Keping 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Zai terbangun dengan badan penuh keringat. Mimpi itu lagi. Mimpi yang sama yang sudah menemani hampir di setiap malam. Zai menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha mendapatkan sebanyak mungkin udara untuk mengisi penuh paru-parunya. Ia menarik tubuhnya dan duduk bersandar.

Zai melihat sekeliling dan menyadari kalau ruangan itu bukan kamarnya. Ruangan itu jauh lebih sempit dibandingkan dengan kamarnya. Ia tersenyum ketika menyadari sesuatu.

"Mimpi buruk lagi, Zai?" Tama bersandar di pintu ruangan itu dengan santai. Ia mengenakan celana tidur dan kaus oblong abu-abu. Bahkan selama di Amerika, Zai tidak pernah melihat sisi Tama yang seperti ini.

"Seperti biasa. Tumben nggak pakai selamat pagi." Zai menyibak selimutnya kemudian ia turun dari ranjang dan meregangkan tubuhnya.

"Setelah kamu menghapus nama Arkanyaka dari namamu, saya nggak perlu lagi memperlakukanmu seperti Tuan Muda." Tama tersenyum dan bergerak membuka tirai yang ada di dekatnya.

"Hari ini gue harus daftar ke kampus Jatayu. Gue juga harus cari kos di dekat sana." Zai berjalan ke arah jendela dan membukanya. Ia mengeluarkan botol gelembungnya, ia membuka botol mingil itu dan meniup bagian batang yang tadinya tercelup dalam cairan sabun. Beberapa gelembung muncul dari tiupan itu.

"Gelembung untuk hidup baru. Gue harap bokap nggak akan mengganggu hidup gue lagi." Zai tetap memandangi gelembung yang beterbangan.

"Sarapan pagi ini nggak disiapkan oleh kepala koki ya. Saya cuma buat segelas susu dan roti bakar aja." Tama beranjak dari posisinya dan berjalan menuju dapur.

"Gue merasa terhormat karena bisa makan roti bakar dan susu cokelat buatan lo, Bang." Zai menyusul langkah Tama dengan segera.

***

Zai kira kegiatan mendaftar kuliah dan mencari indekos tidak sesulit itu, tetapi nyatanya ia sudah kehabisan tenaga setelah bolak-balik ke kampus dan berkeliling mencari indekos setelahnya. Beruntung Tama membantunya untuk menyelesaikan urusan administrasi di kampus barunya. Jika Tama tidak membantunya, mungkin ia akan berakhir sebagai pengangguran tanpa status.

Ia sempat menyesal karena tidak menerima bantuan Tama yang bersedia mengantarnya untuk mencari indekos. Zai sudah menghabiskan cukup banyak uang untuk menyewa ojek online. Ini adalah indekos ke sekian yang ia kunjungi. Zai sampai lupa sudah berapa banyak indekos yang ia kunjungi.

Seseorang menyentuh pundak Zai saat ia berdiri sambil menatap layar ponselnya. Ia berbalik dengan sigap dan mendapati seorang pria yang terlihat lebih muda darinya tengah tersenyum.

"Siapa ya?" Zai memandang laki-laki itu heran.

"Gue kira lo teman gue, ternyata bukan. Maaf ya." Laki-laki itu melangkah menjauh setelah mengangguk beberapa kali. Tak lama setelah Zai melanjutkan langkahnya, laki-laki itu kembali memanggil, "Oy, gue perhatiin, dari tadi lo bolak-balik terus. Lagi cari alamat?"

Zai menghentikan langkahnya. "Gue lagi cari kosan."

"Oh, cari kosan. Mau kosan yang gimana?" Laki-laki itu tersenyum sombong.

"Kos yang nyaman dan harganya terjangkau." Zai menjawab penuh harap, meskipun ia tidak yakin dengan penampilan orang yang ada di hadapannya.

"Gue punya rekomendasi buat lo." Laki-laki itu memimpin jalan setelah mengajak Zai. Mereka berhenti tepat di depan sebuah bangunan yang kelihatan tua tapi terasa asri karena dikelilingi pepohonan.

"Memang bangunannya tua, tapi aman kok di sini. Kebetulan ini punya Paman gue, nanti bisa nego harga." Laki-laki itu membuka pintu depan bangunan itu dan Zai dihadapkan pada sebuah ruangan besar lengkap dengan sofa dan televisi besar di sudut ruangan. Bangunan ini terdiri dari satu lantai, tetapi luasnya bukan main.

"Ada dua kamar kosong di sini. Lo bisa cek dulu."

Zai membuka pintu kamar pertama. Ia memandang sekeliling dan mendapati jendela kamar yang langsung menghadap gerbang utama. Zai tidak terlalu menyukai kamar itu karena cahaya matahari pagi pasti akan langsung masuk ke sana.

Ia beranjak ke kamar kedua. Begitu pintu kamar dibuka, Zai langsung terdiam. Tata letak jendela, pintu dan pintu kamar mandinya sama persis dengan kamar yang dulu Zai tempati di panti. Zai merasa seperti pulang, rasanya seperti di rumah.

Ia menyentuh dinding dan melihat langit-langit. Meskipun kamar ini kosong, tetapi kondisinya sangat bersih dan rapi.

"Gimana? Cocok nggak?" Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya di pintu.

"Untuk pembayarannya gimana?" Zai langsung ingin pindah ke kamar itu.

"Bisa bayar langsung atau transfer, bebas. Kalo lo mau bulanan harganya lebih mahal. lebih hemat kalau langsung ambil setahun, selisihnya sekitar 2 juta. Kalo lo ragu-ragu bisa ambil yang sebulan dulu."

"Oke, gue bayar untuk setahun." Zai langsung membuka tasnya dan mengeluarkan satu bundel uang seratus ribuan. Untung saja Zai sudah mengambil uang dari tabungan pribadinya. Uang yang dimiliki Zai sebenarnya cukup untuk membayar sewa selama 10 tahun, tetapi ia harus mengatur uang yang ia miliki untuk bertahan hidup.

"Kapan mau pindah?" Laki-laki itu menghitung ulang uang yang diberikan Zai.

"Besok pagi."

"Oke, ini kuncinya." Laki-laki itu menyerahkan kunci kamar itu pada Zai.

Zai segera berpamitan setelah mendapatkan indekos. Ia menhela napas lega karena mendapatkan indekos yang menurutnya nyaman dan menurutnya sangat terjangkau.


***


Zai tiba di apartemen Tama setelah langit berubah gelap. Zai sempat menatap bangunan itu sebelum ia masuk. Ia mengatakan pada dirinya sendiri kalau suatu saat nanti ia pasti bisa membeli satu unit apartemen dari hasil kerja kerasnya sendiri. Zai disambut oleh Tama yang mengenakan setelan jas lengkap.

"Sudah dapat kosnya?" Tama bertanya setelah ia menanggalkan jas yang ia kenakan.

"Sudah, Bang. Lo darimana?" Zai penasaran karena Tama mengenakan pakaian yang berbeda dengan pakaian yang ia gunakan saat mengantar Zai ke kampus tadi pagi.

"Dari kantor." Tama menjawab singkat dan duduk di depan televisi yang baru ia nyalakan.

"Kantor bokap?" Zai ikut duduk di samping Tama

"Dari mana lagi? Saya mengajukan surat pengunduran diri tadi." Kali ini Tama sibuk melepas dasi yang melingkar di lehernya.

"Kenapa mengundurkan diri? Lo 'kan bisa pindah ke kantor."

"Saya bisa pindah ke kantor, tapi saya memilih untuk keluar."

"Jangan bilang karena gue. Lo harusnya nggak perlu mengorbankan pekerjaan lo cuma karena gue, Bang." Suara Zai meninggi.

"Saya keluar karena keinginan saya sendiri. Ini nggak ada hubungannya sama kamu, Zai." Tama tersenyum dan menepuk pundak Zai.


***


Sebelum mengundurkan diri, Tama sempat meminta izin untuk membawa koper dan barang-barang Zai yang ada di rumah keluarga Arkanayaka. Tama mengantar Zai ke indekosnya. Ia membantu Zai mengeluarkan koper dan barang-barangnya dari dalam mobil.

"Terima kasih, Bang. Gue nggak akan melupakan semua kebaikan lo." Zai tersenyum pada Tama yang kini berdiri di depan pagar.

"Kalau ada masalah atau butuh bantuan, jangan sungkan hubungi saya. Maaf karena saya nggak bisa membantu sampai ke dalam. Lain kali saya akan mampir untuk memeriksa kondisimu, Zai."

"Gue sudah sangat terbantu dengan keberadaan lo, Bang."

"Saya pamit."

"Oke, hati-hati." Zai melambaikan tangannya pada mobil Tama yang sudah bergerak menjauh. Jantung Zai berdebar kencang. Kini ia benar-benar akan memulai hidup baru.

Zai merogoh saku celananya dan mengeluarkan kunci dengan gantungan tali sederhana yang diberi oleh Tama. Baru saja Zai menyentuh knop pintu, suara seseorang mengalihkan perhatiannya.

"Lo anak baru?" Laki-laki dengan postur tubuh yang kelihatan atletis berdiri di depannya. Zai mengamati rambut gondrong yang diikat sebagian sebagai ciri khas laki-laki itu. Melihat dari koper yang ada di sampingnya, laki-laki ini mungkin akan tinggal tepat di sebelah kamarnya.

Zai mengangguk kaku. Ia sempat menyentuh kacamatanya untuk menghilangkan kegugupan. Sebelumnya Zai tidak mengenakan kacamata karena ia selalu dituntut tampil sempurna sehingga ia harus selalu menggunakan lensa kontak. Kini ia tidak perlu repot-repot menggunakan lensa kontak karena ia bebas mengenakan kacamata.

"Jurusan apa?"

"Teknik mesin." Zai menjawab dengan cepat. Ia baru menyadari kalau pada telinga kanan laki-laki itu bertindik. Bukan hanya satu, tetapi tiga. Anting yang terletak paling atas berbentuk bulan sabit dan dua di bawahnya hanya bulatan kecil yang berkilau.

"Wah, sama dong. Kenalin gue Dwiyata Pattareksa. Biasa dipanggil Pattar." Laki-laki mengulurkan tangannya untuk berjabat.

Zai menyambut tangan Pattar dan tersenyum, "Zaivan Oktora, biasa dipanggil Zai."

Jabat tangan mereka tiba-tiba diganggu oleh suara seorang wanita.

"Halo, kenalin gue Reihana Elvazia. Biasa dipanggil Hana." Hana melambaikan tangan dan tersenyum ramah pada Zai.

"Ganjen lo." Pattar menurunkan tangan Hana yang terus melambai pada Zai.

"Halo, Hana. Ini pacar lo?" Zai menatap Pattar dengan tatapan penuh tanya.

"Bukan." Hana dan Pattar menjawab kompak.

Zai tertawa melihat Hana yang melayangkan pukulan ke lengan Pattar.

"Maaf ya, gue ogah banget kalo dikira pacar ini playboy cap gayung." Hana menatap Pattar dengan mata yang melotot dibuat-buat.

"Dia sahabat gue." Pattar merangkul Hana yang masih kelihatan sewot karena dikira pacar Pattar.

Zai tersenyum dan mengangguk. 



Terima kasih sudah membaca.

ODOC WH BATCH 4 Day 14

11 Oktober 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro