Kapten Davy Jones

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[Disarankan memainkan musik di atas]

Khirani tidak mau jika akhirnya ia akan berakhir seperti ini. Merasa asing kepada orang yang ia kenal. Ia sudah menyaksikan orang-orang terdekatnya terasa asing beberapa waktu lalu. Ayah, ibu, saudara-saudaranya, teman-temannya bahkan seseorang yang pernah dekat dengannya. Ia merasa menderita saat itu, merasa dunia tidak lagi baik-baik saja untuknya. 

Benar, dunia seolah berpaling padanya. Khirani benci kehadiran Bhanu yang asing karena ia takut akan menjadi seperti yang lain, menjadi asing kembali. Dan, Khirani kini kembali merasakan itu.

Namun, Bhanu yang terasa asing tanpa sebab membuatnya bertanya-tanya, membuatnya penasaran. Tidak terlalu membuatnya kecewa, hanya membuatnya kesal tanpa akar. Ada perasaan yang mau Bhanu tak boleh begitu, harusnya Bhanu begini-begitu. Ya, Khirani merasakan perasaan itu. Perasaan apa itu, sungguh Khirani tidak menyadari.

"Habis jatuh, ya? Bibirnya luka." Bhanu berjalan ke arah Khirani, "Saya rasa kamu butuh ini." Bhanu mengulurkan segelas kopi susu, "Saya nggak tahu apa kopi kesukaanmu, saya ngarang, semoga suka."

Khirani masih bergeming, tidak merespons apa pun kecuali mematung dengan debaran jantung di dadanya. Angin yang berembus kencang sama sekali tidak mengurangi hawa panas yang menjalar pipi, Khirani cukup tegang. Lebih tepatnya terkejut dan juga salah tingkah, tidak tahu harus berbuat apa.

"Nggak suka kopi, ya?"

Dulu Khirani memang tidak suka kopi, menurutnya zat kafein di dalam kopi bisa merusak email giginya, membuatnya takut mempengaruhi pola tidurnya, tetapi sejak keadaan memaksa untuk tetap terbangun siang dan malam, kopi menjadi satu-satu obat yang bisa menyegarkan mata. Saat ini kopi yang berlogo suatu brand terkenal itu tepat di depan matanya, dipegang oleh seseorang yang membuat dua hari gadis itu terasa asing.

"Saya taruh sini, ya?" Bhanu meletakkan kopi itu di tembok pembatas rooftop, kemudian Bhanu mengedarkan pandangannya ke gemerlap kota Jakarta yang sibuk. "Wah, Jakarta semakin malam semakin sibuk, ya?"

Perlahan Khirani ikut mengedarkan pandangan yang sama dengan Bhanu, mereka berdiri dengan jarak gelas kopi yang menyekat. Ada berbagai pertanyaan yang ingin Khirani ajukan, tetapi semua pembendarahaan katanya seolah tidak berfungsi, semua kalimat tertelan begitu saja. Meninggalkan rasa canggung dan teramat asing sekali, asing yang membuatnya nyaman dan tenang meski agak membingungkan.

"Akhirnya kantor yang sibuk akan berakhir tiga hari lagi. Deg-degan nggak, Khi?" tanya Bhanu sembari menoleh ke arah Khirani yang Bhanu tidak sangka, gadis itu sudah menoleh ke arahnya lebih dulu.

Seperkian detik mereka terjebak pada ruang dan waktu yang menyesakan dada, membuat desiran hangat dan geli menjalar di antara diagfragma perut. Membuat napas mereka mengembus pelan seolah tertahan.

"Kalau saya sih bukan deg-degan lagi, tapi berasa nggak punya jantung kalau mengingat pertunjukan kurang tiga hari lagi," ujar Bhanu diiringi tawa di akhir kalimat, mencairkan suasana yang sempat membeku.

"Kita kemarin sama-sama sibuk, ya, di kantor, semoga pas pertunjukan nanti kita bisa menampilkan yang terbaik. Saya kadang suka kepikiran sama Reyko," imbuhnya.

"Kenapa sama Reyko?" Akhirnya ada kata yang bisa Khirani ucap setelah terjebak dalam kebingungan.

"Dia sangat berbakat sekali, bahkan kamu bilang dia punya keahlian lebih yang tidak dimiliki semua orang. Hanya saja, keluarganya tidak pernah mendukung. Reyko sangat mencintai musik, baginya musik seperti jiwa. Waktu keluarganya memaksa  Reyko masuk ke akademi militer, Reyko seperti kehilangan jiwanya. Dia pernah mengalami masa berat, sampai akhirnya dia memilih jalan sendiri."

"Menjadi pianis jalanan?"

Bhanu mengangguk, "Dia keluar dari akmil dan memilih menjadi musisi jalanan. Dia belajar secara otodidak, mengikuti berbagai kompetisi musik, sampai akhirnya dia pernah dikontak label terkenal. Dia sempat bebas dan sempat mengibarkan bendera kemenangan, tapi itu nggak bertahan lama."

"Kenapa?"

"Ayahnya meninggal dan ibunya sakit-sakitan, Reyko terpaksa pulang, terpaksa mengubur mimpi. Reyko menggantikan ayahnya di perusahaan. Reyko benar-benar menyerah dengan mimpi-mimpinya."

Khirani benar, Reyko memang terbelenggu tembok besar untuk meraih mimpinya menjadi musisi besar. Seperti hal dirinya, persis sekali.

"Untuk tetap waras dan tetap punya jiwa dalam hidup, dia menyempatkan diri untuk bermain piano meski sembunyi-sembunyi. Ibunya takut dia kembali ke dunia musik dan meninggalkan ibunya sendiri. Sampai pada waktu seminggu setelah saya pulang ke sini, Reyko menelpon saya. Dia bilang, 'ibu sudah memberi izin, aku harus bagaimana, Nu?' saya jawab, 'baik, gabung saja di pertunjukan'."

"Kenapa bisa akhirnya memberi izin?"

Bhanu mengangkat bahunya sambil tersenyum tipis, "Saya tidak tahu pasti dan saya tidak berani tanya, itu urusan keluarganya. Kecuali jika dia bercerita, saya akan siap mendengarkan dan memberi solusi jika saya bisa," sarkasnya lembut, berharap Khirani juga menangkap kalimat sarkas Bhanu, tidak untuk Reyko, tetapi untuk Khirani juga.

Khirani kembali menoleh ke hamparan gemerlap kota Jakarta di depannya. Mengolah rasa yang perlahan terlihat jelas, terlihat tenang tentang tujuannya. Seperti tembok benteng yang mulai terdengar adanya retakan dan Bhanu sudah siap di balik benteng untuk masuk ke dalam dunia yang selama ini Khirani tutupi.

Untuk beberapa saat, mereka saling diam. Sampai akhirnya embusan panjang dari bibir Khirani terdengar. Bhanu perlahan menoleh, menatap wajah gadis itu dengan sorot sendu, angin menyibakkan beberapa helai rambutnya menampakan sebuah pemandangan yang Bhanu tidak percaya bisa sedekat ini dengan gadis kaku dan ketus ini, setelah melewati banyak fase yang menguras habis kesabarannya.

"Kemarin Binna mengakui sesuatu."

Khirani menoleh.

"Kalian menyelinap masuk ke kamar saya."

Raut wajah Khirani langsung berubah, ketenangan di sorot matanya lenyap berubah menjadi sorot mata bersalah.

"Nggak apa-apa, kok, mau tidur di kamar saya pun, pasti saya izinin," ujar Bhanu sambil menahan tawa, berharap Khirani tidak begitu merasa sungkan dan bersalah. Namun, candaan itu tidak berhasil, malah membuat alis gadis itu mengerut, memancarkan ketidaksukaan. "Bercanda, kok, Khi. Cuma istri saya yang boleh tidur di kamar saya."

"Memangnya kamu udah punya calon?"

Bhanu tertawa sumbang, "Oneday, pasti punya." Jeda beberapa detik, Bhanu menyadari sesuatu, "Eh?" bibirnya sudah mau tersenyum lebar Khirani menanyakan kalimat barusan.

"Maaf, waktu itu aku diseret masuk sama Binna," sela Khirani sambil kembali menghadap depan. "Nggak lama, kok, habis tuh keluar."

"Habis lihat album foto saya, ya, kalian keluar?"

Khirani menelan air ludahnya, tidak berani untuk menoleh ke Bhanu. Khirani merasa malu karena selama ini yang melewati batas bukanlah Bhanu, melainkan dirinya. Khirani merasa seperti menjilat ludahnya sendiri yang sudah ia buang.

"Aku tidak penasaran, cuma Binna yang maksa kasih tunjuk."

"Begitu, ya?"

"Hm."

Bhanu mengangguk-angguk kecil sambil mempersiapkan kalimat panjang yang ingin ia ceritakan kepada Khirani. Jika Khirani belum bisa membuka diri, Bhanu rasa ia yang harus memberi jalan itu.

"Kamu pasti melihat foto saya memakai seragam militer, kan?" kata Bhanu sambil balik badan, menyenderkan punggungnya di tembok pembatas rooftop, berkebalikan dengan posisi Khirani yang menghadap keluar rooftop. "Ya, sebelum menjadi penulis, saya pernah mengikuti pendidikan angkatan laut. Setelah hampir dua tahun saya menghabiskan masa muda saya di balik dinding kemiliteran, saya mengundurkan diri."

Khirani menoleh ke Bhanu, sorot mata pria itu menerawang ke arah langit.

"Dari kecil saya suka dengan hal-hal yang menyangkut kemiliteran. Dari SD saya selalu berpartisipasi di gerak jalan, dari cuma jadi anggota di barisan belakang sampai akhirnya menjadi pemimpin barisan. Dari yang menjadi pasukan 46 sampai akhirnya menjadi Inspektur Komandan Upacara Kemerdekaan." Bhanu tersenyum tipis mengenang.

"Ayah saya memang seorang perwira angkatan Laut. Beliau yang memperkenalkan militer kepada saya, melatih mental saya sejak dini, meski begitu saya tidak terlalu dekat dengan ayah. Ayah dingin, tegas, dan terkesan tidak peduli. Di kapal, ayah lebih dikenal sebagai Kapten Davy Jones, penguasa laut yang menyeramkan. Banyak yang menggadang, saya akan menjadi Kapten Jack Sparow, musuh Davy Jones." Bhanu terkekeh.

"Di kapal, saya sering berbuat ulah, persis seperti Kapten Jack Sparow," jeda kekehan kembali, "saya sering naik dek lewat samping kapal, sering nyebur di tengah laut malam-malam, saya sering membuat Kapten Davy Jones beberapa kali dipanggil Admiral. Di atas kapal saya dihukum habis-habisan, disuruh bersihin dek, kamar mandi kapal sampai ikut masak di dapur, disuruh renang belasan kilo meter, sampai akhirnya... teguran terakhir adalah akan dipindah ke kompi dermaga."

"Saya menolak, tentu saja. Saya berontak, saya memang egois waktu itu. Saya... hanya mencari perhatian ayah," kata Bhanu dengan sunggingan senyum getir. "Tujuh tahun yang lalu, KRI Baruna 501 menjadi kapal terakhir saya berlayar." Nada Bhanu berubah, seperti menyimpan segala luka ketika menyebut nama kapal itu.

"Saya nggak mau pindah ke darat, Yah!"

"Panggil saya Kapten, saya kapten kamu, Letnan Jisaka!" suara Kapten Arya menggelegar di dek satu, disaksikan puluhan awak kapal.

Rahang Bhanu mengeras, bahunya naik turun menahan ledakan amarah. Ia sangat mencintai laut, ia ingin selalu dekat dengan ayahnya, di atas kapal ini. Jika ia dipindahkan ke darat, usahanya selama ini sia-sia untuk dekat sang ayah. Bhanu sudah mengerahkan segala upayanya menjadi prajurit terbaik sampai prajurit yang banyak poin pelanggarannya. Ia hanya membutuhkan perhatian dari sang ayah, kapten kapal ini.

"Apa yang ingin Ayah harapkan dari Bhanu, Yah? Bhanu sudah melakukan segalanya!"

"Panggil saya Kapten, Letnan Jisaka!"

"Anak seperti apa yang Ayah mau? Anak seperti apa yang akan Ayah perhatikan?"

"Sekali lagi kamu tidak memanggil saya Kapten, saya akan ajukan pengunduran diri kamu dari kesatuan!"

Keduanya sama-sama keras kepala, tidak ada yang mau mengalah. Tentu saja itu anggapan Bhanu saja. Namun, di balik sikap tegas sang ayah, ia hanya ingin melindungi Bhanu. Ia ingin menjadikan Bhanu menjadi prajurit yang tidak hanya kuat fisik, tetapi juga kuat tekanan batin maupun mental.

Bhanu tak gentar, ia masih menegakkan dadanya. "Kalau Ayah mau Bhanu keluar kapal ini, baik, Bhanu akan loncat sekarang juga!" Bhanu melepaskan sepatunya, lalu berjalan ke pinggir dek.

"Loncat saja kalau itu maumu, tapi jangan harap bisa berhadapan lagi dengan saya di kapal ini! Kamu loncat dari kapal ini, sama dengan... kamu keluar dari kesatuan."

Pikiran dan hati Bhanu dikuasai amarah yang tak bisa dibendung lagi. Bertahun-tahun ia ingin sang ayah melihat sesuatu yang baik darinya, ternyata sampai detik itu, sang ayah masih menutup mata. Dari kapal yang bergerak 30 knot/jam itu, Bhanu mencemburkan diri ke laut tanpa pelampung.

Banyak orang tercengang, bahkan melongo dengan kejadian tersebut. Kapten Arya berlalu dari dek tanpa menoleh ke arah jatuhnya sang putra ke laut. Semua teman seangkatan Bhanu langsung buru-buru ke pinggir dek untuk melihat keadaan Bhanu. Di bawah sana, Bhanu menengadah ke atas, mencari sosok sang ayah, tapi Bhanu tidak melihatnya bahkan saat kapal besar itu berlalu, hanya menyisakan satu pelampung yang dilempar dari rekan satu kamarnya, Letda Reyko Madakara.

Khirani menahan napas untuk cerita panjang yang belum usai itu. Atmosfer kepedihan yang dipancarkan dari sorot mata Bhanu menarik Khirani jauh masuk ke dalam dunia pemuda itu, ke cerita kelam yang sudah terkubur dalam.

"Saya hanya berenang beberapa kilometer saja, kebetulan perdebatan dengan ayah waktu kapal baru saja berlayar. Tetapi sampainya saya di pesisir sangat lama. Sampai menjelang magrib. Saya merebahkan tubuh di atas pasir dengan menikmati matahari tenggelam. Melepas lelah karena berenang sejauh itu dengan rasa kecewa. Saya menangis, saya menangis bukan karena didepak dari kapal, tetapi karena tidak berhasil mencuri perhatian ayah."

Khirani bisa melihat luka di sorot mata Bhanu, rasa kecewa yang mendalam dan juga rasa penyesalan.

"Tahu kabar apa yang saya dengar ketika saya sampai di rumah?" Bhanu menoleh ke arah Khirani, bibir pria itu bergetar seolah tengah menahan kepedihan yang teramat menyakitkan, "KRI Baruna 501, ... karam."

Khirani menahan napas mendengar kalimat terakhir Bhanu.

"Hormat senjataaaa! Grak!"

Di atas kapal KRI Dr. Broto Mulyo, berjejer para prajurit berseragam kebesaran Korps Angkatan Laut berwarna putih. Di samping barisan, satu set grub drum band mulai melantunkan nada pelepasan.

"Prosesi tabur bunga... dimulai," ucap Laksamana Komando.

Seru isakan tangis merenggut kebesaran laut di atas kapal tersebut, para anggota keluarga kru KRI Baruna 501 tampak berduka sangat mendalam. Satu persatu karangan bunga berbentuk bulat dengan tulisan nama-nama kru yang gugur ditabur ke laut, sepuluh hari sejak kapal KRI Baruna 501 dinyatakan tenggelam di tengah laut Selat Dampier.

Dari sekian anggota keluarga kru yang histeris menangis, hanya satu prajurit  berseragam putih yang berdiri tegak menelan semua kepedihan dalam diam. Sorot matanya menjurus ke hamparan laut, bibirnya terkunci, gerak tubuhnya kaku menegang menahan segala duka yang mendalam. Di sampingnya, berdiri sang ibu menangis tersedu memeluknya, sedang di depannya sang adik tertua menangis sambil memegang foto sang ayah yang gugur, serta kedua adik kembarnya yang juga histeris memanggil ayah mereka di pelukan Teyze.

Sekian hari dalam masa duka, Bhanu akhirnya menangis dalam pelukan Teyze, menyesali perpisahan yang tak baik-baik saja dengan sang ayah. Menyesali kenapa ia harus loncat ke laut pada hari itu, mungkin ia bisa menyelamatkan sang ayah dari ombak ganas malam tragedi yang menyebabkan kapal besar itu karam, hanya beberapa kru saja yang selamat.

Reyko datang empat puluh hari setelah prosesi tabur bunga. Ia menjadi salah satu awak kru yang selamat setelah Kapten Arya membantunya keluar dari setengah kapal yang tenggelam. Reyko menjadi satu-satunya saksi hidup yang terakhir melihat sang kapten lebih memilih menyelamatkan kru daripada menyelamatkan dirinya sendiri. 

Reyko juga sempat mendengar sang kapten berterima kasih pada Tuhan, putranya loncat dari kapal, sang kapten mengucap syukur berulang kali sembari terus menyelamatkan awak kru lainnya. Sampai pada akhirnya kapal benar-benar tenggelam, sang kapten tak pernah muncul ke permukaan.

"Aku tidak akan berani melempar pelampung hari itu kepadamu, Nu," kata Reyko setelah bercerita panjang tentang perjuangannya selamat dari karamnya kapal, "jika bukan karena Kapten yang memberi titah."

Bhanu tersenyum setelah mengatakan fakta tersebut, fakta bahwa ayahnya tidak pernah meninggalkannya hari itu. Fakta bahwa sang ayah mencintainya lebih besar dari cinta Bhanu kepadanya. Mereka memang sama-sama keras kepala, sama-sama gengsi untuk mengutarakan rasa sayang, di sisi lain mereka saling melindungi sama lain.

Kapten Arya tidak pernah setuju jika sang putra masuk ke pasukan marinir. Laut tidak seindah kelihatannya, laut bisa menjadi monster yang menyeramkan. Ia ingin jika seandainya ia gugur dalam tugas, masih ada Bhanu yang akan menjaga keluarga. Nyatanya, tanpa sepengetahuan Kapten Arya, sang putra mendaftarkan diri ke Akademi Angkatan Laut. Kapten Arya baru tahu ketika melihat pengumuman ada nama putranya di daftar penerimaan calon perwira sebagai peserta dengan nilai terbaik.

Segala usaha ia lakukan untuk melarang Bhanu masuk marinir, sampai di hari itu ia memberanikan diri untuk mematahkan hati sang putra dengan mengusirnya dari kapal. Doanya dikabulkan, Bhanu selamat saat dirinya gugur.

"Jadi benar, Rembulan itu Kapten Arya?"

Bhanu menatap Khirani dengan sorotan sedu, "Benar," jawabnya, jeda tiga detik, "Rembulan itu Kapten Arya Brajasena."

Khirani mengangkat ke dua tangannya, kemudian perlahan menempelkan ke dua telapak tangannya di pipi Bhanu.

 Sekejap, dada Bhanu dihantam oleh dentuman jantungnya sendiri. Manik bening Khirani begitu dekat dan jelas, tangan hangat gadis itu seperti memancarkan aliran listrik yang menjalar di sekitar pipi, sesaat Bhanu terjebak dalam kebekuan, waktu seolah mengkristal, meninggalkan embusan angin dan detak jantungnya.

*** 

Sampai jumpa Hari Minggu, ya, soalnya Senin saya ada urusan. Jadi, jadwal akan maju satu hari.

Terima kasih sudah membaca cerita ini. Nantikan kisah selanjutnya, bakalan ada hal apa di rooftop itu, ya, haha. 

With Love, Diana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro