Bab 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


It's scary to find someone that makes you happy. You start giving them all of your attention because they're what makes you forget everything bad that's going on in your life. They're the first person you want to talk to in the morning and the last one before smile. It all sounds great to have that someone, but it's scary to think about how easily they could just leave and take that happiness away too when they go.

-hpl.ynkz.com


Seza tertegun membaca rentetan kalimat yang ia temukan di beranda sosial medianya. Rasa-rasanya kenapa sepertinya dia sedang mengalami hal itu. Harus diakuinya, bertemu—atau bahkan saat mereka belum bertatap muka pun, Deva bisa membuatnya jauh lebih bahagia, membuat Seza melupakan semua hal buruk yang terjadi padanya sejak pertengahan bulan Maret 2020 lalu.

Sekarang pun Seza menjadi jauh lebih bersemangat memulai harinya, membayangkan akan bertemu dengan Deva, lalu mereka akan menghabiskan waktu bersama, bercerita tentang banyak hal, atau bahkan menonton Netflix bersama seperti seminggu yang lalu, mampu membuat Seza merasa bahagia. Namun, seperti yang tertulis pada kutipan artikel itu, ketakutan juga menghantuinya, memang semuanya terlihat menyenangkan, sampai nanti bisa saja kebahagiaan itu menghilang begitu saja, bukan? Sangat mudah bagi Deva untuk pergi dari hidup Seza, lalu apa yang bisa dilakukannya kalau sudah telanjur menggunakan hati dalam hubungan mereka ini?

Hubungan?

Seza menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa berpikir terlalu jauh. Satu-satunya hubungan yang ada antara keduanya adalah pembantu dan majikan. Seza harus menanamkan itu di dalam hati dan pikirannya. Apa yang dia harapkan tidak akan mungkin terjadi. Deva hanya butuh pembantu, koki sekaligus teman makan, hanya sebatas itu.

Seza mengunci ponselnya dan menaruhnya di bawah bantal. Dia memilih untuk beristirahat daripada terus berpikir tentang hal-hal yang hanya akan membuat kepalanya pusing. Namun, saat dia baru memejamkan mata, terdengar panggilan masuk dari ponselnya dan sekarang selain Indri, ada satu manusia lagi yang sering meneleponnya tidak tahu waktu.

"Iya Dok?" sapa Seza.

"Kamu belum tidur?" tanya Deva.

"Baru mau tidur tadi. Eh, dokter nelepon. Kenapa, Dok? Nggak mungkin kan malem-malem gini laper?"

Deva tertawa. "Kalau saya laper emangnya kamu mau ke sini buat masakin?" tantangnya.

"Wah lembur saya mahal kalau jam segini. Mending dokter ke dapur, buka kulkas terus ambil apel. Mayan buat ganjel perut," jawab Seza.

Lagi-lagi Deva tertawa. "Saya nggak laper kok. Saya mau ngobrol aja sama kamu."

Seza menahan napas, ucapan-ucapan seperti ini nih, yang tidak baik untuk kesehatan jantungnya.

Ini bahasa para buaya nggak sih! Duh, gue nggak pernah berurusan sama buaya, jadi nggak tahu! Help!!!

"Saya ngantuk, Dok," ucap Seza akhirnya.

"Oh, ya udah maaf ya ganggu." Deva bersiap untuk menutup telepon Seza, namun perempuan itu kembali bersuara. "Kenapa sih dokter nggak cari pacar aja, biar bisa teleponan malem-malem gini lho."

"Oh, jadi tugas pacar tuh gitu ya?"

"Kayaknya sih gitu, temen saya bisa teleponan sampai tiga jam sama pacarnya."

"Oh." Hanya itu tanggapan laki-laki itu.

"Kenapa nggak telepon Mbak Monika, Dok?" tanya Seza, entah kenapa dia ingin mengorek-orek sejauh apa perasaan Deva pada Monika.

"Kamu pikir saya bakal diapain sama suaminya kalau nelepon dia malam-malam begini?" Mendengar nada sewot Deva itu membuat Seza terkikik geli. "Ya paling dihajar dikit, Dok. Tapi Mbak Monika kan sering gangguin dokter, itu suaminya nggak marah apa ya?" Dalam hati Seza berdoa agar Deva tidak menangkap pertanyaan pura-pura begonya ini.

"Marah lah. Saya mungkin orang yang paling dibenci Andre. Saya udah berusaha menghindari Monika, tapi ya...."

"Dokter nggak tegas sih," gumam Seza, tetapi tentu Deva bisa mendengar ucapan perempuan itu. "Mungkin iya."

"Boleh saya tahu alasannya?" tanya Seza, tetapi dia cepat-cepat menambahkan, "kalau nggak boleh juga nggak pa-pa, Dok."

"She's my bestfriend. Mungkin kelihatannya nyebelin, tapi dia satu-satunya orang yang mau jadi temen saya dulu."

Seza terdiam, sepertinya ada hal sentimentil dalam hubungan Deva dan Monika. Tidak ada yang bersuara selama beberapa menit. "Tapi saya memang mengakui, Monika kadang-kadang egois."

"Saya mau jadi temen dokter," ucap Seza pelan.

"Hm?"

"Nggak kok, nggak jadi."

Deva tertawa. "Kamu ini. Udahlah, tidur sana."

"Udah nggak ngantuk. Gara-gara dokter nih. Ya udah deh, kita cerita aja sampai ngantuk," sarannya.

"Mau cerita apa?"

"Apa aja."

"Sebenarnya saya lagi sedih, salah satu teman saya meninggal tadi sore, karena covid."

Seza menarik napas dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Entah sudah berapa kali Seza mendengar kalimat seperti ini, beberapa waktu yang lalu teman satu sekolahnya dulu juga meninggal karena terinfeksi covid-19. "Saya masih nggak ngerti dengan virus ini, Dok," ucap Seza. "Pada beberapa orang gejalanya ringan, bahkan ada yang nggak bergejala. Tapi, ke orang lain bisa sampai parah banget."

"Sama, saya juga, dan mungkin semua orang juga juga bingung. Virus ini tuh aneh banget. Gejalanya bisa beda-beda ke setiap orang, itu kenapa kita harus hati-hati, karena kita nggak tahu reaksi apa yang dialami tubuh kita kalau kena virus ini."

"Kalau udah kena virus ini sekali terus sembuh, bisa terinfeksi lagi nggak sih, Dok?" tanya Seza.

"Bisa, beberapa kasus di luar negeri kan ada yang kena lagi. Nggak semudah yang belum kena, karena badan udah punya antibodi untuk melawan kalau terinfeksi lagi, tapi bukan berarti yang udah pernah kena bisa nggak pakai masker dan nggak jaga jarak. Lagi-lagi masih banyak yang harus diteliti dari virus ini," jelas Deva.

"Sampai kapan ya dok kita kayak gini. Saya dulu sampai tiap hari nyari berita tentang vaksinnya."

Deva menghela napas. "Kita juga belum bisa berharap banyak sama vaksin, Za. Proses pembuatannya cukup lama, terus kalau memang berhasil butuh waktu untuk penyaluran vaksinnya. Kalau memang vaksinnya ada di tahun 2021, nggak mungkin kan sekejap mata semua orang bisa dapet? Rakyat Indonesia totalnya lebih kurang 250 juta jiwa, kalau sehari kita asumsikan bisa menyuntikkan vaksin ke satu juta orang, butuh delapan sampai sembilan bulan supaya semua orang bisa dapat vaksinnya."

"Bener juga ya. Duh, dokter bikin saya overthinking malem-malem gini. Tanggung jawab kalau saya tiba-tiba migrain karena bahasan kita ini, Dok."

Deva tertawa. "Gampang kalau kamu sakit, saya bawa berobat kok."

"Dokter nggak bisa obatin saya gitu?"

"Kamu sakit mata?"

Seza langsung tertawa. "Udah ah, bahasan kita malem ini serem banget. Tidur aja deh."

"Iya tidur sana."

Setelah panggilan itu diakhiri, Seza memegang dadanya yang berdentam-dentum, selalu seperti ini jika berhubungan dengan Deva.

*****

"Saya nggak papa lho, Dok, belanja sendirian," ucap Seza yang tengah duduk di kursi penumpang dalam SUV milik Deva.

"Saya juga nggak papa nganterin kamu belanja," jawab Deva.

"Dokter kenapa nggak kerja-kerja sih?"

Deva melirik Seza. "Kenapa sih kamu sewot banget sama saya."

"Ya, kan harusnya dokter sibuk di RS."

"Lagi nggak banyak pasien, banyak yang menunda konsul kalau nggak urgent. Sekarang tuh, rumah sakit menjadi tempat yang paling dihindari."

"Oh... saya takut kalau dokter nggak kerja-kerja nanti gimana?"

Deva tertawa. "Kamu takut saya nggak bisa bayar gaji kamu ya?"

Seza. Mengangguk dengan ekspresi wajah menyebalkan, membuat Deva menahan diri untuk tidak mengacak-acak rambut perempuan itu. Seza di matanya begitu mengemaskan, tubuh mungil dan juga cara bicaranya yang santai dan lucu itu membuat Deva ingin terus berinteraksi dengannya. Deva melirik Seza yang kini tengah ikut menyanyikan lagu yang diputar di audio mobilnya.

"Kamu sadar nggak sih, kalau kamu mirip dia ini."

Seza menoleh pada Deva. "Siapa?"

"Yang nyanyi lagu ini."

"Oh... Gita Gutawa?"

Deva mengangguk.

Seza tertawa. "Ya nggak lah, jauh banget sama saya."

"Pasti mau bilang cantikkan kamu, kan?" tebak Deva.

"Ya cantikan dia lah, Dok. Aduh, saya emang cerewet anaknya, tapi nggak overpede juga."

Deva tersenyum mendengar ucapan perempuan itu. Beberapa saat kemudian mereka berdua tiba di salah satu pusat perbelanjaan. Deva memarkirkan mobilnya dengan rapi, kemudian keduanya turun bersama.

"Kamu cari bahan makanan, saya cari keperluaan saya. Jadi bisa cepet pulang. Bahaya lama-lama di tempat ramai kayak gini," ucap Deva pada Seza.

Seza menyetujui ucapan Deva itu, akhirnya mereka berdua berpencar. Deva memutari rak-rak untuk mencari keperluaannya seperti pisau cukur, shaving foam, dan pomade. Deva juga membeli beberapa camilan favoritnya. Setelah merasa belanjaannya cukup, Deva mencari Seza ke bagian sayur dan buah. Keningnya berkerut saat melihat Seza tengah berbicara dengan seorang laki-laki bertubuh kurus.

Laki-laki itu menarik tangan Seza, kemudian Seza berusaha melepaskan cekalannya, dengan cepat Deva langsung mendekati keduanya, dia mendekat lalu menarik tangan Seza yang dipegang oleh laki-laki itu, dan menempatkan tubuh Seza di belakang tubuhnya. "Ada masalah apa ini?" tanyanya dengan tatapan tajam mengarah pada laki-laki di depannya.

*****

Happy reading...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro