CHAPTER 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pintu ruangan diketuk, membuyarkan konsentrasi Aluna pada berkas yang tergeletak di atas meja sejak satu jam yang lalu.

"Masuk. Silakan."

Keriut khas yang ditimbulkan oleh pintu yang didorong disertai sosok yang selama ini hanya Aluna kenal sekilas, membuatnya memutuskan untuk berdiri. Menyambut dengan sopan salah satu orang yang diperkenalkan Ronald tempo hari sebagai pelatih tetap di pelatnas.

"Santai? Ada yang perlu saya diskusikan soalnya." Hariawan Leonardi langsung mengatakan maksud dan tujuannya.

"Hanya sedang menganalisa beberapa berkas. Silakan duduk, Pak."

"Saya biasa dipanggil Koh Wawan, santai saja Aluna."

Aluna terperangah, jika sebagian besar penghuni pelatnas memanggilnya dengan nama depan, lelaki di depannya ini justru menggunakan nama panggilan akrabnya.

"Baik, Koh."

Lelaki bermata sipit di depannya menumbukkan pandangan pada berkas di atas meja. "Berkas Damar Dirwanaka?"

Aluna mengangguk sekali. "Ya, saya sedang mempelajarinya."

"Apa yang sudah kamu dapatkan?" lanjut Koh Wawan. Benar-benar efisien, batin Aluna. Tak ada basa-basi.

"Ng ... cedera engkel sejak dua tahun yang lalu. Sudah dilakukan beberapa terapi, dan akhir-akhir ini sering kambuh."

"Tepat. Sudah melihat berkas MRI-nya?" kejar Koh Wawan.

Aluna meraih sebentuk slide berukuran cukup lebar, memuat beberapa citra dalam berbagai posisi. "Ligamen kakinya mengalami peregangan maksimal, nyaris putus," ungkap Aluna. "Sepertinya tertarik akibat posisi pendaratan yang tidak oke. Saya duga, setelah melakukan vertical jump yang lumayan tinggi."

"Babak final Asian Games dua tahun lalu, melawan Cina, saya ingat," gumam Koh Wawan. "Coba tampilkan yang ini," lanjutnya seraya menyerahkan sebuah disc berlogo nama rumah sakit ternama dan bertuliskan Tn. Damar Dirwanaka, bertanggal satu bulan yang lalu.

Aluna menerima dan memasukkan disc ke dalam laptopnya yang langsung terkoneksi dengan program pembaca hasil MRI. Mengetukkan tangannya beberapa kali sampai citra yang diinginkan terbuka di layarnya. Mengeklik beberapa kali dan menggulirkan mouse untuk memperjelas bagian yang diinginkannya. Sejenak ia terdiam, kemudian matanya terangkat menyiratkan kebingungan. Bersitatap dengan Koh Wawan yang tersenyum simpul, lalu berkata, "Bantu saya untuk menangani anak ini, bisa?"

Aluna mengangguk pelan, saat menangkap nada hangat penuh kasih sayang dari mulut Koh Wawan ketika menekankan sebutan 'anak ini'.

-oo0oo-

Merasakan ketertartikan besar terhadap sesuatu, biasanya diungkapkan dalam kata passion—yang bagi Damar adalah olahraga, terutama bulu tangkis yang kini menjadi separuh jiwanya—jelas rasanya. Bulu tangkis adalah pilihan ketertarikan yang tepat di masa lalu, dan diasah sedemikian rupa sampai menjadi sumber penghasilan Damar yang paling utama.

Semua jelas, seterang cahaya bagi Damar untuk memahami bahwa apa yang digelutinya saat ini mendatangkan unlimited profit sampai waktu yang belum ditentukan. Mungkin akan terus seperti itu sampai dia terdepak mundur karena usia atau penurunan kemampuan. Atau bisa jadi, saat cedera sialan itu kembali menunjukkan kepongahannya.

Sejelas itu. Seringkas itu.

Tapi, ketertarikan jenis apa yang kini tengah melandanya?

Hanya dengan menyaksikan gadis di depannya seliweran bisa membuat semangatnya terpompa. Kemudian tanpa sadar, melakukan segala sesuatunya menjadi terlampau berlebihan—alay, sebut Igor—agar Aluna memalingkan muka ke arahnya. Terserah bagaimana reaksi gadis itu, yang jelas Damar bisa puas jika ekor mata Aluna berlarian ke arahnya. Menyedot perhatian Aluna agar terpusat hanya padanya.

Dokter spesialis cinta yang bernama Igor bilang, Damar jatuh cinta. Akut sekaligus kronis melihat gejala-gejalanya. Bagaimana tidak, Aluna baru seminggu menjadi penghuni pelatnas, terlalu cepat untuk jatuh cinta dengan alasan. Tapi, Damar selalu bilang bahwa ia mengenal Aluna nyaris sepanjang hidupnya. Dan sah saja untuk tertarik padanya. Aluna cantik, dan itu bisa jadi alasan terkuat kalau Damar tertarik. Damar berpikir lewat mata, soalnya.

Damar lebih suka terang-terangan menunjukkan ketertarikannya, terutama di depan Igor. Karena biasanya Igor akan menyambar setiap kesempatan untuk mendekati gadis yang masuk dalam kriteria cantik dan menarik versi mereka. Bukan seperti Igor yang sudah pro, Damar lebih pada posisi ikut-ikutan. Jika dikenalkan pada deretan gadis-gadis pemuja, maka ia membiarkan Igor memilih terlebih dahulu, dan menerima sisanya. Cocok, jalan beberapa kali. Tak cocok, jadikan latihan menjelang pertandingan sebagai alasan. Trik yang sudah mendarah daging sejak keduanya dipasangkan sebagai ganda putera. Benar-benar partner in crime tak terpisahkan.

Pernah suatu ketika, Igor mendapat hukuman harus menggantikan tugas bagian laundry yang cuciannya membludak setiap hari. Penyebabnya sederhana, Igor ngecengin Thalia, puteri semata wayang Koh Wawan dan nekat melancarkan jurus pedekate maut padahal Thalia baru saja kembali ke Indonesia setelah lulus kuliah. Koh Wawan naik pitam, Igor membolos latihan dan beralasan sakit asma tapi kepergok memulangkan Thalia pada malam harinya. Seminggu lamanya, Damar mesti merelakan diri memasukkan cucian kotor, menggiling dan menyetrika sampai mengantarnya ke kamar-kamar asrama. Semua dilakukan agar Igor masih punya waktu untuk beristirahat setelah seharian latihan dan bersambung menjadi kuli cuci tak resmi pelatnas.

Sejak senyum jahil Aluna menggerayangi ingatannya paska memergoki proses kabur-kaburan gadis itu sebulan yang lalu, Damar sudah merasakan sensasi aneh tiap kali ketemu Aluna. Semangat yang meluap adalah salah satunya. Bangun pagi, mandi dengan teliti kemudian menyempatkan diri untuk membeberkan keluhan engkelnya sebagai alasan untuk mampir di klinik setiap pagi. Nyaris bersamaan dengan waktu Aluna meletakkan tas kerjanya, Damar sudah menongolkan kepala. Hal yang lain adalah tingkah laku Damar yang suka overreacted jika berhadapan dengan Aluna.

"Ugh ... shit," maki Damar. Kok ringan—yang kalau ditolakkan dengan kekuatan super Igor menjadi tak ringan lagi—mendarat di pelipisnya, nyaris mengenai matanya.

"Makanya, jangan alay," sela Igor langsung. "Lo kayak abege norak banget, Mar. Bertingkah banget biar kesayangan baru kita noleh ke lo mulu."

"Kesayangan gue," hardik Damar langsung. "Udah gue tag dari kapan tahun!" Igor memutar bola mata sebagai jawaban.

Damar membanting jalinan bulu angsa tak bersalah di tangannya. Kok yang tadinya rapi menjadi amburadul, bulunya mencuat ke sana sini, tergeletak pasrah di lapangan. Berjalan mendekati Igor yang ikut mendekat ke net, Damar merangkul Igor dan berbisik,"Keliatan banget ya gue minta diperhatiin?"

Igor mengangguk dengan yakin, menahan tawanya.

"Dia ngeliatin gue nggak?" bisik Damar lagi.

Igor langsung melarikan pandangan ke tempat target berada. Kali ini Igor menggeleng, senyum mengejek langsung terkembang otomatis di bibirnya begitu mengembalikan wajahnya menatap rekan kesayangannya.

"Grr ... jadi gue mesti gimana?" desah Damar frustrasi. "Lo biasanya ngapain biar perhatian cewek-cewek lo langsung  ke lo? Di luar pertandingan maksud gue? Pas Thalia hooh aja lo ajak jalan? Itu ... gimana caranya?"

Igor terbahak-bahak menertawakan pertanyaan Damar yang menurutnya kekanak-kanakan. Di sela tawa, Damar terlihat mengangguk-angguk menerima transfer ilmu menaklukkan wanita dari guru ahli tipu muslihat yang paling dipercayainya. Sampai kemudian Koh Wawan membubarkan rapat kecil dadakan di antara keduanya dan menggenjot mereka untuk kembali berlatih.

-oo0oo-

"Analisaku, cedera kamu kambuh-kambuhan karena pemulihannya nggak optimal," cetus Aluna saat Damar mengempaskan diri di hadapannya.

"Padahal aku minum obat teratur dan menaati semuanya, lho," debat Damar tak terima.

"Iya, tapi terapi kamu nggak ada yang kelar. Baru beberapa seri, cabut lagi buat tanding. Baru mau sembuh langsung dihajar, cedera lagi engkelnya," bantah Aluna.

"Mau gimana lagi, namanya juga atlet andalan," ujar Damar menyombong, maksudnya agar Aluna terpesona.

Yang digoda malah melepeh kasar,"Ya gitu aja terus sampai ligamennya robek sendiri dan nggak bisa ditangani lagi."

"Lho, kamu kok nakutin, bukannya ngobatin."

"Lagian, kalau mau sembuh beneran ya ikuti prosedur pengobatan sampai kelar, lanjut pemulihan. Udah pulih sempurna, baru main lagi."

"Ugh."

"Kayak kiamat aja kalo nggak ikut tanding bulu tangkis dua atau tiga event," lanjut Aluna berisik.

"Kiamat, Princess. Kiamat buatku," keluh Damar. "Nggak ada metode yang cepet begitu? Kan zaman udah canggih?"

"Sesuatu yang instan, hasilnya juga gak tahan lama."

"Tapi gosipnya, hasil urut Mak Erot tahan lama," ucap Damar tanpa berpikir. Ia merasa Aluna seperti Igor yang bisa diajaknya bicara apa saja.

Aluna melotot ngeri. "Ya udah, sana aja kamu minta pijit sama Mak Erot, siapa tau cedera engkel kamu bisa panjang dan tahan lama," bentak Aluna, kemudian membanting pintu kamar mandi di depan hidung Damar yang masih menekup mulutnya. Menyesali kata-kata yang telah ia lontarkan beberapa saat yang lalu.

Aluna bersandar di pintu menentramkan jantungnya yang akhir-akhir ini menjadi liar berdentum-dentum pada waktu tertentu. Kebanyakan dihasilkan dari interaksinya dengan lelaki yang entah sedang apa di ruang kerjanya ini. Setor muka tiap hari dengan keluhan lebay yang itu-itu saja. Memasang telinga, Aluna tak menangkap adanya pergerakan berarti.

"Yang paling bermasalah pada Damar adalah psikologisnya." Terngiang di telinganya ucapan Koh Wawan waktu itu. "Seperti yang kamu lihat, setiap terapi yang dilakukan padanya tak banyak membawa perbaikan. Stuck di situ-situ saja. Saya curiga anak ini ketakutan jika melewatkan beberapa turnamen, takut terdegradasi karena cederanya. Makanya sering bandel, dan ngotot ikut turnamen meski terapinya belum selesai."

Aluna menyentak pintu kamar mandi dan mendapati Damar masih setia di tempatnya. "Kamu nggak balik latihan?"

"Latihan," jawab Damar. "Paling nggak kamu apain dulu gitu. Bukan cuma semprot chlor ethyl aja."

"Kalau kamu pengen penangangan yang instan, yang bisa aku tawarkan semprotan antinyeri dan strapping untuk proteksi engkel kamu," jelas Aluna memancing reaksi.

"Kalau begitu terus, kapan sembuhnya?" dumel Damar. "Sementara aku perlu tumpuan yang kuat biar jadi tukang gebuk paling digdaya seantero dunia."

"Kalau aku bilang kamu mesti menjalani terapi sampai selesai—"

"Berapa lama?"

"Dan merelakan beberapa event terlewati, gimana?"

"Aku nggak bisa."

"Pilihannya ada di kamu," tegas Aluna. Kemudian dia memutar laptopnya, mengeklik ikon play dan sebuah presentasi otomatis ditampilkan. "Ini rencana aku, masih belum aku diskusikan sama pelatih dan fisioterapis yang lain. Mau aku tunjukkin ke kamu dulu."

Posisi Aluna berdiri tepat di sampingnya. Wangi khas Aluna yang selalu dihidunya setiap kali bertemu benar-benar mengacaukan konsentrasi. Rasanya Damar harus menampar pipinya secara virtual agar tidak menarik pinggang Aluna dan mendudukkannya di pangkuan.

Damar memasang mata, bertingkah seolah menyimak. Padahal, kelebatan di otaknya adalah berkisar pada cara mengajak Aluna keluar akhir minggu ini. Aluna terus menerangkan segala macam informasi yang ditampilkan dalam bentuk demo. Lengkap dengan animasi lucu dan balon percakapan tentang tahapan fisioterapi yang harus dijalani Damar. Dimulai dengan pembebanan fisik bertahap yang menurut Damar sudah pernah dilewatinya, sampai dengan rencana inovasi yang akan dilakukan Aluna untuk memperkuat vertical jump-nya lebih dari sebelumnya.

"Paling nggak butuh waktu satu bulan untuk melakukan rangkaiannya," lanjut Aluna lagi. Berjalan menuju lemari kecil di samping tempat tidur dan mengambil strap pelindung.

Kesadaran Damar langsung timbul begitu mendengar rentang waktunya. "Artinya, aku harus merelakan dua turnamen besar di depan mata?" Damar mengernyit, jelas tak menyembunyikan sama sekali bahwa ia tak menyukai gagasan Aluna.

Aluna hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban,"It's your choice, Mister."

Pilihan yang sulit bagi Damar, di satu sisi ia sangat tak rela kalau harus melewatkan dua turnamen penting. Di sisi lain, kapan lagi bisa menempel pada Aluna, tanpa diusir kembali latihan.

"Yang bakal ngelakuin serangkaian ini, kamu? Eh ... maksudku kita?"

Aluna terbatuk, nyaris pipinya memerah mendengar kata kita yang entah kenapa terdengar intim.

"Yakin kalau aku bisa sembuh dan malah lebih, seperti yang kamu tunjukkin tadi."

"Asal kamu percaya." Aluna menunduk dan memasangkan strap proteksi di seputar engkel Damar. Demi Tuhan, Damar harus menahan dirinya untuk tidak menyentuh puncak kepala Aluna dan membelainya.

"Jujur saja, aku ingin sekali nggak percaya," dengus Damar mengalihkan tatap agar tak membayangkan mengecup ubun-ubun Aluna. "Kalo bukan kamu yang bilang."

"Ya, udah nggak usah sembuh aja sekalian," rutuk Aluna sebal. Berdiri

"Biar aku ada alesan ke sini tiap hari ya," ucap Damar pelan, menciptakan efek dramatis saat keduanya bersitatp lagi. "Dan kita bisa ketemu terus."

Aluna membuka mulut untuk menjawab, kemudian menutupnya lagi. Gagu seketika.

Reaksi yang mengejutkan Damar. Benar kata Igor, harus dirayu pelan-pelan biar dapat ekstraknya, batin Damar.

"Mata kamu terbuat dari apa sih? Bikin betah gitu ngeliatinnya?" celetuk Damar yang akhirnya membenamkan tatapan di mata Aluna, enggan beralih sama sekali sampai Aluna kaku dan merona sekali lagi.

"Apaan! Balik sana ke lapangan."

"Sabtu ini, balik ke rumah sama aku ya?"

"Ng ... emang kenapa?"

"Ya ... aku pulang weekend, dan kita searah kalau-kalau kamu lupa."

Aluna mendengus pelan,"Udah ada yang jemput."

Bukan Damar namanya kalau menyerah begitu saja,"Bensin jangan dibuang percuma, Princess. Rezeki nggak boleh ditolak. Pamali."

"Ugh!" Aluna melarikan matanya ke sana kemari. Mendamaikan jantungnya yang berdegup lebih cepat.

"Kalau kamu mau mampir ke mana dulu nanti Sabtu tinggal bilang, siapa tau kamu mau nonton dulu gitu."

"Maaaar...," lirih Aluna. "Balik sana ke lapangan ... argh!"

Damar terkekeh pelan, kemudian berdiri menyejajari Aluna. Menunggu Aluna untuk mendengak, namun tak kunjung terkabul juga.

Mengikuti instingnya, Damar meraih tangan Aluna yang terkepal erat di sisi tubuhnya. "Ada saatnya tangan ini bakal kembali ke genggamanku kayak dulu, tunggu aja," bisik Damar tepat di telinga Aluna. Kemudian melepaskan dan melangkah lebar-lebar menuju pintu tanpa menoleh lagi.

Meninggalkan Aluna yang megap-megap menahan degup jantung dan napas besar yang dilepaskannya tiba-tiba, lalu merosot ke lantai saking lemasnya. Entah, Aluna tak tahu, perlakuan Damar membuatnya nano-nano. Rasa yang tak pernah dialaminya sebelumnya.


Note:

Muahaha...mabok-mabok dah liat visualisasi Damar ala saya. Wwkwkwkwk...

Selamat lebaran teman-teman :)

Semoga chapter ini bisa sedikit mengobati ya^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro