Bab 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Seza memandang botol antiseptik yang sedari tadi dipegangnya. Deva sudah pulang setengah jam yang lalu, tetapi Seza masih dalam bayang-bayang laki-laki itu. Walaupun mereka berdua sama-sama mengenakan masker, tetapi melihat dari tampilan Deva yang begitu rapi, Seza tahu ucapan Indri tentang laki-laki itu benar. Apalagi suara laki-laki itu yang terdengar berat, suara yang membuatnya 'laki banget' menurut Seza.

Seza menggelengkan kepalanya, mengusir pikriannya yang sudah melayang-layang entah ke mana. Harusnya saat ini dia mengurus Salma. Akhirnya Seza meletakkan botol antiseptik itu di atas nakas lalu keluar dari kamar untuk mencari Salma. Ternyata anak itu sedang berada di kamarnya dan meneruskan tidurnya. Seza terpaksa membangunkan Salma yang ketiduran di mobil Deva, sudah cukup dia merepotkan Deva dengan mengantarkan mereka berdua sampai ke rumah, tidak mungkin kan dia membiarkan Deva menggendong Salma juga.

"Seza."

Panggilan itu membuat Seza menoleh, rupanya ibunya baru pulang dari kantor, wajah ibunya terlihat begitu khawatir. Tadi Seza memang sempat mengirimkan pesan pada ibunya tentang dirinya yang sedang berada di rumah sakit karena insiden yang dialami Salma. "Salma gimana?"

Seza mengajak ibunya keluar dari kamar Salma agar tidak membangunkan anak itu, dan keduanya duduk di ruang keluarga. "Salma nggak papa, Bu. Dia main-main sama Sultan, ya namanya anak masih belum dua tahun di kasih sumpit, kenalah ke mata Salma," jelas Seza. Dia mengulangi penjelasan ibu Sultan. Sultan adalah anak dari tetangga mereka yang rumahnya persis di depan rumah Seza. Salma yang kadang merasa bosan memang sering bermain di sana.

"Tadi udah dikasih dokter obat tetes juga, katanya ditetesin kalau terasa nyeri atau mengganjal. Syukurlah lukanya nggak dalam," lanjut Seza.

Ibunya langsung mengucap syukur. "Mata ya Allah, kalau ada apa-apa kan bahaya banget," ujar ibunya.

Seza mengusap-usap punggung ibunya. "Ibu udah makan?" tanya Seza.

Ibunya menggeleng.

"Ya udah aku masakin makanan dulu. Ibu mandi aja." Seza bangkit dari kursinya dan berjalan menuju dapur, tetapi dia kembali mendengar namanya dipanggil kali ini suara itu berasal dari Salma yang ternyata terbangun dari tidurnya. "Teh, aku juga laper," ucapnya.

"Ya udah ini sekalian Teteh masakin."

Seza melihat bahan-bahan apa yang ada dikulkasnya, ada sayur buncis dan juga wortel. Ada juga beberapa butir telur. Seza melihat nasi yang ternyata masih banyak di rice cooker, akhirnya dia memutuskan untuk membuat nasi goreng saja, menu simpel yang proses pembuatannya lumayan cepat.

Setelah selesai memasak nasi goreng, Seza memanggil ibu dan adiknya untuk menikmati makanan itu. Entah karena lapar atau memang nasi goreng buatannya terasa enak, Salma makan dengan begitu lahap. "Lain kali kalau main sama Sultan, jauhin barang-barang yang bahaya. Dia kan masih anak kecil, mana ngerti kalau itu benda yang bahaya," ucap ibunya pada Salma.

"Iya, Bu. Oh ya, Bu. Tadi dokter yang meriksa aku itu temennya Teteh."

Seza langsung tersendak mendengar ucapan Salma itu.

"Mana tadi dianterin pulang lagi sama dokternya. Baik banget dokternya."

Seza langsung menghabiskan air dalam gelasnya, mengabaikan tatapan mata ibunya yang saat ini menatapnya lekat. "Kenal di mana, Za?" tanya ibunya.

"Oh itu... itu... bos yang punya restoran tempat aku kerja, Bu," ucapnya bohong. Kalau ada istilah kebohongan akan memunculkan kebohongan baru, itu benar adanya.

*****

Deva membaringkan tubuhnya di atas kasur, matanya memandang langit-langit kamarnya yang berwarna putih, tetapi pikirannya melayang mengingat sikap Seza saat di rumah sakit dan berada dalam mobilnya tadi. Pertemuannya dengan asisten rumah tangganya itu membuat Deva mengetahui sisi lain Seza. Bagaimana cara perempuan itu dalam mengatasi kegugupan, yang tentu seharusnya tidak dengan menyakiti dirinya sendiri. Seza juga ternyata sosok yang pemalu, padahal kalau mereka bertukar post it, perempuan itu begitu berani, bahkan mereka sering sekali berdebat.

Walaupun dengan kondisi yang berantakan dan wajah yang tertutup masker, Deva bisa melihat kalau Seza gadis yang manis, bentuk matanya juga indah, alisnya tebal tanpa perlu menggunakan pensil alis dan juga bulu matanya yang lumayan lentik, dan perempuan itu menggunakan poni depan yang Deva yakin kalau dia melihat wajah itu secara keseluruhan Seza pasti manis sekali.

Deva mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi Haikal, dia ingin mengkonfirmasi sesuatu pada sahabatnya itu. Setelah disambut oleh nada tunggu beberapa kali, akhirnya panggilannya dijawab oleh Haikal.

"Kenapa, bro?"

"Gue mau nanya, tentang Seza."

Ada jeda sejenak sebelum Haikal kembali bersuara. "Kenapa? Seza bikin masalah."

"Nggak, nggak. Bukan gitu," ralat Deva. "Dulu dia kerja di hotel mana sih? Asisten Koki kan?"

"Gue lupa nama hotelnya, iya dia asisten koki. Dia emang anak tataboga sih, kuliah juga ambil jurusan itu," jelas Haikal.

"Sayang banget sebenernya dia kerja sama gue kayak gini ya," gumam Deva.

"Nah bau-baunya lo mau mecat dia. Kenapa? Ada yang salah? Dia nyuci nggak bersih atau gimana?" tanya Haikal. Dia cukup mengenal Deva. Laki-laki itu bukan tipe yang arogan, kalau dia ingin memecat Seza pasti dia akan mencari alasan yang logis dan tidak terlalu menyakiti perempuan itu. Bisa jadi kan, Deva menggunakan alasan pekerjaan Seza dulu dan riwayat pendidikan perempuan itu untuk memberhentikannya.  Alasannya sayang saja kalau hanya jadi pembantu di rumahnya.

"Bukan gitu, maksud gue. Pasti dia pengin balik lagi ke dapur."

"Bisa iya bisa nggak sih. Saat kayak gini kan hotel lagi sepi. Susah buat Seza dapet kerjaan di hotel lagi," kata Haikal.

"Iya juga sih."

"Lo mau mecat dia kan?"

"Nggak, astaga pikiran lo kenapa jahat banget gitu sih. Udahlah gue tutup dulu," kata Deva mengakhiri panggilan tersebut. Setelah itu Deva mengecek pesan masuk di aplikasi WhatsApp-nya. Ada banyak pesan yang dikirimkan oleh Monika. Deva lupa kalau dia belum memberitahu sahabatnya itu kalau dinyatakan negatif covid-19.

Monika : Dev, kasih tahu gue ya hasil lab-nya. Gue nggak bisa nelepon, lagi sama Andre. Gue juga

Monika : Dev? Masih belum ada hasilnya?

Monika : Deva? Lo nggak papa kan?

Monika : DEVARA HANAN FAHREZY!!!!

Monika : Kalau lo nggak bales juga, besok pagi gue langsung ke rumah lo!

Deva : Hasilnya negatif. Gue mau istirahat, baru pulang dari RS. Nggak usah ke rumah Mon, pagi-pagi gue harus ke RS lagi.

*****

Di pagi hari yang begitu cerah ini, Seza sudah sampai di rumah Deva. Perempuan itu berusaha untuk menenangkan dirinya. Tentu saja dia masih ingat kejadian semalam, apalagi dandanannya yang begitu acak-acakan. "Kenapa gue deg-degan, orang dia juga pasti nggak ada di rumah, mobilnya aja nggak ada." Seza bicara pada dirinya sendiri sambil mengamati teras rumah Deva yang kosong, tidak ada mobil laki-laki itu di sana.

Seza turun dari mobil membawa bungkusan berisi sandal milik Deva yang dipinjamkan oleh laki-laki itu kemarin. Seza menaruh sandal itu di rak sepatu milik Deva dan memulai pekerjaannya pagi hari ini. Saat dia sedang mencuci piring, terdengar suara pintu depan dibuka. Jantung Seza langsung berdetak cepat. Dia menoleh dan mendapati Deva yang berdiri mengenakan kaos hitam polos dan celana hitam selutut, tangannya membawa bungkusan berisi roti tawar, wajahnya masih ditutupi masker.

"Lho, kok dokter di sini?" tanya Seza.

Deva menaikkan kedua alisnya. "Ini kan rumah saya."

Seza langsung menggigit bibirnya karena dia salah bicara. Dia membalikkan badan dan membilas piring yang tadi sudah disabuninya. "Kamu udah sarapan?" suara itu begitu dekat dengannya. Ternyata Deva sudah berdiri di sampingnya, laki-laki itu menuangkan sabun untuk mencuci tangannya.

"U-udah, Dok."

"Oh. Geseran dikit dong, saya mau cuci tangan."

Seza langsung menyingkir memberikan ruang pada Deva untuk mencuci tangannya. "Nggak nyaman ya ada saya di rumah?" tanya Deva lagi.

"Eh, bukan gitu, Dok. Nggak kok." Seza melirik ke arah Deva, ternyata laki-laki itu sudah melepaskan maskernya.

Sungguh indah ciptaan-Mu, Tuhan.

"Kalau udah cuci piringnya, kita ngobrol bentar ya, Za. Ada yang mau saya bahas sama kamu."

"Oh, oke Dok."

Seza langsung cepat-cepat membereskan pekerjaannya. Sementara Deva duduk di meja makan sambil mengoleskan selai pada roti yang tadi dibelinya. Selesai mencuci piring, Seza berdiri di dekat meja makan.

"Duduk sini, kamu kayak anggota militer aja seneng banget berdiri tegap kayak gitu," kata Deva geli.

Akhirnya Seza duduk di seberang Deva. Laki-laki itu memberikan piring berisi roti yang sudah diisi selai untuk Seza. "Sambil makan ngobrolnya, biar kenyang."

Seza tersenyum. "Makasih, Dok."

"Kamu dulu asisten koki kan?" tanya Deva. Laki-laki itu menggigit roti miliknya.

"Iya, Dok."

"Pinter masak dong ya. Kangen nggak sih kerja di dapur lagi? Masak-masak gitu?"

Seza langsung mengangguk. "Kangen banget. Tapi ya gimana Dok, sekarang kan hotel lagi sepi."

Deva tersenyum. Seza juga terlihat lebih cair. "Hm... saya jadi punya ide, gimana kalau kamu juga masakin saya makanan?"

Ucapan Deva membuat Seza langsung memandangnya. "Kan dokter jarang di rumah."

"Ya waktu saya di rumah masaknya. Nanti saya kasih tahu kamu kapan saya akan makan di rumah. Tapi saya mau menunya spesial, kamu kan tahu kalau saya suka makanan yang asal. Nah tugas kamu masakin makanan sehat buat saya, nanti ada tambahan buat kamu. Jadi ceritanya kamu merangkap jadi koki saya. Gimana?"

"Ini beneran?"

Deva mengangguk. "Masa becanda. Itung-itung kamu bisa masak-masak lagi di dapur. Terus saya juga bisa makan enak dan sehat. Gimana?"

Seza langsung mengangguk antusias. "Mau banget, Dok!"

"Deal ya kita?"

Seza mengangguk mantap. Sudah lama dia ingin mencoba masak di dapur Deva, yang lumayan lengkap tetapi tidak pernah dipakai. Untuk apa kompor listrik itu kalau cuma dipakai untuk memasak mie instan, lalu oven itu? Apa tidak sayang kalau cuma jadi pajangan?

"Oh ya ada satu syarat lagi," lanjut Deva.

"Apa?"

"Tapi kamu juga harus nemenin saya makan. Masa saya makan sendirian, nggak enak banget kan?" ucapnya kemudian.

*****

Happy reading...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro