🦄19. Curhat Sahabat🦄

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai, Deers, Gendhis dan Belud datang lagi😘 Semoga ada yang masih menanti cerita ini. Kuy, kasih vote n komennya😊

Gendhis berurai air mata ketika mendengar setiap kata yang terlontar dari bibir Lud. Bagaimana bisa lelaki itu mengatakan hal yang jahat seperti itu? Padahal perasaannya pada Lud sangat tulus.

Gendhis hanya bisa terpaku di tempat. Bibirnya digigit erat menyembunyikan isakan dengan tangan mengepal kuat hingga buku jari memutih. 

Beberapa detik kemudian, derik pintu terdengar di ruangan, menguak sosok Lud yang terperangah mendapati Gendhis ada di kamar. Ia tak memperhatikan ada sepatu Gendhis di rak sepatu.

“Ndhis ….” Lidah Lud tercekat saat ia menatap Gendhis yang sudah bergetar badannya.

Lud melangkah maju, tetapi Gendhis justru mundur satu langkah. 

“Ndhis,” panggil Lud lagi dengan wajah yang diselubungi oleh ekspresi bersalah. Ia mencoba melangkah maju lagi, tetapi Gendhis justru menghindar mundur hingga kakinya menubruk ranjang. Ia pun terduduk.

“Ndhis ….”

Gendhis menggeleng dengan tatapan nanar. “Jangan mendekat! Please, jangan mendekat.”

“Ndhis, ini bukan seperti yang kamu kira,” kata Lud perlahan maju.

“Mas kira aku budeg apa? Aku dengar aku hanyalah gadis undian. Bayangin Mas … ga-dis un-di-an! Selama ini aku mikir, Mas Lud memang berusaha mencari gadis untuk menjadi pendamping hidup Mas Lud. Setelah memikirkan matang-matang resiko dan untung ruginya, walau awalnya coba-coba, tapi paling tidak aku percaya Mas Lud pasti memilih aku karena banyak pertimbangan. Nyatanya, aku hanyalah gadis undian! Tebak-tebak, dengan mata tertutup, dan hati tertutup, jadilah aku yang terambil! Aku bukan nomer undian, Mas! Aku punya hati!” Suara Gendhis meninggi, mengundang Jati untuk melongok ke arah kamar.

Wajah teman Lud sontak memucat saat mendapati wajah berang Gendhis yang sudah memerah. 

“Bukan seperti yang kamu—” Lud berusaha menerangkan.

“Sekarang aku tanya. Betulkan aku gadis undian?” Lud hanya terdiam. “Jawab, Mas!” sergah Gendhis dengan nada meninggi.

“Iya, betul.”

Jawaban Lud membuat hati Gendhis tertusuk-tusuk. Tangisnya pecah, membuat Lud semakin kalut.

“Ndhis, jangan begini ….”

“Mas, apa Mas menyayangiku?” tanya Gendhis kemudian.

Lud hanya diam. Tak dapat menjawab. “Mas … jawab,” pinta Gendhis hampir bernada mengemis.

“Ndhis, kamu tahu ‘kan awal aku mengajakmu pacaran karena ingin mengenalkan sama kedua orangtuaku. Harapanku mereka tidak menyetujui. Kamu juga tahu kalau aku jujur mengatakan memanfaatkanmu dan ke depannya kamu tetap menjadi alat untuk melahirkan keturunan Keandra. Kamu tahu itu ….”

Gendhis tergugu. Ia menggeleng. “Aku percaya sama kamu, Mas. Saat itu kamu memilihku, karena tidak ada gadis lain. Karena aku memang layak untuk dipertimbangkan. Dan, aku pikir aku bisa menggetarkan hatimu. Nyatanya … semua perhatianmu palsu dan kamu tetaplah menganggap aku gadis undian yang bisa dimanfaatkan tanpa berusaha untuk disayangi.”

“Ndhis, jangan membuatku seperti orang jahat. Aku sudah berterus terang sejak awal.” Punggung Lud melengkung karena terbebani oleh ekspresi sendu Gendhis.

“Salahkah aku bila aku pengen Mas Lud sayang sama aku? Aku … aku sayang banget sama kamu. Tapi nyatanya ….” Gendhis bangkit. “Sudahlah. Aku harus pulang.”

“Aku antar,” kata Lud buru-buru.

Gendhis menggeleng. “Nggak usah. Terima kasih. Sebaiknya kita putus.” Gendhis melangkah lunglai ke arah jendela. Dibukanya jendela kemudian ia melepas cincin yang melingkar di jemari kirinya. 

“Selamat tinggal, Lud Keandra! Aku membebaskanmu.” Gadis itu melempar kuat cincin yang mengikatnya dengan lelaki berwajah oriental yang sangat ia sayangi. 

“Gendhis!” Mata Lud membeliak saat cincin dengan mata berlian itu dilempar Gendhis dari jendela kamar lantai tujuh.

Gendhis berbalik. “Selamat tinggal, Mas. Semoga bahagia.” Dengan memeluk tas. Isakan Gendhis masih tersisa, dengan dada yang terasa sesak.

***

Lud tidak mengejar. Gendhis tahu bahwa ia mungkin tak layak dipertahankan. Hingga ia mencapai lobby apartemen, sosok Lud tak juga menggapainya.

“Gendhis, semangat! Bukannya kamu terbiasa ditolak!” Gadis itu berusaha tersenyum.

Gendhis merasa ia seperti Pungguk merindukan Bulan. Bagi Gendhis, Lud seperti bintang di langit yang hanya bisa ia pandang dari jendela kamar kontrakan. Kini bintang itu lenyap dari pandangan. Ia harus berhenti bermimpi. 

Walau ia melangkah seperti siput, tetapi derap kaki Lud sama sekali tak terdengar di belakang. Sungguh, dia memang terlalu banyak menonton drama Korea di mana saat sang tokoh utama perempuan patah hati, si cowok akan berlari menggapainya.

Ternyata itu hanya dalam khayalan penulis skenario yang ingin menjual mimpi pada semua gadis yang suka berimajinasi. Nyatanya, Gendhis kini berjalan sendiri di seputaran area Babarsari. Walau hati Gendhis tercabik, ia harus bisa melanjutkan hidup. 

Gadis itu mendesah. Langit sudah mulai gelap, tapi ia masih memilih berjalan untuk menetralkan gejolak batinnya. Setidaknya ia tidak kesepian di pinggir jalan yang ramai dengan lalu lalang motor serta mobil.

Walau tak lagi menitikkan bulir bening, tapi mata Gendhis masih sembab dan kemerahan. Otaknya juga semrawut saat Lud membalikkan kemarahan. Ya, seharusnya gadis itu tak perlu berharap, karena sejak awal mula ia sudah tahu bahwa Lud hanya memanfaatkan dia.

Namun, Gendhis lupa. Ia terlalu larut dalam euforia karena didukung oleh keluarga Lud. Dan kini yang tersisa hanya kekecewaan dan kesedihan.

“Memang, orang jelek tidak boleh bersanding dengan orang ganteng.” Gendhis mendengkus. Tangannya sibuk terulur mempermainkan pohon hias yang berjajar di sepanjang trotoar.

Rasanya ia ingin pulang ke Solo, memeluk mama serta papanya. Tapi, tugas kuliah yang menumpuk, membuat Gendhis harus bisa menahan diri agar tidak kalah meraih cita-citanya.

Urusan cinta bolehlah gagal. Tapi soal cita-cita, Gendhis tak boleh mengecewakan orang tuanya.

Setelah embusan angin yang menyapu wajah eksotisnya berhasil mengusir gundahnya, maka ia pun bergegas memesan ojek online untuk pulang ke kontrakan. Begitu sampai di rumah, Gendhis langsung naik ke kamar. Ia tidak ingin ketahuan patah hati beberapa minggu setelah lamaran.

Gendhis mengembuskan napas kasar. Benar kata orang tuanya, sebaiknya ia tidak terburu-buru menyanggupi lamaran keluarga Lud. Yang ingin menikah bukan Lud sendiri, melainkan keluarganya. Mengingat ekspresi Lud yang hanya datar saat bersamanya,  Gendhis baru menyadari betapa naif dirinya.

Kepada siapa dia harus bercerita? Mama Gempi, Papa Dimas atau Kumbang? Adakah dari ketiganya yang tahu perasaan Gendhis sekarang?

Mungkin hanya Clary yang bakal tidak paham, tapi ia tidak pernah mengolok Gendhis. Setidaknya Clary akan menjadi pendengar yang baik saat ia ingin menumpahkan uneg-uneg.

Setelah Gendhis mandi malam itu, ia bergegas menuju ke rumah Clary. Melihat lampu yang masih menyala, Clary pasti belum tidur. Urusan mengerjakan tugas, bisa dilakukan setelah penat hati Gendhis terurai.

***
Gendhis langsung mengetuk rumah Clary. Beruntung Tante Sukma tak kelihatan malam itu. Begitu Clary membuka pintu, Gendhis disuguhi wajah kusut dengan mata yang sembab.

"Ndhisss!" Clary langsung mewek.

"Kamu kenapa, Cla?" Gendhis mengernyitkan alis. Riwayat curhatnya gagal karena keduluan meweknya Clary nih.

"Aku ... aku dari rumah Iyud. Selidiki dia …." Clary masih sesenggukan. Dia menarik tangan Gendhis untuk duduk di kursi tamu.

Melihat toples nastar di meja, Gendhis meraih dan membukanya. "Trus?"

"Terus ... terus ternyata dia baru pelukan  sama Rika, Ndhiiiis." Walau Clary terisak, matanya masih melihat Gendhis membuka toples tester nastarnya. 

"Oh ...." Reaksi Gendhis datar sambil mengunyah nastar. Ternyata tak hanya dia yang menderita. "Dasar lelaki, ya! Minta disunat habis mereka!" Gendhis meluapkan jengkelnya.

Clary mengerjap. "Kok disunat habis. Ntar kayak Khandra dong?"

"Mandra?" Alis Gendhis mengernyit.b"Emang Mandra disunat habis? Aku kok liat infotainmentnya?" Virus lola Clary mulai bereaksi di otak Gendhis.

"Ada tuuuh di koran Jatim. Anunya dipotong sama psikopat," jawab Clary. Dia tidak paham bahwa orang yang mereka bicarakan berbeda.

"Ya ampun?" Gendhis bergidik geli. Padahal bayangan Gendhis adalah Mandra, artis ibukota. "Tapi, Cla, kenapa kamu sedih. Kamu aja juga ada apa-apanya sama Damai 'kan? Kalau aku udah setia sama Lud, eh, dia yang bilang aku ini ngrepotinlah, ceroboh lah, yang ini, yang itu ... ngeselin nggak sih?"

"Mas Damai 'kan udah pindah ke Jakarta, Ndhis."

"Oh," Gendhis benar-benar tidak tahu, karena sejak ia mendengar Takte Sukma memarahi Clary, ia mengira Clary benar-benar selingkuh. "Trus, kamu mau putus gitu, Cla?"

"Tadi pas aku lihat mereka pelukan aku langsung bilang  'Kita putus!' gitu." Wajah kusut Clary semakin tampak.

"Aseeekkk. Kita kok sehati sih Clary. Aku juga bilang, 'Kita putus. Selamat tinggal Lud Keandra.' Trus, cincinnya aku buang dari jendela kamarnya." Mata Gendhis berbinar mendapati ada temen senasib. 

"Cincin kamu buang? Coba dikasih aku aja. mayan harganya, Ndhis." Mata Clary membeliak.

"Ck,ck,ck ... Cla, Cla ..." Gendhis menggoyang telunjuk ke depan wajah Cla. "Jadi orang itu jangan apa-apa melihat materi. Biar kata cincin itu mahal, tapi hatiku lebih berharga, Cla. Kamu enak, Cla. Begitu putus, bisa dapat lagi. Lha aku?"

"Aku ga dapat siapa-siapa kok. Tapi kamu kan dapat nastar satu toples." Mata Clary nanar menatap toples nastar yang  kosong.

"Masa kamu berhitung dengan sahabat baikmu hanya krn aku habisin nastar?" protes Gendhis. Ia berkelit, takut tiba-tiba dapat tagihan nastar karena tidak sadar menghabiskan setoples nastar yang bisa mengobati rasa sedihnya. 

"Nastarmu ini cocoknya dikasih nama 'nastar patah hati'. Cocok buat ngobatin patah hati." Gendhis mengalihkan fokus Clary dari toplesnya

"Oh, gitu? Ntar siapa yang beli klo namanya patah hati? Oh, iya. kamu datang cuma mau nyobain nastar? Atau mau pesen buat mertua? aku ada jenis baru loh."

Ya, taktik jitu Gendhis berkelit sukses. 

"Aku mau curhat. Tapi kayanya kamu lebih sedih dari aku. Yang jelas, aku putus sama Lud. Tapi nastarmu udah bisa mengobati sedihku."

"Putus beneran apa ntar nyambung lagi?" Clary tak percaya curhatan Gendhis, karena ia tahu sahabatnya sudah menjadi bucin Lud.

"Entahlah. Cincinnya udah aku buang kan?" Gendhis meringis. "Tahu nggak sih harga cincin itu?"

Clary diam. "Enggak."

"Dua puluh juta." Gendhis terkikik seperti orang gila menyadari kebodohannya. "Parah kan aku? Gimana mau nyambung?" Gendhis mengembuskan napas pasrah

Mata Clary melebar. "Kamu buang dimana?" 

"Di halaman apartemen Lud. Tapi, Cla, sepertinya kami belum berjodoh. Aku insecure tiap kali barengan Mas Lud. Masa aku dihantui perasaan kaya gitu seumur hidup. Kecuali ...."

Gendhis diam sejenak. "Dia datang, dan menyatakan cinta sama aku."

💕Dee_ane💕

Mampir di kisah Clary "Sang Jomlo Dadakan" furadantin nataliafuradantin




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro