Bab 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seza mengikuti suster yang membawa Salma untuk diperiksa, dia tidak sadar kalau beberapa orang memperhatikan penampilannya yang acak-acakan. Dadanya masih bedentam-dentum tidak keruan, pikirannya sudah melayang ke mana-mana walaupun dia berusaha untuk mengenyahkannya.

Salma pasti sembuh.

Kata itu bagaikan mantra bagi Seza yang terus diulang-ulangnya sejak perjalanan menuju dan tiba di rumah sakit. Tidak lama kemudian seorang dokter datang dan memeriksa mata Salma secara menyeluruh, adiknya itu sudah berhenti menangis, tetapi Seza bisa melihat bercak merah terang di bagian sklera (bagian mata yang berwarna putih). Bagaimana kalau bekas itu tidak hilang?

Kalau sedang gugup, hal yang biasa dilakukan Seza adalah menggigiti jari tangannya. Namun karena wajahnya tertutup masker dia hanya bisa mengadukan kuku ibu jarinya dan kulit telunjuknya. Seza bahkan tidak sadar bahwa dokter yang memeriksa adiknya itu mencuri pandang ke arahnya.

"Mbak walinya Salma, siapa namanya?" tanya dokter tersebut.

"Iya, Dok. Saya Seza. Gimana adik saya, Dok?"

"Ada robekan pada pembuluh darah di bawah lapisan konjungtiva Salma."

Mendengar kata robekan pembuluh darah  membuat Seza semakin tegang. Gerakan kuku ibu jarinya yang bergesekan dengan ujung telunjuk Seza semakin kuat.

"Mata Salma bisa kembali normal," lanjut dokter tersebut. "Pendarahan seperti ini umumnya meluas dalam 24 jam pertama, kemudian akan berkurang perlahan-lahan dan dapat sembuh selama kurang lebih 7-12 hari," lanjut dokter itu. "Nanti ukuran bercak kemerahannya akan berkurang perlahan dan mulai terjadi perubahan warna kekuningan atau pink sebelum kembali ke warna putih yang normal. Perubahan itu normal," jelas Dokter itu.

Dokter tersebut kini bertanya pada Salma.
"Masih terasa ganjel dan sakit nggak?"

"Sakit sedikit dok," jawab Salma.

"Nanti saya resepkan obat tetes ya. Tapi digunakan saat terasa nyeri atau mengganjal saja."

Mendengar ucapan dokter itu membuat Seza kembali buka suara. "Adik saya nggak papa?"

"Iya nggak papa. Seperti yang saya jelaskan tadi pendarahannya akan berangsur sembuh." Dokter itu menatap Salma. "Lain kali harus hati-hati ya, ini kecoloknya nggak dalam, kalau dalam bisa bahaya sekali."

"Iya Dok," ucap Salma pelan.

Kemudian dokter itu menjelaskan kalau pemeriksaannya sudah selesai. Seza diminta ke bagian administrasi untuk mengurus pembayaran. Hatinya sudah jauh lebih lega setelah mendengar penjelasan itu.

Setelah mengurus masalah administrasi Seza mengajak Salma untuk duduk di kursi tunggu. Badannya terasa lemah, kakinya saja masih gemetar. "Duduk dulu ya, Teteh lemes banget."

Salma mengangguk. "Teteh berantakan banget," kata anak itu seoalah lupa siapa penyebab kakaknya berpenampilan seperti ini.

Seza memperhatikan penampilannya. Kaget saat melihat sandal yang digunakannya hanya satu. Seza menghela napas. "Ya udalah, nggak ada yang kenal kita juga di sini. Bentar ya, Teteh pesan taksi dulu." Seza mengeluarkan ponselnya lalu membuka aplikasi taksi online, tetapi saat dia hendak memesan ada seseorang yang berdiri di depannya.

Seza melihat kemeja yang cukup familier kemudian tatapannya naik ke wajah laki-laki  yang tertutup masker itu. "Ada apa Pak?" tanyanya bingung.

Tiba-tiba laki-laki itu meletakkan sandal Adidas hitam yang ukurannya cukup besar di samping kaki Seza. "Kaki kamu luka kalau cuma satu yang dipakaikan alas."

Seza kembali menatap wajah laki-laki itu. Seketika dia shock melihat siapa yang berada di depannya. "Dokter Deva?"

*****

Deva tersenyum geli melihat ekspresi terkejut Seza. Dia yang tadi hanya menebak-nebak kalau perempuan yang datang bersama pasien terakhirnya adalah Seza ternyata benar. Deva bangga dengan ingatannya sendiri, padahal selama ini dia hanya melihat Seza dari balik kaca jendela, dengan wajah perempuan itu yang selalu tertutup masker. Namun, bukan berarti dia tidak bisa mengenalinya.

"Ayo dipakai sandalnya," ucap Deva yang berusaha menyadarkan Seza dari keterkejutannya. Tentu Seza tidak mengenalinya karena tadi dia bekerja menggunakan APD, dan saat ini setelah berganti pakaian, pasti Seza tahu siapa dia.

"Astaga Dok, jadi Dokter yang tadi meriksa adik saya?"

Deva mengangguk.

"Kok saya bisa nggak sadar sih." Seza memukul kepalanya sendiri. Deva bisa melihat ada luka di telunjuk Seza. Deva tebak, itu akibat respons kepanikan yang dialaminya tadi.

"Pulang sama siapa?" tanya Deva.

"Naik taksi."

"Saya antar aja," tawar Deva.

"Nggak lah Dok, ngerepotin."

"Rumah kita kan searah. Mana ada ngerepotin."

Seza kaget. "Kok tahu searah?"

"Saya punya copy KTP kamu, dan di situ ada alamat lengkapnya. Kamu lupa?" Deva geli sekali melihat Seza yang semakin menunduk malu.

"Udah ayo pulang. Salma capek tuh, dia harus istirahat."

Akhirnya Seza bangkit dari duduknya. Deva yang melihat perempuan itu masih bertahan mengenakan satu sandalnya langsung berdecak. "Masih mau pakai satu sandal begitu?" sindirnya.

Seza menatap Deva sekilas kemudian menukar sandalnya dengan milik Deva. Laki-laki itu geli sendiri melihat ukuran kaki Seza begitu kecil sehingga tenggelam saat menggunakan sandalnya.

Seza mengambil satu sandalnya dan mengikuti Deva yang berjalan ke parkiran mobil. Salma yang sedang digandengnya bertanya pada Seza tentang kenapa kakaknya itu bisa mengenal dokter Deva. Seza memilih tidak menjawab pertanyaan itu dan mengalihkan perhatian Salma. "Aduh Teteh lupa ngabarin Ibu, nih," ucapnya lalu cepat-cepat menyusul langkah Deva.

Seza tahu kali ini dia bisa menghindar, tetapi Salma pasti akan bertanya lagi nanti. Dan Seza tidak yakin dia bisa menghidar lagi.

Sepanjang perjalanan pulang, Seza menutup mulutnya rapat-rapat. Tadinya dia ingin duduk bersama Salma di kursi belakang, tetapi rasanya tidak sopan. Deva kan bukan sopirnya, malah dia yang berstatus sebagai ART Deva.

Namun dia seperti orang ling-lung. Bagaimana bisa pertemuan mereka pagi tadi yang gagal malah berujung pada pertemuan tidak terduga seperti ini. Dengan kondisi yang luar biasa pula. Luar biasa berantakan.

Seza melirik ke sisi Kanan di mana Deva sedang sibuk memegang kendali pada mobilnya, kemudian kembali menatap jalan raya. Lalu dia mengulanginya lagi, kali ini ternyata Deva juga sedang memandangnya, kemudian mereka berdua saling membuang muka.

"Kok jadi canggung gini ya," gumam Deva.

Seza melihat ke kursi belakang ternyata adiknya sudah terlelap. Jujur dia takut kalau Salma tahu rahasia yang berusaha disimpannya ini. "Iya eh, kok jadi bingung mau ngomong apa," respons Seza. Lagi-lagi mereka saling menoleh, kali ini keduanya sama-sama tersenyum.

"Nggak nyangka kita ketemu di saat kayak gini," kata Deva.

"Iya saya juga, Dok. Mana saya lagi kacau banget kayak gini lagi."

Deva tertawa.

"Kok dokter bisa tahu saya?"

"Saya kan sering lihat kamu waktu antar makanan. Kamu loading-nya lama, masa nggak ngeh tadi itu saya," sindir Deva.

"Ya mana saya tahu, Dok. Dokter pake kacamata Goggles gitu, pake masker juga. Saya baru ngeh itu dokter pas lihat kemeja ini," jelasnya sambil menoleh ke arah Deva yang sibuk menyetir.

"Padahal saya pakai name tag, lho."

Seza mengaruk kepalanya yang tidak gatal. "Saya beneran blank tadi, boro-boro mau baca nama dokter."

Deva kembali tertawa. "Tapi, gimanapun cara ketemunya, akhirnya kita ketemu juga. Sesuai janji."

Seza cemberut. "Ketemu sih ketemu, tapi sayanya lagi jelek, dokternya lagi ganteng," celetuknya. Kemudian dia menyesal sendiri dengan ucapannya itu. Refleks Seza membenturkan kepalanya ke jendela mobil.

Bego... bego... bego... makinya dalam hati.

Deva melirik ke arahnya. "Nggak pa-pa lah. Judulnya tetap ketemu. Ini kita belok ke mana?" tanya Deva saat sudah dekat dengan rumah Seza.

"Ke kanan Dok, rumah saya paling ujung."

Deva langsung membelokkan mobilnya ke kanan, lalu menghentikannya tepat di depan rumah berpagar putih.

Setelah sampai, Seza mengucapkan terima kasih pada Deva. "Makasih banget ya Dok. Untuk semuanya. Sandalnya saya balikin besok ya."

Deva mengangguk. "Salma tidur nih, saya bantu gendong ke dalam aja gimana?"

"Nggak usah, Dok. Nanti saya bangunin aja," tolaknya sudah cukup dia merepotkan Deva hari ini. Begitu Seza ingin membuka pintu mobil, Deva memanggilnya. "Seza."

Otomatis Seza langsung membalikkan badan ke arah Deva. "Ya, Dok?"

Deva membuka laci dashboard di depan Seza. Membuat Seza agak menjauhkan diri agar tubuhnya tidak mengenai lengan Deva. Kemudian laki-laki itu mengeluarkan antiseptik dari dalam sana.

"Buat tangan kamu."

"Heh?"

"Jari kamu luka. Bersihin pakai ini nanti."

Seza melihat jari telunjuknya, kenapa dia bisa tidak sadar kalau jarinya sedang terluka? Dan kenapa laki-laki di depannya ini begitu peka? Apa semua dokter selalu memperhatikan hal-hal seperti ini? Tanya dalam hati.

*****

Akhirnyaa kan ketemu juga mereka. Pada gak sabaran banget. 😆

Happy reading

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro