Keping 19

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rencana Zai untuk berangkat ke Lombok pada liburan semester ini terpaksa dibatalkan karena saran dari Tama. Entah mengapa Tama melarangnya untuk pergi ke sana dan ia juga tidak banyak berkomentar mengenai pengawal yang baru pindah ke indekos Zai.

Zai tengah berdiri di depan cermin dan mengamati pantulan dirinya ketika ponselnya berbunyi. Ia langsung mengangkat panggilan itu begitu melihat nama yang tertera di layar.

"Iya, Bang."

"Zaivan, tolong jawab pertanyaan saya dengan jujur." Suara Tama kedengaran sangat serius dan sedikit tegang.

"Tumben, kenapa Bang?" Zai berjalan santai dan meraih jaket yang ada di lemarinya.

"Tentang mimpi yang sering kamu alami, apa saya boleh mendengar detailnya?" Tama jadi kedengaran lebih berhati-hati dan ragu saat mengajukan pertanyaan.

Langkah Zai terhenti. Kepalanya terasa sakit. Tangannya mulai gemetar dan tanpa sadar jaket yang tadinya ia genggam jatuh ke lantai.

"Zaivan, kamu masih dengar suara saya?" Tama bertanya setengah panik.

"Kalau aku cerita, apa Abang mau dengar?"

"Nanti malam saya ke indekos kamu."

"Iya." Zai menjawab dengan singkat dan berniat memutuskan panggilan itu sesegera mungkin.

"Jangan terlalu dipikirkan, Zai."

Zai mengangguk dan memutuskan panggilan itu setelahnya.

***

Zai baru saja masuk ke indekosnya ketika Pattar membuka pintu kamarnya dengan tergesa-gesa.

"Kemana lo?" Zai menatap heran pada rekan satu timnya yang kini masih mengenakan celana bokser namun jaket sudah membalut tubuhnya.

"Lo masih tanya? Gue mau ke rumah Hana. Heran gue, dia itu selalu nggak dengerin omongan gue." Pattar bergerak mengunci pintu kamarnya.

"Lo yakin mau ke rumah Hana dengan pakaian begitu?" Zai menatap sahabatnya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Pattar mengikuti pandangan Zai dan ia merasa tidak ada yang salah dengan dirinya, "Hana baru aja jalan sama Jeff."

"Lo tenangin diri dulu deh. Ngakunya nggak suka. Begitu tahu Hana dipepet Jeff, lo kebakaran jenggot. Lihat deh, lo kayak mau mergokin istri selingkuh tahu nggak. Celana bokser sama sandal belang. Gue baru sadar kalau cinta itu buta bukan kalimat pujangga aja." Zai menggeleng dan melewati Pattar begitu saja. Ia masuk ke bengkel dan tidak menutup pintunya.

"Tumben lo ngomong panjang amat." Pattar jadi malu karena ia baru sadar akan tingkah konyol yang hampir ia lakukan. Pangkat tertinggi untuk hubungannya dan Hana adalah sebatas sahabat, jika lebih mereka akan menjadi saudara. Ia tidak punya hak apapun untuk menghakimi Hana yang baru saja kencan dengan Jeff.

"Lo nggak masuk? Gue mau nyalain AC nih." Kepala Zai menyembul keluar dari pintu bengkel.

"Ntar, gue balikin jaket sama sendal dulu."

"Gitu dong."

Pattar masuk ke bengkel kurang dari lima menit kemudian. Ia langsung merebahkan tubuhnya di sofa panjang.

"Lo sudah telpon Hana?" Zai bertanya sambil sibuk menatap layar laptopnya.

"Dia nggak angkat makanya gue emosi tadi."

"Emosi atau cemburu?" Zai menyentuh ujung kacamatanya dan melirik sekilas.

"Emosi. Mungkin juga cemburu meskipun gue sama Hana saling suka, kami nggak akan bisa sama-sama untuk hal yang romantis." Pattar menghela napas.

"Lo menyerah untuk hal yang sebenarnya bisa lo perjuangkan?" Zai menatap Pattar tajam.

"Gue nggak menyerah, tapi takdir memaksa gue untuk menyerah. Gue sama Hana saudara seperair susuan." Zai ingin tertawa tetapi ia juga prihatin akan kondisi Pattar.

Fakta lain yang ia dapat cukup membuatnya mengkhawatirkan dirinya sendiri. Zai menghela napas dan menutup matanya. Tanpa ia sadari pelan-pelan Jeff semakin dekat dengan dunianya.

***

Zaivan mendapat tugas menjilid laporan pertanggung jawaban dari proyek yang ia kerjakan bersama Pattar. Jangan tanya rekan satu timnya itu ada di mana karena Zai juga tidak tahu. Zai membawa tiga rangkap laporan yang sudah ia pisahkan dengan klip. Begitu tiba di tempat fotokopi, perhatiannya teralihkan oleh seorang gadis dengan rambut panjang yang kelihatan familiar.

"Bang kertas buffalo hijau, sama spidol hitam." Gadis itu mengatakan pesanannya sambil sibuk mencari sesuatu di tasnya.

Setelah memegang kertas hijau ditangannya, gadis itu sibuk memperkirakan sebesar apa tulisan namanya agar name tagnya terlihat proporsional. Sudah tiga kali gadis itu mengganti kertasnya, mulai dari ukuran huruf yang terlalu kecil hingga tulisan tangannya yang terus menanjak. Gadis itu kelihatan hampir frustasi, ia bahkan merutuki aturan pembuatan name tag yang harus ditulis tangan.

"Untuk apa ada komputer dan printer kalau gue harus kesusahan nulis pake tangan." Gadis itu berbicara pelan. Ia mulai mengacak rambutnya. Hal itu membuat Zai tersenyum.

Zai berinisiatif membantu gadis itu dengan membuatkan name tag. Dengan mudah Zai menyelesaikan name tag itu hanya dengan sekali percobaan. Setelah menyerahkan name tag, Zai baru menyadari sesuatu. Gadis itu mengenakan kalung yang sama dengan kalung wanita yang ada di mimpinya. Zai segera pergi dari tempat itu.

"Dek, ini name tagnya." Abang fotokopi menyodorkan name tag dengan tulisan Zareva Virena, 7 Agustus 2002, Kedokteran.

"Proporsinya sempurna, tulisannya sangat rapi dan ...." Reva sibuk mengomentari name tag yang ada di tangannya seolah-olah itu adalah hidangan yang disajikan kontestan Masterchef dan ia adalah salah satu juri yang harus menilai "Ini siapa yang buat?" Reva baru sadar ada keajaiban yang menolongnya.

"Tadi ada anak teknik yang lagi nunggu jilid. Lihat kamu kesusahan dia minta kertas buffalo hijau sama spidol juga." Abang fotokopi tersenyum sekenanya.

"Hah. Anak teknik? Tapi kok dia...." Reva disadarkan oleh mesin fotokopi yang mengeluarkan suara. Sadar waktunya terbatas, Reva buru-buru merapikan tasnya dan memasang name tag.

"Berapa Bang?"

"Sudah dibayar sama anak teknik tadi, Dek."

"Hah?" Reva kembali dibuat takjub. Tapi jika ingin tiba tepat waktu, ia harus buru-buru kembali ke gedung jurusannya sekarang juga. Akhirnya Reva harus menunda rasa penasarannya dan segera pergi dari sana "Terima kasih, Bang."

***

Zai sengaja menunggu di depan teras karena Tama memberitahu kalau ia hampir tiba. Zai tadinya menyarankan agar mereka bertemu di salah satu kafe dekat indekosnya, tetapi Tama langsung menolak dan menyarankan Zai tetap tinggal di indekosnya.

Zai bangkit dari duduknya ketika melihat sebuah mobil mewah memasuki gerbang. Seorang pria dengan setelan jas keluar dari bangku penumpang. Zai dibuat heran dan sempat menduga kalau ayahnya yang datang.

"Selamat malam, Zaivan. Beliau adalah teman saya yang ingin mendengarkan cerita dari mimpimu." Tama memperkenalkan laki-laki yang berdiri di sebelahnya.

"Zaivan." Zai menyambut uluran tangan laki-laki itu.

Setelah mereka duduk di bengkel –Zai memilih bengkel karena di sana ada sofa yang layak untuk menyambut tamu– Zai mulai menceritakan detail mimpinya. Tak lupa ia memberitahu kalau pada setiap mimpinya, ia selalu merasa ketakutan.

Awalnya Zai ragu, tetapi ia tetap menjelaskan kalau ia tidak dapat mengenali semua orang yang ada di mimpinya. Laki-laki tadi memperhatikan setiap cerita yang Zai ungkapkan. Laki-laki itu terdiam dan segera pamit setelah Zai menyelesaikan ceritanya.


Terima kasih sudah membaca.

ODOC WH BATCH 4 Day 19

16 Oktober 2020 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro