Keping 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pesawat yang ditumpangi Zai dan Tama mendarat di Indonesia keesokan harinya. Penerbangan yang memakan waktu hampir 20 jam itu membuat mereka kelelahan. Meskipun fasilitas yang disediakan di pesawat sangat memadai, tetapi tetap saja tubuh mereka mengalami kelelahan. Tama hampir tidak bisa tidur. Hal ini berbanding terbalik dengan Zai yang kelihatannya sangat menikmati waktu tidurnya.

Begitu tiba di bandara, mereka dijemput oleh supir yang dulu biasa mengantar Zai ke sekolah. "Selamat pagi, Tuan Muda." Supir tersebut menyapa Zai dengan ramah.

"Selamat pagi, Pak. Anda kelihatan semakin muda." Zai membalas sapaan itu dengan hangat. Ia bahkan sampai merangkul supir tersebut.

Supir tersebut dibuat terdiam karena baru pertama kali melihat tuan mudanya seramah itu.

Mereka memasuki mobil yang sudah hampir setahun tidak mereka tumpangi. Seperti biasa, mobil itu dikawal oleh dua mobil lainnya di depan dan di belakang.

Pintu pagar tinggi yang terbuat dari baja itu terbelah menjadi dua. Mobil melaju mengitari pelataran hingga tiba di depan pintu masuk rumah. Zai turun sebelum Tama mengitari mobil untuk membukakan pintunya.

Zai tersenyum. "Gue bisa sendiri, Bang."

"Zai, kamu benar-benar sudah siap? Saya akan mendukungmu."

"Tenang, Bang. Kali ini biar gue yang menyelesaikan."

***

Mereka melangkah beriringan. Zai di depan dan Tama mengikutinya di belakang. Pintu dibuka setelah salah satu pengawal ayah Zai melihat kehadirannya.

Zai melangkah masuk ke ruangan itu. Ruangan itu masih sama seperti sebelumnya. Warna dindingnya masih merah marun dan jendela besar di balik meja ayahnya masih mampu membuat Zai terkagum meskipun sudah ratusan kali melihatnya. Zai melihat seorang pria duduk di balik meja.

"Tuan Harsa duduk di kursinya." Tama berbisik ketika mereka melangkah masuk.

Zai tersenyum. Hal ini membuatnya merasa bersalah. Ia tidak mampu mengenali ayahnya sendiri. Namun, rasa bersalahnya tidaklah sebanding dengan rasa marah dan kecewa terhadap ayahnya.

"Kalian semua bisa keluar dari ruangan ini, kecuali Zaivan." Ayah Zai memberikan perintah yang sempat membuat asisten dan pengawalnya saling menatap satu sama lain.

Semua pengawal dengan segera mematuhi perintah tersebut. Namun, asisten ayah Zai dan Tama masih berdiri di tempatnya.

"Apa saya perlu mengulangi kata-kata saya?" Ayah Zai menoleh dan berbicara pada asistennya. Hal itu membuat asisten ayah Zai melangkah keluar dari ruangan itu. Tama masih tidak bergerak dari tempatnya.

"Maafkan saya, Tuan. Saya tidak bisa membiarkan Anda dengan Zaivan tinggal di ruangan ini." Sebenarnya Tama mulai khawatir akan keselamatan dirinya sendiri. Mungkin saja Tuan Harsa akan berbaik hati padanya jika ia mengutarakan pendapatnya mengenai Zai, tetapi ia masih gentar untuk menyampaikan pendapatnya.

Zai menoleh pada Tama yang kini berdiri satu langkah di belakangnya.

"Bicaralah. Saya akan tetap di sini." Tama berbisik.

"Biarkan Tama di sini. Ada yang perlu saya bicarakan dengan Anda dan Tama harus mendengarkan sebagai saksi." Zai menatap ayahnya dengan penuh keyakinan.

Ayah Zai tidak menjawab, tetapi setelah melihat kesungguhan di mata Zai akhirnya ia mengangguk.

"Saya mau berhenti kuliah." Zai mengatakan kalimatnya dengan cepat.

"Lalu?" Tanpa terduga, ayah Zai mendengarkan kata-kata Zai tanpa memotong.

Zai mengumpulkan keberaniannya dan ia mulai mengatakan keinginannya. "Saya mau hidup seperti orang biasa. Tanpa asisten dan tanpa pengawal. Saya mau sekolah di universitas biasa, bisa bergaul dengan orang lain dan bisa bebas tanpa harus merasa terbebani dengan nama keluarga Arkanayaka."

"Setelah itu?" Ayah Zai melipat kedua tangannya di atas meja.

"Kalau diberi kesempatan, saya mau memulai bisnis saya sendiri karenaa saya tertarik dengan mesin.

Ayah Zai tertawa. Jenis tawa yang kelihatannya sengaja dibuat-buat. "Kamu meninggalkan ujian di universitas terbaik di sana hanya untuk mengatakan ide konyolmu ini? Sadar Zaivan, di luar sana banyak orang yang menginginkan posisimu sekarang. Kamu terlahir dengan bergelimang harta dan kamu adalah satu-satunya pewaris untuk semua kekayaan keluarga kita. Apa lagi yang kamu cari?"

"Aku mencari kedamaian dan ketenangan. Hidupku sekarang rasanya seperti neraka. Anda kira saya tidak stres? Anda tidak peduli dengan saya. Bahkan Anda mengabaikan cerita saya saat saya mengatakan kalau saya hampir terbunuh."

"Itu hanya mimpi, Zaivan. Jangan berlebihan."

Tama masih berdiri di tempatnya dan mengamati situasi.

"Sudah, hanya itu yang mau kamu katakan? Saya sudah mendengar semuanya. Besok malam kamu harus kembali ke US. Ujian susulanmu sudah dijadwalkan minggu depan. Silahkan keluar." Ayah Zai berbicara dengan suara yang tenang. Jika orang-orang di depan pintu sedang mencuri dengar maka mereka akan mengira kalau Zai dan ayahnya tengah melepas rindu.

Mendengar kata-kata ayahnya, darah Zai mendidih. Ia mengambil sebuah pisau yang merupakan sebuah pajangan yang ada di ruangan ayahnya. Zai tahu kalau pisau itu adalah pisau sungguhan kerena waktu kecil ia pernah menyentuh pisau itu.

"Tuan Muda." Tama langsung bergerak cepat dan meraih tangan Zai.

Zai menangkis tangan Tama dan ia mengarahkan pisaunya ke arah Tama. "Mundur atau gue akan melukai lo."

"Zaivan!" Ayah Zai beranjak dari duduknya dan ia tidak sengaja menyenggol gelas yang ada di meja. Suara gelas pecah memenuhi ruangan itu. Tama dibuat mengerjap beberapa kali, ia masih berusaha memahami situasi. Pintu dikuak dan asisten ayah Zai masuk ke ruangan itu.

"Kenapa dulu Anda membawaku ke tempat ini? Aku mau pulang. Ini bukan kehidupanku." Air mata menetes dari sudut mata Zai. Perlahan ia menurunkan pisau yang ia genggam.

"Kamu tidak akan bisa bertahan hidup di luar sana. Kembali ke US dan lanjutkan sekolahmu!"

"Lebih baik aku mengakhirinya sekarang daripada harus kembali ke sana dan kembali menjadi boneka Anda." Zai kembali mengangkat pisau yang ada di tangannya dan ia menatap nanar pada ayahnya.

"Saya memutuskan menghilangkan nama Arkanayaka dari namaku. Mulai hari ini saya bukan lagi bagian dari Arkanayaka. Jangan campuri hidup saya." Zai tetap menggenggam pisau yang ada di tangannya. Kemudian ia melangkah keluar dari ruangan itu. Tidak ada seorang pun yang berani mendekatinya. Bahkan Tama tidak berhasil menghentikan langkah Zai meskipun ia berusaha memberikan kode melalui gelengan kepala.

"Zaivan!" Ayah Zai melangkah menyusul putra semata wayangnya. Namun, langkahnya dihentikan oleh asistennya.

"Anda tidak akan bisa menghentikannya, Tuan. Biarkan saja hingga emosinya mereda." Asisten ayah Zai merentangkan tangannya lebar-lebar. Tanpa menoleh, asisten ayah Zai memberikan perintah pada putranya, "Tama, awasi Tuan Muda, segera!"

Tama mengangguk dan segera berlari menyusul Zai. Laki-laki yang masih menggenggam pisau itu tertahan di gerbang utama. Para pengawal tidak membuka pintu hingga Tama tiba dan menunjukkan kartu tanda pengenalnya.

"Beliau diizinkan keluar." Penjaga gerbang langsung mengangguk setelahnya.

Gerbang megah itu terbuka lebar. Zai melangkahkan kakinya keluar dari sana. Untuk pertama kalinya ia keluar dengan kakinya sendiri dan tanpa pengawal.

Tama tetap mengikuti Zai dan menjaga jarak tiga meter di belakangnya. Setelah beberapa menit, Zai menghentikan langkahnya dan ia duduk di sebuah batu yang ada di pinggir jalan.

"Menurut lo rencana gue berhasil atau enggak, Bang?" Zai tersenyum hingga kedua matanya menyerupai bulan sabit.

"Kamu buat saya hampir terkena serangan jantung."

"Yang tadi itu sungguhan. Gue benar-benar emosi waktu bokap tetap mau kirim gue ke US."

 Tama mengangguk kemudian tersenyum, "Setelah ini apa yang akan kamu lakukan?"

"Aku akan masuk ke universitas biasa dan hidup sendiri. Aku punya tabungan sendiri dari hasil lomba waktu SMP dan SMA. Aku bisa pakai uang itu untuk daftar kuliah dan hidup sebagai orang biasa. Untuk selanjutnya, mungkin gue akan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup gue."



Terima kasih sudah membaca.

ODOC WH BATCH 4 Day 13

10 Oktober 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro