Keping 20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Zai tidak mendengar kabar apapun setelah kedatangan Tama minggu lalu. Ia menjalani kehidupannya seperti biasa. Namun, ada hal yang semakin mengganggunya. Selain satu orang pengawal yang kini selalu berada di dekatnya, ia menyadari lebih banyak orang yang terus berjaga di sekitarnya. Ia mulai lelah. Geraknya juga terbatas.

Zai berencana akan berbelanja di salah satu supermarket di dekat kampus dan kebetulan Pattar menolak untuk ikut karena katanya ayahnya akan datang dan membawa segala kebutuhannya. Akhirnya Zai memutuskan untuk pergi sendirian. Langkahnya terhenti ketika laki-laki yang sudah seminggu tinggal di bangunan yang sama menghadangnya di depan puntu utama.

"Anda mau kemana, Tuan Muda?" Laki-laki itu berbisik.

"Sudah gue bilang, jangan panggil tuan muda. Panggil aja Zai. Kalau orang lain dengar gimana?" Zai melanjutkan langkahnya dan meninggalkan laki-laki tadi sendirian.

"Saya akan mendampingi Anda, Tuan Muda."

Zai menghela napas panjang. Ia bertanya-tanya apa bedanya kondisi saat ini dengan ia tinggal di rumah keluarga Arkanayaka, "Jaga jarak! Jarak terdekat adalah 3 meter. Gue nggak mau lo mengikuti gue dari jarak dekat."

"Siap, Tuan Muda."

Zai menyusuri lorong-lorong yang ada di supermarket tersebut. Berjalan-jalan sambil berbelanja juga mampu membuat perasaannya jadi senang. Ia menyusuri lorong susu kemasan. Ia menyentuh satu merek yang selalu ia minum, kemudian memasukkannya dalam keranjang.

Ketika tiba di lorong yang memajang tisu dan pembalut wanita, Zai melihat seorang gadis yang sedang kesulitan untuk meraih sebuah pembalut yang ada di ujung pada rak paling atas. Tadinya ia ingin membantu, tetapi akhirnya Zai pura-pura tidak melihat dan melewati gadis itu begitu saja.

"Oy, bucing."

Entah mengapa Zai malah menoleh ke sumber suara. Sepertinya ia mengenali suara itu.

"Tolongin gue dong. Lo kan lebih tinggi, ambilin itu." Gadis itu meminta tolong dan menunjuk barang yang diinginkannya.

Zai menghela napas kemudian meraih benda yang diinginkan gadis tadi. Gadis itu tersenyum dan memasukkan benda itu ke keranjangnya. Zai bisa melihat ada sebungkus makanan kucing berukuran sedang yang ada di keranjang itu.

"Lo suka kucing?"

"Lo nggak ingat ketemu gue di pelataran teknik minggu lalu? Gue emang suka kucing." Gadis tadi terperangah karena Zai tidak mengenalinya.

Mata Zai bergetar. Ia baru ingat ketika ia melihat kalung yang menggantung di leher gadis itu.

"Sorry, gue duluan." Zai segera beranjak dari tempat itu. Ia berjalan menuju kasir dan segera meninggalkan supermarket itu.

***

Zai segera mengunci kamarnya dan menelepon Tama. Ia gusar. Kepalanya dipenuhi banyak pertanyaan. Tangannya mulai bergetar saat Tama tak kunjung mengangkat teleponnya. Ia sontak berdiri dari duduknya ketika ada suara yang menjawab panggilannya.

"Bang, gue ketemu sama cewe dengan kalung itu lagi." Zai terburu-buru menyampaikan maksudnya.

"Zaivan, kamu harus tenang dulu. Bisa jelaskan dengan detail apa yang kamu ingat?"

"Kalung yang muncul di mimpi gue sama persis sama kalung seorang cewe. Kayaknya anak Jatayu juga. Sudah dua kali gue ketemu dia di dekat Jatayu."

"Oke. Jadi kamu sudah kenalan sama cewe itu? Atau saya perlu melakukan pemeriksaan latar belakang?"

"Belum. Yang gue ingat, tingginya sekitar 170 cm dan rambutnya panjang hingga pinggang."

"Ada detail lain?"

"Dia kelihatan tomboi dan suka kucing."

"Saya akan melakukan pemeriksaan latar belakangnya. Untuk saat ini, saya akan mencari gadis itu dan mencari tahu hubungan gadis itu dengan kalung yang ia kenakan."

"Terima kasih, Bang. Gue pasti akan membayar lo untuk ini."

Hening menyapa sambungan telepon itu selama sepuluh detik hingga Tama mengajukan sebuah pertanyaan, "Kalau boleh saya tahu, apa kamu sudah bertemu dengan Jefffry Narendra?"

Zai tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Namun, akhirnya ia menjawabnya singkat, "Sudah."

"Apa kamu sudah mendengar kabar kalau ayahnya berniat akan mengakuisisi beberapa hotel milik keluarga Arkanayaka?"

Zai kembali terdiam. Kepalanya mulai mencerna berbagai informasi yang ia terima, "Apa karena ini makanya penjagaan gue diperketat. Lagi-lagi masalah kekayaan. Apa mereka nggak peduli kalau saat ini mereka lagi bertarung diatas nyawa orang lain?"

"Untuk beberapa saat ke depan, kurangi waktu berada di luar dan jaga dirimu baik-baik."

Zai tidak menjawab. Secara tiba-tiba ia memutuskan sambungan telepon. Zai melemparkan ponselnya ke atas ranjang. Ia meremas dan menarik rambutnya frustasi.

***

Malam itu, Zai memilih untuk tidak tidur. Ia membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Beberapa gelembung berhasil tercipta dari tiupannya. Tanpa ada pemberitahuan lebih dahulu, pintu kamarnya dibuka paksa. Lima orang berpakaian rapi berdiri di depan pintunya.

"Tuan Muda, Anda diperintahkan untuk kembali ke rumah Arkanyaka."

Zai mengabaikan seruan dari pria yang mengenakan jas di hadapannya. Ia malah sibuk meniup gelembungnya.

"Kalau Anda tidak bisa bekerja sama, kami diizinkan untuk membawa Anda secara paksa."

Bibir Zai menyungging. Ia menutup botol gelembungnya dan memasukkan botol kecil itu ke dalam saku. Zai mengambil jaket dan mengenakan sepatunya.

"Gue akan ikut dengan sukarela."

Setelah satu tahun, ini adalah kali pertama Zai menginjakkan kakinya di rumah keluarga Arkanayaka. Ia menatap foto yang masih terpajang dengan apik. Secara alami ia berjalan menuju ruangan ayahnya.

"Zaivan Oktora, bagaimana dengan kehidupan biasamu? Sudah puas?" Ayah Zai bertanya dengan nada mengejek.

Zai membalas pertanyaan itu dengan senyuman, "Hidup saya sangat bahagia tanpa Anda."

Ayah Zai terdiam sejenak kemudian membisikkan sesuatu pada asistennya.

"Tuan Harsa meminta seluruh pengawal untuk meninggalkan tempat ini." Asisten ayah Zai berbicara menyampaikan perintah.

Setelah semua pengawal meninggalkan ruangan, hanya tersisa tiga orang di sana yaitu Zai, ayahnya dan asisten ayahnya.

"Kapan kamu akan pulang?"

"Saya sudah pulang satu tahun lalu. Kehidupan saya bukan di tempat ini."

"Kamu kira kamu bisa bertahan di luar sana tanpa bantuan? Sadar Zaivan. Darimana semua uang yang kamu dapatkan sebelumnya?"

"Itu bukan urusan Anda."

"Semua yang kamu punya saat ini adalah salah satu kerja dari staf ahli keluarga Arkanayaka. Kamu bisa diterima dengan mudah di kampus dan tempat kerjamu, apa kamu pikir itu hasil usahamu?"

Tangan Zai terkepal kuat hingga buku jarinya memutih. Matanya memerah. Wajahnya pun turut berubah warna menjadi merah. Ia tidak pernah menduga kalau semua usahanya selama ini telah dicampuri oleh ayahnya sendiri.

"Anda tidak perlu repot-repot. Saya bisa mengurus diri saya sendiri." Zai berusaha menahan amarahnya.

"Maksud kamu dengan bantuan Naratama?"

Zai melirik asisten ayah Zai dan melihat tatapan prihatin dari mata pria paruh baya itu.

"Bang Tama nggak ada hubungannya sama masalah ini."

"Kamu pikir saya tidak tahu kalau kamu meminta Tama untuk melakukan penyelidikan?"

Zai terdiam. Kepalan tangannya menguat. Emosinya sudah mencapai ubun-ubun.

"Apa Anda tahu nama pengawal yang tewas minggu lalu?" Zai bertanya tanpa mengurai kepalan tangannya.

"Itu memang sudah tugasnya. Tidak ada yang perlu dibicarakan. Sekarang, masuk ke kamarmu!"

Zai menolak untuk kembali ke kamarnya. Ia malah melangkah ke arah pintu keluar. Langkahnya dihalangi oleh beberapa pengawal. Tanpa berpikir panjang, Zai menyingkirkan orang-orang yang menghalangi jalannya. Ia tetap pulang ke indekos meski dengan tubuh yang penuh dengan memar.


Terima kasih sudah membaca.

ODOC WH BATCH 4 Day 20

17 Oktober 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro