🦄20. Sang Jomlo Legend🦄

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Menyatakan cinta?

Gendhis mendesah. Rasanya tak mungkin Lud akan datang dan menyatakan cinta padanya. Terbukti sudah beberapa hari Lud tidak menampakkan batang hidung. Walau Gendhis patah hati, tetap saja ia harus melakukan tugas sebagai seorang mahasiswa semester lima.

Di semester lima ini, ia sudah memasuki masa skill lab. Di tahap ini, Gendhis harus belajar merawat gigi yang ditanam di cetakan. Mahasiswa semester lima akan mengikuti 2 skill lab yaitu Konservasi gigi dan periodonsia serta 1 praktikum Teknologi Kedokteran Gigi.

Sudah menjadi kebiasaan bagi para mahasiswa yang sudah menjalani masa co-ass untuk mencari kasus yang dipersyaratkan. Sesuai janji Gendhis pada Albert untuk mencarikan pasien, maka Gendhis mendatangkan Tante Suwi yang gadis itu yakin akan banyak mendatangkan rejeki nilai bagi kakak kelasnya.

Siang ini, Gendhis sudah menjemput Tante Suwi dengan motor matic merah. Sungguh suatu hal yang sangat menyusahkan saat Gendhis harus memboncengkan wanita tambun itu. Ia seperti membawa buldozer di belakang motor. Lengan langsingnya berkontraksi maksimal menahan beban berat di belakang.

Berulang kali Gendhis merutuk Albert yang enggan menjemput Tante Suwi dengan alasan lelaki itu ada janjian dengan pasien lain. Mau tak mau, karena Gendhis sudah berjanji pada sang kakak kelas dan siang itu jadwalnya kosong ia pun menjemput mama tiri Clary.

"Ndhis, kalau naik motor yang bener! Kamu boncengin mamanya orang. Gimana kalau Clary jadi yatim piatu?" sergah Tante Suwi keras. Bau mulut yang diembuskan oleh angin tertangkap oleh hidung Gendhis membuat kepala pening.

"Tenang aja. Tante duduk yang manis, nggak usah banyak bicara!" seru Gendhis. Kepalanya sedikit menoleh, sementara matanya masih melirik ke arah depan mencermati jalanan.

Atau aku bisa pingsan karena napas nagamu, Nte.

Tante Suwi mendengkus. Gendhis membayangkan dengkusannya serupa naga yang mengeluarkan uap dari lubang hidung.

"Habis cara mengendarai motor mengerikan, Ndhis!" celetuk Tante Suwi.

"Tenang, Nte. Ndhis udah punya SIM. Lagian kalau Tante jatuh nggak bakalan fraktur. Bantalnya kan dibawa ke mana-mana," kata Gendhis terkikik.

"Hush, ngawur kamu. Bukan bantal, tapi kasur!" Tawa Tante Suwi menggelegar membuat Gendhis semakin kewalahan mengendalikan motor yang berguncang hebat.

Tak lama kemudian, ia sudah sampai di Rumah Sakit Gigi dan Mulut. Ia menemui Kai, kakak tingkat yang meminta tolong pada Albert.

"Mbak, ini pasiennya. Namanya Tante Sukma." Gendhis terengah mendapati Kai yang sudah menunggu dengan gelisah di depan tempat pendaftaran. "Tante. Ini Mbak Kai yang akan merawat Tante."

"Wah, ayu ne. Pasti gigiku jadi ayu kaya yang merawat," puji Tante Suwi girang. Lemak di perutnya bergoyang-goyang tiap kali ia tertawa.

"Saya Kai, Tante. Saya sudah daftarkan. Tinggal masuk ke bagian screening. Nanti Tante kasih tahu aja keluhannya mau nambal gigi. Pasiennya Seraphim Kartika, ya." Kai memberi instruksi.

Tante Suwi mengangguk-angguk.

Gendhis mendekati Kai, sambil berbisik, " Mbak, jadi 'kan saya asisteni? Sesuai janji Albert dulu."

Kai mengernyit sambil menggigit bibir. Kai tahu kebiasaan buruk Gendhis yang ceroboh karena sering dimarahi dosen. Entah karena salah ruangan praktikum, atau salah kostum. Dan terakhir ia dimarahi dosen karena terlambat dan melamun saat diskusi Bedah Mulut.

"Ndhis, kita udah nggak preklinik lagi loh. Mbak nggak mau pasien Mbak kabur karena kamu ceroboh," kata Kai sambil menyipitkan mata kucingnya.

"Iya, Mbak. Aku ngerti. Tenang aja." Gendhis meyakinkan dengan mantap.

Gendhis tersenyum lega. Setidaknya jam kosong siang ini, ia harus mengisi dengan hal yang berguna. Ia tidak mau hanya diam merenungi Lud yang tak kunjung datang. Rupanya Gendhis harus memupus harapan. Lebih baik ia mengisi waktu untuk hal berguna daripada memikirkan orang yang tak memikirkannya.

Namun, tetap saja, pikiran Gendhis melayang-layang. Kai sempat kesal saat gadis itu lamban dalam mengasisteninya.

"Cotton pellet basahi alkohol, ya, Ndhis. Aku mau bersihin cavitas." Suara Kai teredam di balik masker.

Namun, bukannya Gendhis mengambilkan bola kapas kecil, gadis itu justru mengulurkan gulung kapas. Saat pinset yang menjepit cotton roll terulur, mata Kai membulat.

"Gendhis, bukan cotton roll, tapi cotton pellet!" Kai membelalak menegaskan maksudnya.

Gendhis terkesiap. Otaknya saat itu memikirkan apa yang sedang dikerjakan Lud. Ia hanya mendengar kata 'cotton' saja tidak memperhatikan lanjutannya.

"Maaf, Mbak." Cengiran Gendhis tak terlihat karena tertutup di bawah masker. Ia segera melakukan apa yang diinstruksikan oleh Kai.

Kai hanya mendesah panjang. Bagaimana bisa anak seceroboh Gendhis mengambil jurusan kuliah yang membutuhkan ketelitian dan ketekunan yang tinggi.

Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore saat ia dan Tante Suwi keluar dari halaman kampus. Wajah Gendhis kusut karena ia beberapa kali disemprot oleh kakak tingkat bermata kucing itu. Namun, setidaknya Kai tidak kapok bila Gendhis menjadi asistennya lagi, karena ia menantikan kedatangan gadis itu pada praktikum minggu depan. Sedang Tante Suwi yang kapok dibonceng oleh Gendhis. Ia mengadu pada Kai, dan mengancam tidak akan kontrol lagi bila Kai tidak mengantar pulang dengan taksi online.

Setelah Tante Suwi berlalu dengan taksi onlinenya, tinggallah Gendhis sendiri di kampus yang masih terdapat beberapa lalu lalang mahasiswa. Ia memutuskan untuk segera pulang. Namun, yang terjadi, bukannya ia mengambil jalan ke arah jalan Paingan, tetapi ia justru mengemudikan stang motor menuju ke arah kampus Lud.

"Ya Tuhan, kenapa aku ke sini?" desah Gendhis kesal.

Melewati foodcourt di dekat kampus Lud, ia pun berbelok untuk mengisi perut. Mungkin karena ia lapar sehingga ia tidak konsen, dalihnya dalam hati. Gendhis sengaja duduk di pojokan dengan posisi membelakangi pintu depan sehingga tidak terlalu mencolok dari luar. Ia malu bila bertemu tetangga kosnya yang lama yang pernah menolaknya.

Gendhis memesan es jeruk dengan lele penyet untuk mengisi perut. Ia sengaja langsung membayar karena sering kali ia pergi begitu saja tanpa merasa berdosa.

Sambil melahap makanan, gadis itu mendengkus. Gendhis hanya beralasan untuk makan, padahal dia tahu bahwa tempat itu adalah tongkrongan favorit Lud dan teman-teman kampusnya. Seingat Gendhis, lelaki itu selalu bercerita bahwa dirinya akan menuju di foodcourt itu setelah kuliah atau bermain basket bersama teman-temannya.

Dan, tebakan Gendhis benar. Dari belakang ia bisa mendengar suara Lud yang baru saja datang bersama teman-temannya.

***

"Lud, ngapain masih makan di sini? Udah ada tunangan, minta lah dimasakin dia! Itung-itung belajar menjadi menjadi istri yang baik." Suara bass seorang lelaki terdengar.

"Udah putus!" jawab Lud ketus.

"Putusnya drama banget tahu nggak sih? 'Selamat tinggal Lud Keandra! Aku membebaskanmu!'" Jati menirukan gaya bicara dan gerak Gendhis. "Habis itu tahu nggak? Cincin seharga dua puluh juta dibuang gitu aja dari jendela kamar!" Jati menepuk permukaan meja kayu sambil terpingkal-pingkal.

"Gila! Kasih aku aja, mayan bisa ganti motor reyotku!" ujar yang lain.

Jati berdeham, menjeda tawanya. "Aku kasihan banget sama Gendhis. Mukanya udah kaya bara arang. Hitam trus ada merah-merahnya gitu."

"Emang item banget, ya, Lud? Lu kok mau aja sih sama dia? Secara lu 'kan idola kampus gitu!" Salah seorang teman yang berasal dari Jakarta menimpali.

"Siapa yang mau? Kalau nggak kepaksa juga aku nggak bakal sama dia," tukas Lud cepat.

"Iya. Udah item, kecil, napas lagi." Jati menambahi.

Darah Gendhis mendidih mendengar pembicaraan para lelaki itu. Item, kecil, napas?? Mereka belum tahu kalau yang hitam, kecil dan bernapas itu adalah semut yang bisa membuat geli bila masuk liang telinga mereka.

Setelah menjilat jari sisa sambal yang menempel, Gendhis meneguk air jeruk dingin untuk mendinginkan kepala dan hati yang panas. Nyatanya, sama sekali tidak berefek pada emosi yang menggelegak.

Dengan kasar ia meletakkan gelas hingga getaran piring terdengar keras. Semua mata memandang ke arahnya, tak terkecuali Lud. Beberapa detik kemudian Gendhis bangkit dan berbalik. Rambutnya berkibar saat gerakan memutar tubuh yang dramatis, membuat Jati dan Lud terperangah. .

"Gotcha! Kenalkan saya yang item, pendek dan sayangnya masih bernapas itu. Mantan calon istri Lud Keandra." Senyuman miring serupa seringai memperlihatkan taring kiri yang kontras dengan warna kulit eksotisnya.

Lima lelaki yang ada di situ mengerjap. Yang paling pucat adalah Lud dan Jati yang dari tadi paling keras tawanya. Jati menyikut-nyikut Lud, sementara lelaki itu menepis sikutan temannya.

"Hallo, Mantan calonku yang baik hati dan tidak sombong. Bagaimana kabarmu? Hohoho." Tawa itu menguar dengan aura kelam yang sekonyong-konyong menyelimuti seluruh area foodcourt.

Kuduk Lud bergidik melihat wajah garang Gendhis. Benar kata Jati, raut Gendhis mirip arang yang membara. Hitam dengan warna kemerahan dan siap memercikkan api kecil yang panas.

Gendhis terkekeh ringan dengan tersenyum sinis. Ia menyampirkan tas ransel pada salah satu bahu, kemudian melangkah keluar dari kursi panjang. Jati beringsut menggeser pantat menempel pada Lud.

"Kenapa, Mas Jati?" Gendhis menarik dagu Jati dengan tangan kanan bekas makannya. Gendhis terkekeh dalam hati melihat si Mulut Besar itu ketakutan.

Bola mata lelaki itu menjuling melihat ke arah jari Gendhis yang menguarkan bau sambal terasi yang pekat. Belum lagi bekas nasi lengket itu mengotori wajahnya.

"Ndhis, kamu ngapain sih?" Lud bangkit tak ingin ada kekacauan di situ.

"Kenapa? Mas pikir aku diam aja dihina dina seperti itu?" Dagu Gendhis terangkat angkuh. Ia mengelap tangan kotornya pada bahu Jati yang ia tahu paling tega membully-nya.

"Tapi jangan seperti ini!" sergah Lud. Mata sipit itu membeliak.

Gendhis tersenyum miring. "Ah, jangan seperti itu? Maaf, Mas, aku harus membela diri! Dan, aku bersyukur kita berpisah."

Gendhis mendekat. Alih-alih menampar, gadis itu mencubit kecil perut Lud, membuat lelaki itu terpekik tanpa suara. Mulutnya megap-megap dengan mata membelalak yang lambat laun memerah.

"Nih, hadiah buat cowok jahat!" Gendhis mengusap tangan kotornya di kemeja Lud saat lelaki itu masih belum pulih dari rasa nyeri akibat cubitan maut Gendhis.

Tawa Gendhis menguar. "Siapa bilang aku akan menangisi Lud? Yang ada kamu akan menyesal telah membiarkan aku pergi Lud."

Setelah itu Gendhis berlalu meninggalkan Lud yang melongo dengan wajah yang memerah.

💕Dee_ane💕

Jangan lupa mampir di kisah Clary "Sang Jomlo Dadakan" furadantin

Lud jahat!!!


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro