Memahami Rasa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Dia manggil namaku, Zye, Mas Nu."

Seseorang dari pinggiran benua eropa terdengar tertawa, nyaring sekali. Bukan tawa biasa, terdengar tawa yang menyiratkan perasaan turut bahagia. Musim dingin terasa hangat mendengar kemajuan hubungan antara keponakannya dengan seorang gadis yang disebut Gantari oleh Bhanu. Menurut pemuda itu, Khirani dan novel Gantari memiliki suatu hubungan yang saling terikat satu sama lain. Pertemuan Bhanu dengan Khirani hampir bersamaan dengan lahirnya novel Gantari.

"Itu sebabnya kamu nggak tidur jam segini, Nu? Di Jakarta udah tengah malem, kan?"

Bhanu terkekeh, tersenyum malu-malu, "Aku kenapa, ya, Ze?"

"Masih nggak sadar?"

"Sadar, sih, tapi nggak yakin."

"Yang pasti kamu udah move on, dah itu aja yang penting dulu. Masalah kenapanya lagi, kan, hal baik kalau kamu bisa jatuh cinta lagi setelah sama yang waktu itu, Nu."

Senyuman Bhanu perlahan mengendur, sorot matanya menerawang. Satu ingatan ditarik ke beberapa tahun silam. Namun, tak bertahan lama, ingatannya kembali ditarik oleh kalimat Teyze, "Teyze yakin Gantari ini bukan sembarangan orang, Nu. Kalau dia bisa bikin kamu senyum, bikin kamu ngerasa bahagia, siapa pun orangnya, Teyze pasti setuju dan dukung."

"Bentengnya susah banget ditembus, Ze."

"Orang yang punya masa lalu tidak menyenangkan itu memang tidak mudah untuk didekati. Jangan, kan, untuk diajak berteman, diajak keluar lewat pintu yang sama aja, nggak akan langsung mau."

"Hm, betul."

"Satu-satunya cara, ya, pelan-pelan. Jangan berlebihan menyambut perubahannya, tetap perlakukan apa adanya seperti biasa. Jangan membuat dia menutup ulang pintu hatinya, jangan memaksa, juga jangan terlihat menunggu karena itu akan membebaninya. Cukup kamu jadi diri kamu sendiri. Orang yang tertutup itu sangat mengantisiapasi sama orang yang palsu. Jangan sampai kamu dinilai palsu, meski sebenarnya kamu nggak begitu."

"Jadi apa adanya ya, Ze?"

"Jangan pernah tanya masalah dirinya, biarkan dia menceritakan sendiri. Tanyakan sesuatu yang penting di luar masalah pribadinya. Tanyakan apa yang menarik akhir-akhir ini, dari fenomena atau issue yang terjadi. Atau kamu bisa tanya tentang buku terakhir yang dia baca. Orang yang menutup diri sudah mempunyai batas, Nu. Batas orang lain berinteraksi dengannya. Jika kamu bisa memulai obrolan dengan hal-hal yang menurutnya menarik, kamu pasti diberikan jalan untuk masuk ke bentengnya."

Benak Bhanu langsung dipertemukan dengan ingatan Khirani adalah pengoleksi buku-bukunya, buku terakhir yang Khirani bawa dari gudang adalah Rembulan Memeluk Matahari, juga novel Gantari yang diberikan Bhanu waktu itu. Bibir Bhanu melengkung senyum, ia paham apa yang dimaksud Teyze dan ia tahu langkah apa selanjutnya.

***

Kantor begitu sibuk hari ini, semua karyawan berjibaku dengan tugasnya masing-masing. Terlebih lagi tim gudang yang kewalahan karena pesanan dari toko buku terdekat semakin membludak mendekati hari pertunjukan. Bhanu yang biasanya datang sebelum makan siang, ia sudah tiba di kantor sejak pagi.

Hiruk pikuk kantor semakin padat, beberapa orang naik-turun di tangga. Aminah terlihat sibuk menerima telepon dari panitia acara yang mengonfirmasi segala kebutuhan acara untuk disedikan segera di lokasi. Endro dan Bhanu juga terlihat melebarkan matanya di depan layar komputer, mengoreksi naskah Gantari untuk kesekian kali sebelum dicetak, yang akan dibaca Bhanu nanti di pertunjukan.

"Resi merchandise di mana?" teriak Aminah dari depan pintunya.

"Desain voucher udah selesai, Rim?" tanya Elsa dari balik bilik kerjanya.

Rima berdiri dari kursinya lalu berlari ke arah Aminah menyerahkan lembaran yang diminta, lalu berlari ke meja Elsa menyerahkan desain dummy voucher yang sudah dicetak. Kemudian Rima berlari keluar pintu ruangan, menuruni tangga dan berpas-pasan dengan Sugik.

"Mas Sugik, buku yang dikirim ke Gajahmada sudah siap?"

"Masih di-packing, Dek."

"Cepet, ya, udah ditelponin soalnya." Rima kembali ke atas, ia berlari ke mejanya cepat karena telepon kantor kembali berdering.

Sugik urung ke lantai dua, kembali menuruni tangga dan masuk ke gudang, "Buku Gajahmada sudah siap?" tanyanya sambil melongok ke arah Khirani dan beberapa karyawan gudang yang sedang sibuk mengemas buku dalam dus-dus besar.

"Siap, Mas, tinggal kaosnya belum!" jawab Andi sambil memasukan merchandise kaos hadiah untuk pembeli khusus di Gramedia Gajahmada. "Khi, minta plester."

Khirani yang sibuk mengemas pesanan novel lain di e-commerce itu berdiri, menyerahkan plester cokelat ke Andi.

"Lo kenapa dah dari pagi tadi maskeran mulu? Sakit lo, Khi?" tanya Andi yang heran melihat Khirani tidak melepas masker sejak datang tadi pagi.

Khirani tidak menjawab, ia kembali ke tempatnya berjibaku dengan puluhan pesanan novel lain. Memotong bublewrap, merekatkan plester, mengepaknya dengan rapi lalu menempelkan alamat tujuan yang sudah dicetak. Setelah pesanan menumpuk, Khirani menatanya di dekat pintu gudang.

"Khi, tolong ambilin resi di atas, udah habis ini," kata Marini yang sedang sibuk memplester pesanan, "sama tolong tanyain ke Mas Endro, buku yang cacat kemarin mau dikirim balik kapan, ya? Soalnya Mas Endro kemarin yang minta cek, halamannya banyak yang kosong."

Khirani tak menjawab iya atau tidak, juga tidak mengekspresikan apa pun. Namun, langkahnya menjawab perintah Marini segera ia laksanakan. Ia berjalan keluar gudang, menuju anak tangga.

"Banner sponsor datang!" pekik Wawan, sopir perusahaan dari arah pintu utama, "Khi, mau ke atas, kan? tolong tanyain Bu Aminah, banner langsung dikirim ke lokasi atau pas hari H aja, ya?"

Khirani menaiki anak tangga dengan langkah cepat kemudian masuk ke ruangan kantor utama. Berjalan ke meja Rima, "Minta resi lagi."

"Oke, bentar, aku cetak dulu." Rima meletakkan ganggang telepon kemudian langsung memegang mouse komputernya.

Khirani melangkah menuju ruang Aminah, menanyakan banner sponsor. Setelah keluar dari ruang Aminah, Khirani kembali ke meja Rima. Mengambil resi yang sudah dicetak Rima. Lalu, dengan satu tarikan napas panjang, Khirani berjalan ke arah meja Endro.

Terlihat Bhanu dan Endro sedang serius berdiskusi di depan layar. Melihat Bhanu, dada Khirani kembali berdesir, kembali merasa takut, kembali merasa campur aduk. Terlebih lagi mengingat kejadian tadi malam, pertemuan mereka bertiga, ia, Bhanu dan Garu. Khirani yakin Bhanu akan mempertanyakan tentang siapa Garu dan apa yang terjadi semalam. Hal itu membuat Khirani berdebar karena takut, takut jika Bhanu kembali menatapnya dengan rasa iba, Khirani benci itu.

"Mas Endro, buku yang cacat kemarin mau dikirim balik ke percetakan kapan?"

"Hari ini sih, kalau bisa. Suruh Marini bungkus, nanti saya telpon dulu ke percetakan, ya."

Khirani sudah menahan napas mengantisipasi respon Bhanu, gadis itu sudah bersiap-siap mendirikan benteng dari serangan pertanyaan Bhanu. Namun, pemuda itu tidak merespons apa pun kehadiran Khirani, bahkan Bhanu tidak mengalihkan pandangannya dari layar komputer.

"Mas, yang ini diganti kata yang lebih sederhana, deh, kayaknya bagus."

Khirani masih mematung di dekat meja Endro, ia mendapat serangan bingung karena bayangannya tidak sesuai dengan kenyataan. Terlebih lagi, Bhanu seolah tidak menganggap kehadirannya di sini. Tidak seperti biasanya. Jantung Khirani semakin berdebar, ketika merasakan desir-desir tidak mengenakan menyelinap masuk dan membuatnya terpaku beberapa detik.

"Yang mana, Mas? Yang ini?" tunjuk Endro ke layar, ujung matanya menangkap Khirani masih berdiri di depan mejanya, "Ada yang lain, Khi?"

Kini Bhanu turut menoleh ke arah Khirani berdiri, mata Khirani mengerjap beberapa kali, ia tampak salah tingkah. Khirani menelan air ludahnya buru-buru, "Nggak ada, itu aja." Kemudian ia membalikan badan, melangkah pergi.

"Mungkin bisa diganti dengan kata 'terang sinar' lebih bisa cepat dimengerti, ya, nggak?" terdengar suara Bhanu melanjutkan diskusi, yang sama artinya dengan Bhanu tidak menaruh perhatian kepada Khirani, pada masker penutup wajah gadis itu.

Khirani mengembuskan napas, kecewa. Merasa sesuatu yang tak mengenakan di dalam dadanya. Bahkan, ia memelankan langkah menuju pintu, dalam diam yang tak disadarinya, ia berharap perhatian Bhanu. Aneh sekali, ia tidak mau Bhanu mencampuri urusan pribadinya atau menganggunya, tetapi di sisi lain, Khirani mau Bhanu melakukan itu.

"Ada apa denganku?" batin Khirani bertanya-tanya tentang apa yang sedang membingungkan, untuk pertama kali setelah tiga tahun berlalu logika dan hatinya tak bisa sejalan lagi.

***

Pukul delapan malam keesokan harinya, semua karyawan masih terlihat sibuk. Suara mesin print masih menggema di ruang administrasi, lampu ruangan Aminah juga masih menyala, di dalam ruangan itu sedang berlangsung diskusi lanjutan pematangan rundown pertunjukan bersama Bhanu.

Elsa tengah meregangkan tangan, Rima menepuk-nepuk ke dua pipinya agar tetap fokus menyelesaikan tenggat pekerjaannya hari ini, tak luput terlihat Endro menguap lebar sambil menatap layar komputernya, ada naskah yang harus ia selesaikan sebelum pertunjukan. Di ruang rapat terlihat Khirani, Marini dan Sugik sibuk membingkis doorprize berisi merchandise dan novel-novel untuk hadiah penonton yang datang nanti di pertunjukan.

Beberapa kali Khirani melirik ke pintu ruang Aminah, sejak sore tadi ia tidak melihat Bhanu, lebih tepatnya tidak berinteraksi sama sekali sejak kemarin. Tidak mau mengakui bahwa rasanya seperti ada yang kurang. Sebisa mungkin Khirani menolak rasa itu, tetapi semakin ditolak semakin membuatnya frustasi.

"Kamu sakit, Khi? Perasaan dari kemarin maskeran mulu. Kamu flu?" tanya Marini.

Khirani fokus menggunting kertas kado tampak tak mempedulikan pertanyaan Marini. Hampir semua orang, kecuali Bhanu, menanyakan keadaan Khirani yang selalu memakai masker. Tetapi, satu pun tidak ada yang dijawab oleh gadis itu.

"Iya, kalau sakit nggak usah masuk, sih, daripada nularin yang lain," imbuh Sugik.

"Hm, betul tuh, kita-kita nih nggak boleh sakit, kacau nanti acara kalau pada sakit semua, terutama Mas Bhanu, kamu jangan dekat-dekat sama dia, ya," ucap Marini dengan lirikan tidak suka.

Tok! Tok! Tok! Suara pintu ruangan yang terbuka itu diketuk. Semua orang menoleh ke sumber suara, terlihat Bhanu berdiri di sana. Matanya tertuju ke arah Khirani yang meliriknya sekilas kemudian berjibaku kembali dengan kertas kado.

"Eh, Mas Bhanu, belum pulang, Mas?" tanya Marini yang ekspresinya berubah total menjadi lebih riang dan terkesan dibuat-buat.

"Belum, Mbak," jawab Bhanu sambil berjalan masuk, "masih banyak yang perlu dibingkis?"

"Bentar lagi selesai, kok," jawab Marini sambil menjawil Khirani dan memberi isyarat untuk pergi melalui lirikan matanya yang menyebalkan, terkesan mengusir Khirani dengan kasar.

Khirani tak mau menggubris, tetapi ia begitu muak. Khirani meletakkan kertas kado di meja, kemudian berdiri dari kursi, berjalan meninggalkan ruangan. Khirani berharap Bhanu mau menyapanya, tetapi sampai Khirani benar-benar keluar dari ruangan itu, sapaan Bhanu sama sekali tak terdengar oleh telinga gadis itu.

Apa yang salah? Apa Bhanu menghindari karena kejadian waktu itu? Karena Garu? Benak Khirani selalu bertanya-tanya sejak kemarin. Padahal besok mereka akan melaksanakan gladi resik, tidak mungkin membangun kemistri jika keadaanya seperti ini, terutama Khirani yang kehilangan semangat sejak malam itu.

Alih-alih pergi turun ke lantai satu, kaki Khirani naik ke arah lantai tiga. Ia membuka pintu rooftop, kemudian berjalan keluar. Tidak ada bintang di langit sana, hanya ada awan gelap mendung yang mungkin akan menurunkan ribuan air hujan beberapa saat lagi. 

Gemerlap kota Jakarta menjadi penghibur Khirani saat ini, jalanan dipenuhi kendaraan yang berjalan melambat karena macet, angin berembus tidak terlau kencang dan udara sekitar terasa sedikit panas. Khirani membuka maskernya, menghirup udara dan mengembuskannya kencang.

Andai ada violinnya saat ini, mungkin perasaannya yang memburuk sejak kemarin bisa terobati. Lagu Paganini yang muncul di benaknya terasa begitu menggugah Khirani, melodinya yang cepat dan entak terasa mendebarkan dada gadis itu. Khirani berjalan ke pinggiran rooftop, menyambut angin lebih dekat lagi.

"Ternyata kamu di sini."

Di tengah menikmati embusan angin dan melodi Paganini di dalam benaknya, Khirani dikejutkan dengan suara seseorang. Kontan Khirani menoleh ke sumber suara.

"Saya mencarimu sejak tadi."

Hawa panas semakin terasa, terlebih lagi debaran jantung Khirani perlahan mengencang, menyisakan dirinya yang terpaku di tempat menatap sorot mata dan senyuman Bhanu yang entah sejak kapan begitu terasa dirindukan. Ia sampai lupa memakai masker untuk menutupi bibirnya yang terluka karena tamparan Garu malam itu. Khirani merasa terjebak pada rasa yang masih mencoba dipahaminya, rasa yang terpusat kepada pemuda itu, Bhanu Brajasena.

***

Hayoloh ngapain berdua di rooftop... :D

Selamat untuk Kak @wdylsm dan @sherinlatie

Semua komentar baik, tapi saya cuma bisa pilih dua nih hehe. DM nomer Gopay ya buat yang  menang. Besok saya isiin gopay ...

Terima kasih yang sudah meberi terstimoni, semoga ALLAH YANG BALAS. 

Kejutan lainnya, bagi temen-temen yang rajin komen nanti waktu bukunya terbit, bakalan dapet spesial dari saya satu buku Gantari gratis. Yang bantu promo juga pasti saya catat namanya dan saya hubungi saat cerita ini sudah terbit. 

Sampai Jumpa Hari Jumat 

With Love, Diana. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro