Tiga Puluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

SETELAH menghabiskan waktu lebih dari satu jam bersama ibu Sakti, Yashica bisa menyimpulkan jika perempuan itu adalah tipe ibu yang berprinsip: kalau tidak bisa membujuk anakmu untuk segera menikah, maka bujuklah pasangannya!

Meskipun melakukannya secara halus, inti percakapan yang dibangun ibu Sakti berisi kampanye tentang kualitas dan keunggulan anaknya. Perempuan yang menjadi pasangan Sakti akan mendapatkan garansi bahwa laki-laki itu adalah barang premium yang sudah lolos quality control yang sangat ketat. Tidak ada ruang untuk cacat produksi, baik dari kemasannya secara fisik, maupun kepribadiannya.

Yashica yakin, kalau bukan dirinya yang menjadi sasaran kampanye, ibu Sakti akan berhasil mendapatkan menantu idamannya hanya dalam waktu 15 menit setelah mengiklankan anaknya. Sayangnya dia salah orang. Ibu Sakti kurang beruntung karena berhadapan dengan seorang penipu yang hanya ingin mengambil keuntungan, bukan sedang mencari jodoh sempurna untuk membangun rumah tangga yang kokoh.

"Ibu tahu kalau semua orangtua di dunia melihat anak mereka secara subjektif sehingga cenderung mengabaikan kekurangan mereka, tapi Sakti beneran anak baik yang nggak pernah terlibat masalah apa pun sejak kecil. Komunikasi kami dengan gurunya biasanya membahas prestasi dan lomba-lomba yang dia ikuti, bukan karena dia melakukan sesuatu yang buruk seperti bertengkar atau berkelahi sama temannya. Sakti itu selalu fokus. Ketika dia menginginkan sesuatu, dia akan bekerja keras untuk mendapatkannya. Hubungan kalian memang belum lama, tapi karena kalian berada di tempat yang sama setiap hari, Ibu yakin kamu juga bisa menilai kepribadiannya."

Yashica mendengarkan apa yang dikatakan ibu Sakti dengan tekun. Kalaupun mendebat, dia hanya melakukannya di dalam kepala. Yang tampak dari luar, Yashica menyetujui semua yang dikatakan ibu Sakti. Dia konsisten tersenyum dan menganggukkan kepala.

"Ibu selalu percaya pada pilihan dan keputusan yang diambil Sakti, jadi Ibu yakin kamu memang pasangan yang tepat untuknya. Ibu nggak bermaksud mendesak kamu, tapi karena kalian sudah sama-sama mapan, sebaiknya nggak usah pacaran lama-lama. Pacaran dan proses penyesuaian diri bisa dilanjutkan setelah menikah. Yang dibutuhkan dalam pernikahan itu sebenarnya bukan cinta yang menggebu-gebu, tapi tanggung jawab dan keteguhan untuk mempertahankan komitmen yang sudah diikrarkan. Rumah tangga yang awalnya dibentuk tanpa cinta pun bisa sangat berhasil. Cinta bisa menyusul. Kamu dan Sakti beruntung karena sudah punya rasa itu, jadi ikatan kalian pasti akan sangat kuat. Ibu dan ayah Sakti dulu nggak memulainya seperti kalian, tapi nyatanya, pernikahan kami berhasil. Sebuah awal memang penting, tapi yang utama adalah menjalani proses sehingga bisa mendapatkan hasil yang kita harapkan. Ibu bisa mengatakan itu karena sudah membuktikannya."

Untuk pertama kalinya, percakapan itu akhirnya berhasil menarik perhatian Yashica. Untuk pertama kalinya pula dia mengajukan pertanyaan, tanpa peduli soal kepantasan dan kesopanan, "Ibu dan Pak Resmawan nggak pacaran sebelum menikah?"

Ibu Sakti tersenyum dan menggeleng. "Tidak. Saat menikah, kami bahkan belum bisa dibilang saling kenal. Kami dijodohkan kakek Sakti. Ayah Sakti waktu itu masih jadi karyawan biasa, dan perusahaan yang dibangun kakek Sakti belum sebesar sekarang. Ibu rasa alasan ayah Sakti mau menikahi Ibu karena dia nggak berani melawan perintah bos dan takut kehilangan pekerjaan." Ibu Sakti tertawa kecil. Dia tampak menerawang membayangkan peristiwa puluhan tahun lalu itu. "Itu pernikahan yang sangat canggung pada awalnya. Ayah Sakti nggak pernah bicara tentang masa lalunya, tapi Ibu rasa dia mencintai seseorang, dan masih mencintai orang itu bahkan setelah kami menikah. Butuh waktu cukup lama sebelum akhirnya kami berhasil saling menyesuaikan diri dan berdamai dengan keputusan yang kami ambil untuk menikah. Intinya ya tadi itu, tanggung jawab dan keinginan mempertahankan komitmen. Cinta akan datang ketika kita membuka hati pada orang yang selalu ada di sisi kita. Ibu percaya itu."

Ada yang salah, pikir Yashica. Kenapa Resmawan Jati meninggalkan ibunya yang kaya raya untuk bekerja sebagai seorang karyawan biasa di Jakarta? Uang tidak pernah jadi masalah untuk keluarga ibunya. Perkebunan kakeknya adalah pemasok tembakau terbesar untuk pabrik rokok nomor satu di tanah air.

Apakah kepergian Resmawan Jati adalah hubungannya dengan kakeknya yang otoriter? Yashica bisa dengan mudah membayangkan kakeknya mengintimidasi siapa pun yang tidak disukainya. Tapi kalau Resmawan Jati benar-benar meninggalkan ibunya karena tidak tahan dengan sikap kakeknya, itu menandakan mentalnya yang serapuh kerupuk. Jika Resmawan Jati benar-benar seorang laki-laki sejati dan mencintai ibunya, dia seharusnya bertahan sesulit apa pun situasinya. Kenapa dia bisa bertahan dengan ibu Sakti padahal pernikahan mereka tanpa cinta, tapi tidak bisa tetap tinggal di sisi ibunya yang percaya bahwa dia dicintai dengan segenap jiwa oleh Resmawan Jati?

Ibu Sakti menggandeng lengan Yashica saat mereka keluar dari restoran. Yashica menahan keinginan untuk melepaskan diri.

"Sakti pasti sudah tahu alasan Ibu ngajak kamu ketemu, tapi jangan bilang kalau Ibu mendesak kamu untuk membujuknya cepat menikah ya. Kita harus membuatnya seolah itu keputusan kamu." Nada ibu Sakti seperti mengajak berkonspirasi. Senyumnya melebar. "Pacaran lama-lama itu yang rugi ya perempuan juga. Sepintar-sepintarnya kalian jaga diri, kemungkinan untuk bablas tetap aja besar. Cinta itu gampang banget terkontaminasi sama gairah. Apalagi kamu dan Sakti hanya tinggal sendiri, padahal kalian pasti sering menghabiskan waktu berdua di sana. Bablas itu nggak selalu terjadi karena direncanakan, tapi seringnya spontan karena terbawa suasana. Orang paling bertanggung jawab seperti Sakti sekalipun mungkin saja kalah sama tekanan hormon. Laki-laki dan perempuan dewasa yang saling cinta nggak mungkin tatap-tatapan aja saat berada di ruangan tertutup hanya berdua."

Yashica bisa merasakan wajahnya memanas mendengar kalimat yang blak-blakan itu. Peristiwa ciumana semalam berkelebat lagi. Apakah akan ada adegan yang lebih dari itu? Dia spontan menggelengkan kepala. Tidak, tentu saja tidak akan terjadi. Toleransinya hanya sebatas ciuman saja. Tidak akan lebih. Dia pasti bisa menghentikan Sakti ketika laki-laki itu menginginkan kontak fisik yang lebih intens daripada sekadar menautkan bibir.

Ibu Sakti menghentikan langkah saat mereka berada di depan toko sebuah merek terkenal dari Eropa. "Ibu pengin kasih kamu hadiah, yuk!" Dia menarik Yashica memasuki toko itu. "Waktu kerja, kamu pakai jas putih, kan? Pasti gampang banget cari tas dan sepatu yang cocok untuk jas putih."

**

Entah mengapa, Yashica tidak bisa mengenyahkan apa yang dikatakan ibu Sakti tentang apa yang biasanya terjadi ketika seorang laki-laki dan perempuan hanya berada berdua di dalam ruangan tertutup ketika dia dan Sakti berada di apartemennya. Mungkin dia semakin memikirkan hal itu setelah apa yang terjadi di dalam mobil Sakti.

Tadi, Yashica pulang sendiri karena Sakti ternyata punya pertemuan dadakan lain yang membuatnya tidak bisa kembali ke kantor. Sakti langsung menyusul ke apartemen Yashica dengan membawa makan malam.

"Sori, aku udah makan duluan sama klien. Aku temenin kamu makan aja." Sakti duduk di samping Yashica yang memilih makan di meja bar dapur.

Yashica menahan diri supaya tidak mendesah pasrah. Meja bar dapur adalah tempat yang sengaja dia pilih untuk menjaga jarak dengan Sakti yang awalnya duduk di sofa. Ternyata rencananya tidak berjalan sesuai harapan.

"Terima kasih udah dibawain makanan." Yashica mencoba fokus pada steik yang dibawa Sakti untuknya.

"Menjaga supaya kamu nggak kelaparan kan udah jadi tugasku. Aku gagal jadi pacar kalau berat badanmu malah makin turun setelah kita sama-sama. Orang-orang bisa mikir kalau kamu tekanan batin karena aku otoriter. Oh ya, apa yang kamu dan Ibu obrolin tadi siang?" Sakti menyengir lebar. "Maksudku, selain membujuk kamu untuk ngajak aku cepat-cepat nikah. Kalau itu, aku udah tahu sih. Ibu nggak pernah mendesakku untuk menikah, tapi tiap ketemu, dia akan membagikan kabar tentang sepupu laki-lakiku yang sepantaran sekarang udah punya dua anak. Yang lebih muda dariku, kalau nggak udah punya satu anak, ya pasti udah nikah."

"Kami hanya ngobrol ringan aja kok. Tadi ibu Mas ngasih tas. Katanya hadiah perkenalan."

"Wah, aku keduluan sama Ibu," gerutu Sakti pura-pura sebal. "Aku malah belum pernah ngasih apa-apa sama kamu."

"Aku nggak butuh apa-apa!" seru Yashica cepat. Dia tidak mau menerima pemberian dari keluarga Resmawan Jati. Tas pemberian ibu Sakti itu pasti akan dia kembalikan. Untung saja tadi dia berhasil menolak saat disuruh memilih sepatu. "Aku udah punya semua yang aku butuhkan. Di sini, aku mungkin kelihatan nggak punya banyak barang, tapi di rumah, aku punya lebih daripada yang aku butuhkan."

"Barang yang kamu beli sendiri kan beda maknanya dengan hadiah dari aku, Sayang."

Yashica tersedak potongan daging yang masih dikunyahnya. Dia spontan terbatuk-batuk. Panggilan "sayang" itu mengejutkannya. Rasanya aneh saja mendengar kata-kata itu ditujukan padanya.

Sakti mengusap punggung Yashica. "Pelan-pelan aja makannya. Ntar, aku ambilin minum." Dia melompat dari kursi untuk mengambil botol air mineral di kulkas. Sebelum duduk kembali di kursinya dia mengecup puncak kepala Yashica.

Batuk Yashica semakin menjadi. Sialan! Butuh waktu beberapa saat sebelum dia akhirnya menguasai diri dan menghentikan batuk kurang ajar itu. Mungkin melibatkan Sakti dalam rencana balas dendamnya tidak secemerlang yang semula dia pikir. Mungkin ini adalah kesalahan karena beberapa hal tidak berjalan sesuai harapannya.

"Oh ya, besok Ayah akan mulai masuk kantor. Jangan kaget kalau lihat dia beda versi dengan yang kemarin waktu kita makan malam bersama ya. Kantor adalah wilayah profesional untuk Ayah, jadi dia cenderung serius saat di kantor."

Yashica kembali terbatuk-batuk. Akhirnya dia sampai pada babak utama. Saatnya untuk berhadapan dengan Resmawan Jati setiap hari!

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro