Dua Puluh Sembilan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

YASHICA mengikuti Cellia yang menyeretnya ke dalam pantri yang lalu ditutup rapat. "Mbak Savina semalam nelepon. Katanya kalian makan malam bersama untuk ngerayain ulang tahun Hashi. Dia juga bilang kalau kamu sebenarnya seorang dokter, dan kamu kerja di kantor ini untuk bantuin teman kamu yang konten kreator." Bibir Cellia cemberut. "Kenapa kamu sama Sakti harus rahasiain soal itu dari aku? Meskipun kelihatannya aku cerewet, tapi aku bisa simpan rahasia kok."

"Maaf, Bu." Inilah alasan mengapa orang harus menghindari berbohong karena setelah kebohongan itu terungkap, semua orang butuh mendengar klarifikasi. "Mas Sakti awalnya juga nggak tahu kalau saya menyamar dan hanya bekerja sementara di sini. Saya memang nggak berniat memberi tahu siapa pun. Tapi karena saya dan Mas Sakti...." Yashica berdeham, melewatkan kata-kata yang seharusnya dipakai untuk melengkapi kalimat itu.

"Jadi, selama ini kamu membawa kamera tersembunyi di baju kamu?" Cellia mengamati saku dan kancing seragam Yashica, mencoba menemukan kamera di situ. "Kamu merekam saat aku lagi ngegosip sama Nora yang nggak punya kerjaan karena Pak Resmawan masih cuti?"

Yashica tersenyum. "Nggak ada kamera, Bu. Lagian, kita nggak bisa merekam orang kalau orangnya nggak berkenan. Bisa dituntut karena ada undang-undangnya. Kontennya untuk blog aja. Kalaupun nanti divideoin, itu hanya video wawancara antara saya yang menjalani kehidupan sebagai office girl aja dengan teman saya yang punya ide ini." Lagi-lagi kebohongan. Memang sulit untuk jujur ketika memulai semua dengan kebohongan.

"Gitu ya?" Cellia mengembuskan napas lega. "Tapi aku senang sih karena kalau kondisinya seperti sekarang, orangtua Sakti pasti menerima kamu dengan tangan terbuka. Semalam Mbak Savina kedengaran senang banget. Dia memang berusaha untuk nggak mendesak Sakti buat cepat-cepat nikah, tapi tentu saja berharap bisa segera punya menantu. Sekarang penantiannya udah berakhir. Sakti bukan tipe yang akan mengajak pacarnya ketemu orantuanya kalau nggak serius dengan hubungan itu."

Semakin dibicarakan, Yashica semakin gelisah. "Bu, saya harus membantu Mbak Eti nyiapin ruang rapat." Dia ingin melepaskan diri secepat mungkin.

"Kalau riset kamu sebagai OG udah kelar, harusnya kamu resign aja sih. Aku nggak suka lihat kamu disuruh-suruh. Sakti juga pasti ngerasa gitu. Apalagi Pak Resmawan udah mau masuk kantor. Dia juga pasti nggak enak lihat calon menantunya ngerjain pekerjaan yang nggak sesuai dengan profesi sebenarnya." Kata-kata Cellia sama persis dengan apa yang dikatakan Sakti. Yang berbeda hanyalah Sakti tidak menyebut tentang Resmawan Jati.

"Iya, Bu. Nggak lama lagi saya akan resign kok."

"Sekarang nggak usah panggil Ibu. Panggil Mbak Cellia aja kayak Sakti manggil aku."

"Baik, Mbak." Yashica langsung melarikan diri begitu cengkeraman tangan Yashica di sikunya terlepas.

Baru beberapa langkah meninggalkan pantri, dia berpapasan dengan Sakti yang baru datang. Senyum laki-laki itu tampak cerah. Yashica buru-buru mengalihkan tatapan dan melangkah cepat untuk memberi jarak. Mereka sedang berada di kantor. Meskipun di lantai ini tidak banyak orang, Yashica lebih memilih menghindari interaksi. Apalagi bayangan kejadian semalam, di mobil Sakti segera melintas dalam benaknya.

Sakti tidak menciumnya dengan intens seperti ciuman di film-film yang menggambarkan hasrat dan gairah, tapi itu tetap saja ciuman. Tautan bibir yang baru pertama kali dirasakan Yashica. Ciuman yang tidak ingin diterimanya, tapi juga tidak bisa ditolak.

"Kenapa kabur?" Dalam sekejap, Sakti sudah berada di sisi Yashica. Dia mengulurkan tangan dan menyisipkan jarinya di sela-sela jari Yashica. "Chat-ku semalam juga nggak kamu balas. Kalau kamu udah ketiduran, bisa dibalas begitu bagun tidur tadi, kan?"

Jangankan membalas, Yashica bahkan sengaja tidak membuka pesan Sakti walaupun tentu saja membacanya saat ada notifikasi masuk. Yashica mencuri baca tanpa membuka pesan itu secara langsung. Dia tidak mungkin membalas pesan berisi kata-kata manis layaknya pasangan yang sedang dimabuk cinta itu.

Yashica berusaha melepaskan tangannya. "Nanti dilihat orang, Mas. Ini kantor lho."

Sakti tersenyum jail. "Yang harusnya khawatir digosipin itu aku, bukan kamu. Kan aku yang kelihatan ngebet dekat-dekat kamu." Tapi dia menuruti Yashica dan melepaskan tangannya dari Yashica. "Kalau aku kosong saat makan siang, kita makan di luar ya?"

"Jangan siang, Mas," tolak Yashica. Dia butuh waktu untuk sejenak menjauh. "Saya biasanya banyak kerjaan kalau siang. Nggak enak sama yang lain kalau aku tinggal."

"Rencana resign kamu nggak mau dipercepat aja?" gerutu Sakti.

"Nggak usah dipercepat." Yashica menyambung dengan nada bercanda supaya Sakti tidak merasa dihindari. "Kayaknya aku mulai menikmati pekerjaan ini."

"Ada-ada aja!" dengus Sakti. "Oh ya, Ibu minta nomor kamu. Nggak apa-apa aku kasih, kan?"

"Untuk apa?" Terlalu defensif, jadi Yashica meralat, "Maksudku, kalau ada yang ibu Mas mau sampaikan, bisa lewat Mas aja, kan? Aku khawatir responsku kurang berkenan. Apalagi kami baru kenal semalam."

"Saat berhadapan sama Ibu, kamu hanya perlu jadi diri sendiri kok. Ibu minta nomor kamu karena suka sama kamu. Dia nggak akan menghubungi dan berusaha dekat sama kamu kalau dia nggak sreg sama kamu. Jadi, boleh aku kasih nomor kamu?"

Yashica tidak punya pilihan selain mengangguk. Dalam hati dia berdoa semoga ibu Sakti tidak benar-benar menghubunginya. Dia tidak mau menjalin hubungan kedekatan dengan perempuan yang menggantikan posisi ibunya di hati Resmawan Jati. Ibu Sakti adalah alasan mengapa ibunya tidak pernah mendapatkan suaminya kembali sampai akhirnya berkalang tanah.

Tidak perlu menunggu lama setelah Yashica setuju Sakti memberikan nomor teleponnya kepada ibunya, sebuah pesan masuk. Ibu Sakti mengajaknya makan siang bersama. Tidak tanggung-tanggung, dia mengatakan akan menjemput Yashica di kantor. Itu semacam pernyataan yang mengatakan bahwa dia tidak menerima penolakan.

Ajakan ibu Sakti membuat Yashica berubah pikiran terhadap penolakannya makan siang bersama Sakti. Yashica tidak ingin berdua saja dengan ibu Sakti. Lebih baik mengajak Sakti bersamanya untuk menghindari suasana yang canggung.

Ibu Mas mengajakku makan siang bersama. Mas ikut juga, kan? Yashica mengirim pesan itu. Pintu kantor Sakti hanya beberapa meter dari tempatnya sekarang berdiri, tapi dia lebih memilih menulis pesan daripada bertemu langsung. Rasanya masih tidak nyaman setelah kejadian semalam. Ciuman itu memang tidak melibatkan perasaan, tapi tidak berarti Yashica bisa bersikap seolah hal itu tidak pernah terjadi.

Pesan itu dibalas dengan dering telepon beberapa detik kemudian.

"Sori, ternyata aku ada acara di luar sejam lagi dan mungkin baru kembali ke kantor setelah makan siang. Kita makan malam bersama seperti rencana tadi aja ya? Siang ini kamu makan sama Ibu aja. Aku yakin kamu akan menyukai Ibu setelah menghabiskan waktu bersamanya."

Yashica tidak yakin. Dia bukan Resmawan Jati yang gampang terpesona dan langsung mendepak istrinya demi perempuan lain.

**

Yang mau baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro