banget nangis di hari pertama kerja.

Bukan maksud Aluna untuk menangis seraya menyerapah, tapi Aluna tak bisa menahan perasaan sakit akibat kehilangan yang dulu sempat dirasakannya, kemudian lupa karena disembuhkan sang waktu dan sekarang timbul lagi saat objeknya ada di depan mata. Perasaan dikhianati lebih spesifiknya. Time heals wounds, but never forget it.

"Sialan, siapa juga yang ngekhianatin kamu, Luna!" makinya seorang diri. "Tapi, dia yang ngilang nggak bilang-bilang," gumamnya lagi. "Tapi, kalo bilang namanya bukan ngilang," rutuknya. "Haaaah...."

Terus saja begitu, sisi sakit hati dan sisi rasionalnya muncul bergantian.

-oo0oo-

"Dari mana lo?" Igor menyapa Damar yang tengah sibuk mengenakan kembali sepatu olahraga setelah mengganti kaus kakinya. Salah satu hal yang paling dibenci Damar di dunia ini adalah kaus kaki basah yang melekat di kakinya setelah pertandingan atau latihan. Menurutnya, lembab akibat kaus kaki bisa membuat kakinya kisut dan berwarna pucat. Tak nyaman rasanya. Tak heran, jumlah kaus kaki Damar lebih banyak ketimbang jumlah seluruh atribut olahraga yang lain meski dijumlahkan bersama.

"Modus," jawab Damar seraya berdiri dan melompat-lompat.

"Gila. Ke klinik lo, ya? Baru masuk aja udah ditandain."

Merangkul bahu Igor untuk memasuki lapangan, Damar berbisik,"Menyelamatkan dia dari orang kayak lo."

"Sialan! Emangnya ada yang salah sama gue?"

Damar memutar bola mata. Tindakan sederhana yang mampu menyudutkan Igor dengan prinsip yang dianutnya sekian lama 'nggak papa kalo cowok nakalnya sekarang, biar nanti nggak nakal lagi.' Igor, lelaki berkulit kehitaman itu sudah terlalu ahli dalam batasan mendekati gadis-gadis, tidak sampai membuat mereka layak untuk menuntut status yang jelas. Kemudian jika tak cocok, tinggal menjadikan latihan sebagai alasan untuk menjauhi pelan-pelan. Ilmu yang sudah ditularkannya pada Damar, yang menyambutnya dengan gembira, seperti suhu yang expert pada murid potensialnya.

Di depan mereka berdua, sudah ada tiga pemain muda pelatnas yang siap membantu latihan. Tiga lawan dua, terdengar tak seimbang, namun ini salah satu metode yang diterapkan pelatnas untuk melatih kecepatan dan reflek pemain andalan.

"Serve." Peluit ditiup oleh Koh Wawan di waktu bersamaan dengan pemain muda melayangkan bola pertama. Igor segera menyambut dan mengembalikan bola ke arena permainan lawan. Awalnya masih lambat, bola-bola lambung dan rally panjang dipertontonkan. Meski pengembalian dari lawan terhitung lebih cepat, karena ada tiga orang yang bertindak sebagai penjegal kok. Semakin lama kecepatan semakin bertambah, hilir mudik kok yang melintasi net semakin tanpa jeda. Bergulir, dimentahkan dan didaratkan dengan smash.

Shuttlecock kembali ke daerah lawan, tiga pemain di depan mereka siap menyambut dan memuntahkan lagi setiap pengembalian. Menguras seluruh tenaga dan konsentrasi tanpa ampun. Tak sempat berkedip, kok sudah kembali lagi ke depan muka. Jika tak konsentrasi, poin lawan akan terus bertambah dan yang mungkin lebih parah muka ganteng mereka akan terhantam kok tanpa ampun. Igor dan Damar nyaris sudah kenyang mencium kok dengan cara kurang ajar seperti ini. Jangan tanya lagi bagian tubuh yang lain, sudah pernah dihantam di hampir segala sisi.

Igor yang bertindak sebagai playmaker, menyambut dan mengembalikan bola dengan posisi menyulitkan lawan atau menciptakan peluang untuk Damar mengeksekusi. Begitu pengembalian dari lawan yang terdesak menjadi tanggung, saat itulah Damar menghentak dengan smash gila yang kecepatannya selalu di atas 230 kilometer perjam. Bahkan, saat performa Damar belum terganggu cedera, kecepatan tiga ratus kilometer perjam sering mewarnai pertandingan.

"Wohoo! Keren," pekik Damar setelah berhasil mendaratkan kok di arena lawan. Keduanya ber-highfive sebelum keluar dari lapangan dan mengambil handuk untuk menyeka keringat.

"Kalo kaki lo udah sembuh, pasti lebih tajem dari itu," komen Igor.

Lagi-lagi Damar diingatkan akan cedera yang harus segera diatasi. Entah kenapa kali ini ada semangat tersembunyi untuk pulih secepatnya dan memberikan penampilan terbaiknya di pertandingan yang akan datang.

"Eh, iya. Gue ke klinik deh. Mesti konsul," sahut Damar seraya mengangkat alis dua kali.

"Beuh, bilang aja modus."

"Lo pinter banget, Gor," celetuk Damar sambil melemparkan handuk bekas ia mengelap keringat.

"Sialan. Dasar kampret!" maki Igor beruntun, yang dijawab dengan punggung Damar yang semakin menjauh.

-oo0oo-

"Jadi gimana?"

"Ng..."

"Apa tuh 'ng'?

"Apanya yang gimana?" balik Aluna, mendengus pelan.

"Udah baca rekam medik?" Damr malah bertanya balik.

Aluna mengangguk tak yakin. Seharian tadi nyaris lebih banyak digunakannya untuk melamun. Sudah berusaha untuk memusatkan perhatian, tapi apa daya kadang perasaan lebih menuntut penjelasan. Mantra 'profesional, Luna!' sudah berulangkali dirapalkan, dan tentu saja hasilnya tak sesuai dengan harapan.

"Lalu, gimana penanganan cedera aku?" kejar Damar.

"Ng...."

"Bukan 'ng', Princess." Aluna tersentak mendengar panggilan Damar. "Bukannya tadi pagi suruh pelajari itu?"

"Iya."

"Terus?"

"Ya, ngga semudah itu," gerutu Aluna. "Aku juga mesti pelan-pelan ngegalinya, mesti nanya-nanya, mesti diskusi."

Damar menepuk jidatnya,"Ya udah, kamu mau tanya apa?"

Keduanya bersitatap, lagu klasik yang mengalun dari speaker di sudut ruangan tiba-tiba mengambil alih keheningan. Keduanya larut dalam memori masa kecil yang berkejaran menyeruak ke permukaan. Masih bergeming selama beberapa waktu, Aluna kemudian disadarkan oleh ketukan kecil yang berasal dari jemari Damar.

Tergeragap, Aluna melontarkan pertanyaan,"Kenapa dulu ngilang nggak bilang-bilang?"

Dahi Damar berkerut seketika, ingatannya dipaksa mengelana ke suatu masa yang begitu menghantuinya.

Lima belas tahun yang lalu...

Langkah Damar terhenti di anak tangga kelima, isak tangis yang keluar dari bibir ibunya seolah bertindak sebagai rem otomatis untuk kakinya.

"Bapak tuh, nggak pernah mau dengerin Ibu." Nada menuduh jelas tersirat dari kata-kata yang barusan keluar dari mulut ibunya.

"Bukan nggak mau dengar, tapi Bapak juga nggak nyangka sampai begini. Bapak nggak tahu kenapa Iwan tega nipu kita, Bu!"

"Makanya, kalau percaya tuh diselidiki dulu! Jadi begini kan?"

"Astaga, Bu! Dipikir Bapak cuma terima laporan, lalu duduk manis?" Nada tak terima kali ini dikeluarkan Ridwan. "Bapak juga sudah usaha melacak keberadaan Iwan. Tapi semua butuh waktu!"

"Berapa lama, Pak?" tuntut Gianti.

Ridwan Wiranata menggeleng pelan. Reaksi yang semakin mengesalkan Gianti.

"Pak! Lalu aku harus gimana? Anak-anak harus gimana?" jerit Gianti putus asa. Terbayang beberapa pria berbadan besar dan berpenampilan seram yang dua hari ini selalu rutin mengetuk pintu rumah mereka. Debt collector, yang menjalankan tugasnya untuk menyelesaikan kredit macet Ridwan Wiranata. Sesuatu yang seharusnya tak terjadi, andaikata rekannya tak kabur membawa uang hasil usaha mereka berdua.

Kerutinan yang berubah menjadi teror. Menenggelamkan Gianti pada ketakutan. Mengubah suasana nyaman di rumah menjadi neraka. Pertengkaran demi pertengkaran menghiasi setiap malam. Tak jarang, Damar kecil harus menyaksikan teriakan dan umpatan. Tidak ada lagi kasih sayang, yang ada diantara keduanya hanya saling menyalahkan. Bea, kakaknya semata wayang berubah menjadi pendiam sejak ibunya mengurung diri di kamar tanpa mau berinteraksi dengan siapapun. Kegelapan begitu mendera, pekat menyelimuti hati setiap penghuni. Sampai akhirnya, Damar mendapatkan tawaran yang tak disangka-sangka.

"Aku iseng ngikut audisi bulutangkis, Princess," jawab Damar. "Dan lulus. Masuk asrama."

Menghindari neraka dunia tepatnya, batin Damar.

Aluna hampir melancarkan tonjokan. Jawaban Damar sesederhana itu, membuat kekesalan Aluna melonjak lagi ke permukaan.

"Nggak bisa pamit, bilang dulu gitu?" kejar Aluna dengan suara gemetar menahan amarah.

Damar menggeleng. Masih lekat di benaknya ketika serangkaian audisi pencari bakat di luar kota itu sudah berjalan hampir seminggu. Hasil yang ditunggu-tunggunya keluar pada hari keenam, menyatakan bahwa dia adalah salah satu kandidat yang diterima. Tanpa berpikir panjang, Damar hanya pulang untuk mengambil pakaian secukupnya, berkata seadanya pada kedua orang tuanya dan melangkah pergi dari rumah kelam yang dahulunya penuh warna.

Menginjakkan kaki di asrama, dan mengikuti sepenuhnya jadwal yang diterapkan pengelola. Nyaris tak ada waktu untuk bersantai—bagi Damar, ini adalah surga—karena waktu luang hanya membuatnya melamun memikirkan permasalahan keluarganya.

"Langsung masuk asrama begitu keterima, jadwalnya gila padatnya," kelit Damar melihat kilat amarah di mata Aluna. "Pagi sekolah, sore sampai malam latihan," tambah Damar dengan suara mencicit pelan.

Aluna mengabaikan nada interogasi yang sedari tadi kental di lidahnya, bodo amat selama ni orang mau jawab, batinnya.

"Nggak ada libur? Nggak ada pulang ke rumah?"

Damar menggeleng otomatis. Hampir delapan tahun lamanya tinggal di asrama, Damar tak pernah berniat pulang ke rumah. Yang dia tahu, hanya berlatih keras hari demi hari untuk mendapatkan ganjaran kemenangan, predikat juara.

Turnamen kelas junior melejitkan namanya, menjadi sorotan berbagai pihak pecinta olahraga bulutangkis untuk merekrutnya. Begitulah Damar berkelana dari satu klub kecil ke klub kecil lainnya. Mana yang bisa menawarkan kompensasi lebih atas prestasinya. Dari klub kecil, Damar akhirnya dirangkul sebuah klub besar di Jakarta. Berjibaku dengan latihan demi latihan, pertandingan demi pertandingan, sampai akhirnya pelatnas memanggilnya tujuh tahun yang lalu.

Memang motivasi yang salah, karena Damar berpatokan pada jumlah kompensasi yang diterima. Tapi, faktor apa lagi yang mampu menggerakan seseorang sekuat tuntutan ekonomi? Damar sadar itu, dan terus mengasah bakat yang dimilikinya.

Setiap kemenangan yang diraihnya, sebagian besar uangnya dipakai untuk membayar kembali utang bapaknya yang sudah menumpuk dengan bunga. Sedikit demi sedikit bisa tertutupi dan jangka penangguhan bisa dinegosiasi dengan pihak bank atas bantuan pihak klub pelatihan tempat dia bernaung.

Damar ingat dengan jelas kepulangan pertamanya, saat dia berhasil memenangkan turnamen kelas Grand Prix Gold bersama Nathan, partner-nya waktu itu. Uang pembinaan yang diterimanya sebagai kompensasi medali emas yang diraih itulah yang akhirnya bisa digunakan untuk melunasi utang bapaknya serta menebus kembali sertifikat rumah yang dijadikan sebagai jaminan penangguhan utang. Kemenangan itu juga bermakna besar, karena Damar bisa memboyong bapak, ibu dan kakaknya kembali ke rumah asal mereka.

"Aku pulang sempat beberapa kali."

"Tapi, nggak bilang-bilang, nggak main ke rumah?" tuntut Aluna lagi.

"Waktunya sempit," kilah Damar. Kilat di mata Aluna membara lagi. "Lagian, waktu aku mulai pulang ke rumah kamu nggak pernah keliatan," dusta Damar.

"Iya, aku kuliah di luar kota."

Fiuh ... untung ngelesnya cantik. Yang benar adalah, Damar lupa sama sekali tentang kawan kecilnya itu. Bagaimana bisa ingat, dia sibuk mempertahankan posisi agar tak terdepak dari pelatnas. Bagaimanapun, zona degradasi di pelatnas tak bisa diperkirakan kapan datangnya.

"Jadi, gimana soal cedera?" tanya Damar.

Aluna ternganga, matanya melirik ke kiri dan ke kanan dua kali.

"Baru akan kupelajari."

Damar terkekeh pelan, jawaban diplomatis yang Aluna utarakan jelas memancing rasa ingin tahunya,"Jadi, ngapain aja kamu seharian, eh?"

Nangis, mikirin kamu, pengen nabok, nonjok, nendang dan mencecar kamu dengan pertanyaan. "Beradaptasi dengan pekerjaan baru."

-oo0oo-

"Gimana, pekerjaan baru?"

"Eum ... begitulah. Gue masih nyoba buat tune in sama ritmenya."

"Tapi, penerawangan lo bakalan betah nggak?" tanya Judid iseng.

Aluna mengangkat bahu, pikirannya kembali ke sosok Damar yang ternyata menetap di asrama. Bukan seperti Aluna yang memilih untuk tetap pulang ke rumah meski kemacetan Jakarta membikinnya gila. Itu syarat yang dulu ditetapkan ayahnya saat Aluna menunjukkan offering letter dari pelatnas.

"Luna."

"Eh," Aluna mengerjap karena panggilan Judid. "Apa tadi?"

"Besok mau dijemput jam berapa?" Ternyata topik omongan sudah bergulir dari kebetahan menjadi mekanisme antar jemput Aluna. Sewaktu Aluna bercerita bahwa dia menerima tawaran pelatnas, Judid dengan semangat mendedikasikan diri sebagai supir pribadi tanpa gaji Aluna.

"Nggak usahlah, pergi bisa nebeng sama Kafka atau Defka, Did."

Dahi Judid mengernyit tak suka, dia sudah mengatur jadwal di bengkel agar tak bertabrakan dengan jam pergi dan pulang Aluna. Namun, Judid sedang malas berargumen tentang hal ini di hari pertama Aluna bekerja. "Jadi, pulangnya ja?"

"Eng ... gue besok nggak tau pulang jam berapa, nanti deh gue hubungin lo," jawab Aluna cepat. Kemudian memalingkan wajah ke luar jendela. Tenggelam dalam lamunannya.

Seketika, Judid merasa ada sesuatu yang mengusik pikiran Aluna. Membuatnya lebih senang melamun ketimbang bicara sejak Judid menjemputnya petang tadi.

-oo0oo-

Salah satu kelebihan otak perempuan adalah menciptakan what if scenarios. Dan hal ini yang sedang dilakukan Aluna saat kantuk tak kunjung menghinggapi mata. Bagaimana jika dulu Damar tak lolos seleksi audisi bulu tangkis? Mungkin Damar masih menjadi tetangga sebelah rumah yang paling dekat dengan Aluna. Mungkin Damar yang justru mengantar Aluna ke mana-mana, bukannya Judid. Bagaimana kalau Damar tak tinggal di asrama? Mungkin mereka bertiga bisa masuk di sekolah yang sama, bersahabat dan mungkin saja Damar akan lebih akrab dengan Judid ketimbang Aluna dan Judid sendiri.

Kebiasaan Damar yang paling diingat Aluna adalah sifat setia kawannya. Damar itu orang yang paling bisa pegang janji, meski Aluna merengek minta temani, jika Damar sudah ada janji main bola bersama anak lelaki dari gang sebelah, Damar akan pura-pura menulikan telinganya. Begitu pula, jika Aluna sudah meminta Damar menyertainya ke suatu tempat, biar kata ada pertandingan kecil-kecilan berhadiah minuman bersoda, Damar akan mengabaikan pertandingan itu dan memilih membeli dua kaleng minuman bersoda untuk dinikmati berdua dengan Aluna.

Aluna meraih ponselnya yang terletak di nakas. Iseng sebenarnya, membuka salah satu sosial media dan mengetikkan 'Damar Dirwanaka' di kolom pencarian.

damardirwanakaofficial

damardirwanakafanpage

damardirwanaka_fc

damardirwanaka_fanbase

thereal_damardirwanaka

"Astaga, ini apa?" gumam Aluna geleng-geleng kepala. Kemudian memutuskan masuk ke akun paling atas. Terpampang jelas foto Damar dalam berbagai pose. Matanya menjelajahi, tangannya bergerak menggulirkan layar ponsel ke bawah. Didominasi oleh foto-foto bercucuran keringat saat pertandingan bulu tangkis. Sesekali, diselingi Damar dengan pose narsis.

"Ya ampun...," ucap Aluna. Kemudian memutuskan untuk mengeklik salah satu foto Damar yang sedang berpose di depan toko olahraga. Mengenakan baju putih polos, celana hitam selutut dan topi berwarna abu-abu. Tangannya membentuk jari telunjuk dan tengah teracung. Ungkapan peace!. Lengkap dengan caption berupa tiga emoticon 😉😊😊 . Mata Aluna tertumbuk pada komentar di bawahnya, mengerjap sekali saat menemukan tulisan 518 comments. Digulirkannya ponsel ke atas sampai jarinya merasa tak kuat untuk men-scroll seluruh komentar. Rata-rata isinya: gila, ganteng banget; kok kayak ada manis-manisnya gitu sih, Mar; ya ampun ... pagi2 dikasi yang beginian jadi semangat sekolah. Sisanya: folbek donk, Kak Damar.

"Demi apa, ini atlet apa artis sih?" rutuk Aluna, yang entah kenapa tiba-tibamerasa kesal sendiri.

Note:

Kyaa...jarang update, pasti ditabok. Maaf-maaf ya, agak padat soalnya plus idenya ngadat. Hahaha.

Saya mau bikin perjanjian di awal, untuk suasana, saya masih menginduk ke kejadian sekarang. Makanya, saya tak menyebutkan secara spesifik tahunnya. Karena susah euy membayangkan dunia tiga puluh taun mendatang. Pusing pala, Ebie! wkwkwk

Bantu ingetin typo, terus yang aneh-aneh di cerita ini ya. Jadi bisa segera diperbaiki. Masukan dan kritik yang disampaikan dalam bahasa santun juga sangat diterima :)

Oia, lupa terus. Selamat menunaikan ibadah puasa. Semoga ada umurnya menemui lebaran :)

Tahun ini saya mudik ke PRABUMULIH, ada yang orang Prabu nggak?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro