Keping 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bangunan sekolah perpaduan Indonesia dan Eropa itu tidak pernah gagal membuat kagum. Pilar-pilar besar di pintu masuk jadi salah satu ciri khasnya. Beberapa patung artistik juga menghiasi taman dengan kolam mancur yang menjadi pusatnya.

Tidak hanya bangunan yang menarik, penampilan para penghuni sekolah juga kerap menjadi perhatian. Guru yang mengajar di sekolah ini kebanyakan masih berusia muda dan merupakan lulusan terbaik dari universitas ternama.

Guru-guru di sana biasa mengenakan setelan lengkap dari merek terkenal. Tidak seperti kebanyakan sekolah yang hanya memiliki dua atau tiga jenis seragam, siswa di sekolah ini memiliki seragam yang berbeda setiap harinya.

Zai dan asistennya berjalan melalui jembatan penghubung dari gedung F ke gedung E. Zai masuk ke kelas yang seluruh kursinya hampir terisi penuh. Beberapa dari mereka berpenampilan rapi dengan setelan jas almamater yang terpasang, tetapi ada juga yang malah menyampirkan jas almamater di kursi yang diduduki, seperti Jeff contohnya.

Satu hal yang sangat Zai sukai dari sekolah adalah asisten dan pengawalnya tidak perlu berada di dekatnya saat ia ada di kelas. Untuk beberapa alasan, Zai merasa bebas. Meskipun hal itu tidak sepenuhnya benar karena pada kenyataannya sang asisten masih berdiri di depan pintu kelas.

"Jeff, maaf buat yang tadi." Zai berbicara begitu ia duduk di kursinya.

"Lo nggak perlu minta maaf. Gue ngerti kok." Laki-laki dengan lesung pipi itu tersenyum.

"Lo jadi dikasih supir?" Zai melirik pada kunci mobil yang ada di atas meja Jeff.

"Nggak. Gue menolak dengan keras. Gue nggak suka mobil gue dipakai orang lain."

"Enaknya jadi lo yang nggak perlu dikawal kemana-mana." Zai menghela napas pelan sambil merebahkan kepalanya di meja.

"Ini semua dilakukan demi kebaikan Anda, Tuan Muda." Jeff sengaja berbicara dengan suara yang dibuat-buat. Ia tengah meniru asisten pribadi Zai.

"Kebaikan yang mana? Gue nggak merasa ini benar. Ada atau nggak adanya gue sebenarnya nggak berpengaruh sama bisnis keluarga."

"Ingat, kamu pewaris tunggal di keluarga Arkanayaka." Kini Jeff mencoba meniru Ayah Zai.

"Seandainya gue nggak ada. Mungkin lo yang akan ada di posisi ini."

"Untuk keberadaan lo, gue berterima kasih." Jeff tertawa kecil seraya meledek.

***

Sekolah elit ini juga punya kafetaria yang berkelas. Makanan yang disajikan berasal dari dapur koki ternama. Beberapa menunya adalah modifikasi dari menu Asia dan Eropa. Zai duduk di meja yang sama dengan Jeff, asisten serta keempat pengawalnya berdiri tidak jauh dari meja mereka.

"Coba lo lihat tuh si Zai, dari dulu gayanya sok pangeran banget." Seseorang yang duduk di seberang Zai berkata sambil membuka botol minumannya.

"Waktu SMP sih nggak sebanyak itu pengawalnya. Sejak SMA penjagaannya jadi lebih ketat." Seorang anak yang ada di sebelahnya menyahut mencoba menjelaskan.

"Lebay banget."

Jeff berhenti menyendok makanan di piringnya. Ia menoleh ke arah meja yang sedang sibuk bergosip.

"Jeff, stop it." Zai menggeleng pelan.

Jeff meletakkan sendoknya dan matanya masih menatap sinis ke arah meja seberang.

"Lo nggak perlu marah untuk apa yang mereka bilang, toh semuanya benar."

"Meskipun benar, mereka seharusnya nggak ngomongin lo di belakang."

"Mereka punya hak untuk berpendapat. Meskipun itu mengenai kehidupan gue."

"Gue nggak habis pikir sama bokap lo. Nggak cukup apa lo dikasih asisten pribadi. Sekarang malah pake bodyguard segala." Dengan santai Jeff mengambil susu kemasan yang ada di depan Zai.

"Heh, punya gue." Spontan Zai berseru heboh hingga seisi ruang kafetaria mampu mendengarnya.

"Pelit amat sama saudara sendiri." Jeff tersenyum dan menaik turunkan alisnya.

Pria berjas dengan sapu tangan merah mendekat dan mengajukan satu pertanyaan default, "Ada yang bisa saya bantu, Tuan Muda?"

"Nggak ada." Zai mendengus setelahnya.

Zai tersenyum saat melihat Jeff lengah, ia merebut kembali susu kemasan yang isinya mungkin tinggal setengah. Ia tahu kalau Jeff tengah berusaha memperbaiki mood-nya.

Ia baru hendak mengarahkan benda berbentuk kotak itu ke mulutnya saat sebuah tangan menghentikannya, "Maaf, Tuan Muda. Jika Anda menginginkan susu, lebih baik minum susu yang belum terbuka." Pria itu menyodorkan satu susu kemasan baru.

"Aku mau minum susu ini." Zai menatap asistennya dengan sinis.

"Maaf, Tuan Muda. Sebaiknya ... "

Zai menghentakkan tangannya ke meja, bahkan Jeff dibuat terkejut. Tanpa mengatakan apapun, Zai beranjak dari tempat duduknya.

***


"Jangan ikuti saya!" Zai berseru kesal.

"Lima menit lagi kelas selanjutnya akan dimulai, sebaiknya Tuan Muda kembali ke kelas."

"Jangan ikuti saya!" Untuk pertama kalinya Zai membentak asistennya. Ia masuk ke ruang ekstrakulikuler dan mengunci pintunya.

Zai benar-benar kesal. Hidupnya sudah seperti penjara. Ia tidak bisa melakukan apapun yang ia inginkan. Ia menarik napas panjang dan berusaha kembali tenang. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah botol kecil dari sana.

Zai berjalan ke sudut ruangan. Ia membuka jendela lebar-lebar. Ia menatap botol kecil itu kemudian membuka tutupnya dan meniup batang yang tercelup dalam cairan berwarna biru. Beberapa gelembung sabun tercipta dari gerakan yang ia lakukan. Gelembung-gelembung itu membawa kenangan lamanya kembali.

"Zai, kamu harus jadi anak baik ya. Paman yang tadi pagi kamu tabrak itu adalah ayahmu." Bunda mengusap puncak kepala Zai.

"Jadi Zai mau diadopsi ya, Bun?"

"Enggak sayang. Kamu beruntung karena ayah kamu datang menjemput. Paman tadi itu ayah kandung kamu. Dia datang jauh-jauh ke sini untuk bawa kamu pulang."

"Itu ayahnya Zai?"

"Iya, sayang. Makanya, kamu harus janji sama Bunda. Jadi anak baik ya?"

Zai mengangguk semangat. Ia memeluk wanita yang sudah merawatnya sejak kecil.

Zai merindukan Bunda. Ia tidak pernah mendapat kesempatan untuk menemui Bunda setelah menginjak rumah keluarga Arkanayaka.

Setelah puas bermain gelembung, Zai memilih untuk tidur di sofa. Seumur hidupnya, ini adalah pertama kalinya ia bolos sekolah. Meskipun ia tahu kalau ia bolos, ia tidak akan mendapat hukuman karena secara teknis sekolah ini adalah milik keluarganya.

Zai baru saja menutup mata ketika ponselnya berbunyi. Zai tersenyum setelah melihat sebaris nama yang muncul di layar.

"Zaivan!"

Zai menjauhan ponselnya dari telinga. "Bukan begitu caranya menyapa setelah setengah tahun."

"Buka pintunya sekarang atau pintu ruangan kesayanganmu akan dihancurkan." Suara penuh emosi itu berteriak saat betbicara.

"Oh, jadi begini caranya supaya ditelepon oleh seorang Harsa Arkanayaka yang terkenal sibuk itu." Zai menjawab sarkas.

"Jaga kata-kata kamu. Siapa yang mengajari kamu sampai berani bertingkah seperti ini?" Nada suaranya masih dipenuhi kemarahan.

Zaivan tertawa, "Siapa lagi? Satu-satunya orang yang saya kenal baik adalah Anda."

"Zaivan!"

Bukannya takut, Zai malah tersenyum.

"Kamu tahu, saya tidak pernah bermain-main dengan apa yang saya katakan. Kalau kamu masih bertingkah seperti ini, saya akan menambah penjagaanmu dua kali lipat."

Zai berjalan menuju pintu dan membukanya dengan kasar. "Pintunya sudah saya buka. Puas?"

"Jangan membuat masalah. Ingat kamu adalah ..."

"Pewaris tunggal dari keluarga Arkanayaka." Zai meneruskan kata-kata ayahnya sambil menatap sinis pada asistennya. Ia langsung memutuskan sambungan telepon setelahnya/

"Maaf, Tuan Muda. Saya melapor karena Anda tidak mengizinkan saya masuk." Asisten Zai menunduk dan merasa bersalah.

"Terima kasih, setidaknya karena itu saya bisa mendengar suaranya." Zai tersenyum hingga matanya membentuk bulan sabit.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro