Bab 17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng




Seza tidak tahu apa yang membuat dirinya begitu sial hingga hari ini dia bertemu dengan salah satu orang yang tidak ingin dijumpainya lagi. Rama, seniornya di kampus yang menurut Seza aneh. Mungkin ini sudah yang ketiga kalinya Seza bertemu dengan Rama di supermarket ini, sepertinya Seza harus mencari tempat lain untuk berbelanja agar tidak perlu bertemu dengan Rama lagi.

"Kamu blok nomor aku ya, Za?" tanya Rama yang ikut memilih buah apel di samping Seza.

"Iya," jawab Seza singkat. Tidak ada gunanya berbohong, dia memang memblokir nomor ponsel laki-laki itu karena risih dengan sikap Rama. Seza masih kesal dengan pesan terakhir yang dikirimkan Rama, bagaimana bisa laki-laki itu tahu kalau dia bekerja sebagai pembantu? Seza jadi curiga kalau Rama menguntitnya. Kalau memang dugaannya benar, Seza bisa melaporkan laki-laki ini ke polisi.

"Kenapa? Aku cuma mau deket sama kamu, Za."

Seza menghentikan gerakannya memilih apel, dia berdiri menatap Rama. "Udah dari dulu kan aku bilang sama Kakak kalau aku nggak tertarik."

Mungkin kalau wajah Rama tidak tertutup masker, Seza bisa melihat raut wajah tidak sukanya dengan lebih jelas. Seza langsung menaruh sekantung apel yang sudah dipilihnya ke dalam troli dan bersiap untuk menimbang, namun Rama menahan tangannya. Membuat Seza memelototinya. Seza berusaha menarik lengannya, tetapi Rama memegangnya dengan kuat. "Lepasin nggak!" geram Seza.

"Sampai kapan kamu mau kerja jadi pembantu? Gimana kalau ibu kamu tahu?"

"Bukan urusan kamu!" bentak Seza. Beberapa orang mulai melirik ke arah keduanya. Membuat Seza merasa benar-benar malu, dia kembali berusaha menarik lengannya, tetapi Rama masih tidak mau melepaskannya. Ingin rasanya Seza berteriak di depan wajah laki-laki ini, kalau dia muak dengan tingkah Rama. Dia ingin laki-laki aneh itu pergi dari hadapannya.

"Ada masalah apa ini?" Suara itu kemudian sentuhan seseorang membuat Rama melonggarkan cekalannya pada Seza. Deva langsung menarik tangan Seza dan menempatkan Seza di belakang tubuhnya, seolah-olah melindungi perempuan itu dari laki-laki kurus yang terlihat tidak suka dengan kedatangan Deva.

Seza mengembuskan napas lega, akhirnya dia bisa terbebas dari Rama, tetapi kedua laki-laki itu masih saling pandang seolah mengukur kekuatan masing-masing. Kalau di lihat dari segi fisik tentu saja Deva lebih unggul, Seza yakin Deva bisa mengangkat tubuh Rama lalu membantingnya ke lantai saat ini juga. Melihat situasi yang semakin tidak baik, Seza menyentuhkan tangannya ke siku Deva, membuat laki-laki itu menoleh untuk menatapnya. "Kita pulang aja, Dok."

"Kamu nggak papa?"

"Saya nggak papa."

"Udah semua?" tanya Deva sambil melihat isi troli Seza.

"Udah," jawabnya singkat.

Deva mengangguk lalu mengambil alih troli Seza, satu tangannya mendorong troli, sementara tangan lainnya menggenggam tangan Seza, lalu melewati Rama yang masih terpaku di tempatnya berdiri.

Melihat tangan Deva yang melingkupi tangannya membuat jantung Seza berdetak tidak keruan, bahkan mereka masih bergandengan saat mengantre di kasir. "Dok," panggil Seza.

"Ya?" tanya Deva sambil menoleh ke arahnya.

"Tangan saya keringetan."

Deva memandang tangannya yang menggenggam tangan Seza, lalu segera melepaskannya. "Oh, sori."

Seza mengangguk, lalu mengusap-usap telapak tangannya yang memang berkeringat. Setelah melakukan pembayaran mereka berdua langsung menuju mobil.

"Tangan kamu."

"Heh?" tanya Seza bingung.

"Saya mau kasih handsanitizer," ucap Deva sambil menunjukkan botol handsanitizer yang dipegangnya.

"Oh." Seza langsung mengulurkan kedua tangannya. Jujur dia masih gugup, rasanya masih terasa hangat genggaman tangan Deva di tangannya. Kalau dipikir-pikir ini kali pertama dia bergandengan tangan dengan laki-laki. Dasar memang dirinya terlalu polos tentang masalah hubungan lawan jenis, hal seperti ini saja membuat jantungnya terus berdebar, bahkan hingga sekarang ritmenya masih sama seperti tadi.

Saat mobil Deva sudah memasuki jalan utama, laki-laki itu buka suara. "Itu tadi siapa?" tanyanya.

"Oh itu, senior saya di kampus."

"Dia suka sama kamu?"

Seza langsung menoleh ke arah Deva. "Kok dokter tahu?" Walaupun masih menggunakan masker, Seza bisa melihat dari matanya kalau Deva menertawakan kepolosannya. "Kalau mantan pacar kayaknya nggak mungkin. Kamu belum pernah pacaran kan?"

Kali ini Seza mebelalakkan matanya. "Dokter cenayang?"

Deva tertawa. "Bukan cenayang. Tapi dari gerak-gerik kamu, saya nebak aja."

"Emang gerak-gerik saya gimana? Sampai dokter bisa tahu?"

"Digandeng aja suara jantung kamu kenceng banget. Tadinya saya mau ngajak kamu periksa ke Haikal, takut jantung kamu kenapa-napa."

Sontak mendengar itu membuat pipi Seza memanas. Apa sebesar itu bunyi detak jantungnya hingga Deva bisa tahu. Deva melirik Seza yang terdiam, lagi-lagi dia tertawa. "Saya bercanda, kamu pikir saya punya kekuatan infrasonik gitu?"

"Dokter ih!"

Deva kembali tertawa lepas. "Jadi, kenapa senior kamu ini?" tanyanya lagi.

"Ya nggak tahu kenapa bisa ketemu lagi. Udah tiga kali lagi. Kayaknya saya nggak mau lagi belanja di sana. Saya jadi bingung dia kerjanya di hotel atau di supermarket sih."

"Kalau tiga kali ketemu nggak sengaja itu katanya jodoh, lho," ucap Deva masih terus menggoda Seza.

"Amit-amit. Jangan deh Dok, orangnya aneh. Masa dia tahu saya kerja sama dokter, padahal saya nggak pernah cerita. Lagian yang tahu saya kerja sama dokter kan nggak banyak. Saya curiganya dia nguntit saya, Dok."

Kening Deva berkerut bingung. "Kenapa kamu bisa mikir begitu?"

"Dulu, waktu semester satu atau dua gitu, dia juga pernah nguntit saya. Sampai dia tahu rumah saya, pokoknya dia ini aneh lah, untungnya dia cepet lulus. Nah dari situ kami nggak pernah ketemu lagi, baru ketemu lagi sekarang, Dok."

Deva terdiam, kalau memang dugaan Seza itu benar, ini bisa jadi masalah serius. "Za," panggilnya.

"Iya?"

"Kamu harus hati-hati. Nanti kalau belanja saya temenin deh, terus kalau pulang ke rumah, tolong kasih kabar kalau kamu udah sampai atau ada sesuatu di jalan. Pokoknya kalau ada yang aneh, kamu harus hubungi saya."

"Dokter kok jadi serius begini sih? Saya jadi ngeri."

Deva menoleh ke arahnya. "Kita nggak pernah tahu hal nekat apa yang bisa dia lakukan. Tadi aja di tempat rame dia bisa bersikap kayak gitu. Pokoknya kamu harus hati-hati."

"Iya, Dok."

"Dan kabari saya."

"Iya Dokter Deva."

*****

"Hari ini kita makan apa?" tanya Deva sambil duduk di kursi makan. Dia memperhatikan gerak-gerik Seza yang sedang sibuk mencicipi makanan yang dibuatnya.

"Beef chili, saya pakein kacang merah dok tadi saya presto. Kalau nenek saya sih biasanya masak kacang merah direndam semaleman, tapi kalau pakai metode itu, baru bisa besok kita makannya. Nggak tahu kenapa kayaknya ini pas banget disantap di suasana mendung gini." Seza menaruh hasil masakannya di dalam mangkuk lalu meletakannya di depan Deva. "Hangat, pedas, gurih, kaya protein juga. Duh, kalau ada roti baguette makin enak, Dok."

Deva mengaduk-aduk makanan berbentuk sup daging kental dengan warna merah yang berasal dari tomat dengan parutan keju, sour cream dan sedikit potongan alpukat. Dia mencicipinya sedikit dan langsung berbinar. "Enak," ucapnya.

"Terima kasih." Seza mengambil posisi duduk di depan Deva dan menikmati makanannya sendiri. "Ini nama lainnya Chili con carne, katanya awalnya makanan dari Mexico, pokoknya makanan ini udah ada sejak tahun 1800, makanan ini populer banget lho di US, Dok," jelas Seza sembari mencicipi makanannya sendiri.

"Kamu pernah ke US?"

Seza memasang cengirannya. "Belum. Tapi kalau soal makanan saya cukup update. Dulu temen-temen saya yang koki banyak yang sempet belajar atau pun kerja di luar negeri, jadi saya tahu dari mereka. Lumayan lah, buat pengetahuan."

"Nggak pengin keluar negeri?" tanya Deva lagi.

Seza menghela napas. "Saya nggak mau terlalu banyak bermimpi, Dok. Lagian kalau saya pergi, ibu sama adik saya gimana? Ditambah situasi lagi kayak gini kan, duh saya beneran nggak mau mimpi tinggi-tinggi. Bisa dapet kerja kayak dulu lagi aja, saya bener-bener bersyukur."

Deva memandang wajah Seza yang walaupun mengucapkan deretan kalimat itu dengan tenang dan penuh senyum, tetapi dia bisa melihat kesedihan di baliknya.

"Ya siapa tahu kan, kalau dunia sudah membaik kamu punya kesempatan buat belajar keluar."

Seza tersenyum. "Semoga."

Mereka berdua kembali menghabiskan makanan masing-masing. Deva benar-benar menandaskan isi mangkuknya. Sepertinya dia bisa mempertimbangkan membuat usaha kuliner dengan Seza yang menjadi juru masaknya. "Saya jadi betah di rumah kalau kayak gini," ucapnya sambil mengusap-usap perutnya.

"Jadi alasan dokter selama ini nggak di rumah karena di rumah nggak ada makanan enak?"

Deva mengangguk. "Dan nggak ada temen makan. Saya males makan sendirian. Itu kenapa setiap makan saya selalu sambil nonton TV atau main hape."

"Itu kegiatan yang nggak bagus Dok, bisa bikin nggak kenyang dan malah makan berlebihan," ucap Seza. Perempuan itu membawa piring kotor mereka ke bak cuci piring. Melihat Seza yang sudah mengenakan sarung tangan karet dan bersiap mencuci piring, Deva mendekatinya. "Saya bantuin ya."

"Eh? Nggak usah Dok, ini kan tugas saya."

"Tapi kan kamu udah masak, masa nyuci piring juga."

"Dokter lupa ya kalau kerjaan saya di sini memang untuk ini?"

Deva diam, dia jadi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tidak lama kemudian terdengar suara bel, keduanya saling pandang. "Saya buka pintu dulu, "ucap Deva. Seza mengangguk dan melanjutkan pekerjaannya.

Saat Deva menarik handel pintu, tiba-tiba seseorang langsung menubruk tubuhnya, kemudian melingkarkan tangan di lehernya,  memeluknya erat. Terdengar deru napas dan isak tangis dari perempuan yang memeluknya itu. "Deva, aku nggak tahan lagi! Aku mau cerai sama Andre!" ucap perempuan itu.

Sementara itu Seza terdiam di tempatnya berdiri memandangi kedua orang yang sedang berpelukan itu sambil memegang ponsel Deva yang berdering, ponsel yang tadi ditinggalkannya di meja makan.

*****

Happy reading...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro