Delapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

8. Sehat?

Pagi kembali, Raffa pergi ke kantor tanpa didampingi oleh Fatur. Pria itu sakit, kata Mamanya, badan Fatur sangat panas.

Mau tak mau, Raffa duduk di kursi kebesaran Fatur ditemani oleh Deva di mejanya sendiri. Raffa menggaruk kepalanya bingung, ia kembali menatap ke arah laptop di depannya.

"Ini apaan, sih? Kayak pelajaran matematika waktu SMP," gumam Raffa kala di layar sana menunjukan gambar grafik.

"Dev, hari ini gak ada meeting, ketemu client gitu, kan? Kalau ada, lo aja deh, ya."

Deva yang awalnya sibuk mengetik, langsung mendongak menatap ke arah Raffa. Gadis itu berdehem pelan, "Hari ini kita ada meeting sama client soal rencana pembangunan Restoran, Pak."

"Udah gue bilang panggil gue Raffa. Gue belum nikah, gue belum punya anak. Lo mau banget gue nikahin biar bisa panggil gue Bapak, hah?!" tanya Raffa sewot.

Deva tersenyum tipis menanggapinya. Gadis itu memilih mengerjakan tugasnya yang sempat tertunda.

Raffa menutup laptopnya. Masa bodoh dengan gambar grafik itu, dia tidak paham. Cowok itu mendongak kembali menatap ke arah Deva.

Namun, matanya membelak kala dilihatnya hidung Deva yang mengeluarkan darah.

"Dev! Lo gak papa?" Raffa buru-buru beranjak. Cowok itu meraih kotak tisu dan membersihkan hidung Deva.

"Jangan dongak!" Raffa mengambil tisu lagi kemudian membiarkan Deva menutup hidungnya sendiri.

Raffa menarik kursi, cowok itu duduk di samping Deva dan menatap gadis itu. "Lo udah makan?" tanya Raffa.

"Udah, Pak. Makasih." Deva tersenyum menanggapi.

Raffa menghela napasnya, Cowok itu beranjak kemudian meraih air mineral miliknya yang belum ia buka. "Nih, minum."

Deva meneguknya pelan. Wangi parfum khas laki-laki yang Raffa kenakan begitu tercium di indra penciuman Deva.

Gadis itu sedikit menjauh.

"Kerjaan lo banyak banget ya, Dev? Ini lo pasti kecapekan, nih," ucap Raffa seraya menggeser layar komputer agar menghadap ke arahnya.

Cowok itu duduk di samping Deva. "Ini tinggal ngerapihin doang?" tanya Raffa.

"Iya, Bentar lagi beres. Terus, kita langsung meeting."

Raffa menganggukkan kepalanya. Cowok itu menatap Deva sebentar, "Yaudah sana, lo tiduran di sofa bentar. Ini biar gue aja yang urus."

"Tapi—"

"Nurut! Gue pecat lo kalau gak nurut."

Mau tak mau, Deva akhirnya memilih menurut dan merebahkan dirinya di sofa.

Raffa mulai pekerjaannya. Cowok itu terlihat begitu teliti.

Perlu waktu beberapa menit untuk selesai. Raffa beranjak, cowok itu memilih kembali ke kursinya.

Raffa mengambil ponselnya, mencari nama Lily, kemudian menghubunginya.

"Hallo, heh, bunga bangke! Lo hari ini ada kelas? Kalau enggak, nanti makan siang bareng gue, ya? Oke, nanti gue ke sana. Dah, sayang! I Love you."

"Heh! Lily lagi sakit, seenak jidat lo bilang I Love You ke gue. Gue masih normal."

Raffa mengerjapkan matanya kala mendengar suara laki-laki di seberang sana. "Ly, lo sakit tenggorokan? Suara lo jelek banget kek kodok."

"Raf, gak gue restuin lo, ya!"

"Bercanda, Om. Lily sakit apa?" tanya Raffa seraya tertawa.

"Gak tau, badannya panas banget, gue aja lagi masak air di keningnya si Lily. Lumayan, Raf, bisa ngopi kita. Ke sini dah, lo."

Raffa mengangguk pelan, "Nanti siang Raffa ke sana deh, Om. Sekalian bawa kopi kan, ya? Si Lily kita ajak ngopi juga sabi, Om."

"Iya, sekalian bawa makanan yang banyak, gue laper."

Raffa mendengkus kesal. Bisa-bisanya ia memiliki calon mertua seperti Rizki.

Orang kaya tapi matre.

"Iya-Iya, udah ah mau meeting."

"Laga lo meeting."

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Tut

Raffa mematikan ponselnya. Papanya sakit, Lily juga sakit, di depannya sekarang Deva juga tengah sakit.

Raffa juga sakit, sakit jiwa.

Raffa beranjak, cowok itu berjalan ke arah Deva dan menempelkan tangannya di dahi gadis itu. "Dev," panggil Raffa pelan.

Gadis itu bangun, dan langsung duduk dengan raut wajah kaget. "M-Maaf, Pak. Saya ketiduran."

"Gak papa."

***

Siang harinya, Raffa benar-benar datang ke rumah Lily. Dia juga benar-benar membawa kopi.

Di kamar milik Lily, Raffa tengah menyeruput kopinya bersama Rizki. Keduanya menatap ke arah Lily yang tengah tertidur.

"Om, Raffa kira si Lily gak bisa sakit."

"Sama," jawab Rizki.

Raffa menyimpan gelas kopinya. Cowok itu duduk di tepi kasur kemudian menyentuh dahi Lily.

Benar-benar panas. "Sayang, bangun." Raffa mengusap pipi Lily dengan jari telunjuknya.

Gadis itu membuka matanya. "Pusing, Raf. Jangan ganggu."

"Gue bukan setan, Bunga Bangke. Bangun dulu cepetan, lo belum makan, kan? Gue bawa roti, mau sekalian ngopi?" tanya Raffa.

"Heh! Lo emang gak ahli ngurus orang sakit ya?" Rizki menyahuti.

Raffa tertawa pelan, cowok itu memilih membantu Lily agar duduk bersandar pada punggung kasur.

Tangan Raffa terulur meraih roti kemudian memberikannya pada Lily. "Makan dulu."

"Gak mau, Raf. Pahit."

"Dikit aja." Lily akhirnya menurut, gadis itu mengunyahnya dengan sangat lemas.

Raffa mengusap rambut Lily yang berantakan. Kemudian, ia memberi Lily minum. "Kenapa bisa sakit, hm?"

"Gak tahu. Udah takdirnya."

"Bagus! Anak gue akhirnya ngerti takdir!" Rizki bersorak.

Lily mendengkus kesal melihatnya.

Raffa melirik Rizki sebentar, cowok itu tercengir lebar ke arahnya. "Om, mau cium kening anaknya boleh gak? Biar cepet sembuh gitu."

"Boleh."

"Tapi pulangnya piso di dapur nancep di leher lo, ya?" Rizki tersenyum ke arah Raffa.

Raffa bergidik ngeri. Ia menggeleng kuat, "Enggak jadi, deh."

Lily terkekeh pelan mendengarnya. Tangan Lily terulur mengusap pipi Raffa pelan. "Makasih, udah jenguk."

"Lo kan cewek gue."

"Ekhem, mantan." Rizki membenarkan.

Raffa berdecak kesal. Rizki ini, kadang mendukung kadang tidak. Dasar labil.

"Yaelah, nanti juga Raffa jadi suaminya, kok."

"Lily udah gue jodohin sama si Azriel."

"Wah! Gak bisa gitu, Om. Raffa gak bisa diginiin!" Raffa tak terima.

Bantal melayang tepat mengenai wajah Raffa dan juga Rizki. Keduanya sontak menatap ke arah pintu.

Di sana, Ivi—Ibunya Lily berkacak pinggang menatap ke arah mereka. "Jangan berisik!"

"Iya, Yang, enggak lagi."

***

Raffa kembali ke kantor. Saat ini yang ia lakukan adalah bermain ludo bersama Om Ocong, Tante Kun, dan juga Tuyul Ompong.

"Om, lo bisa gak, sih?" tanya Tuyul Ompong pada Raffa.

Raffa mengangguk, "Bisa, Gengsi dong masa ginian doang gak bisa. Lo denger ya Pong, kalau gak ada gue kalian gak akan bisa main yang kayak gini."

"Sombong."

"Harus, ini Hp punya gue, di dalamnya ada aplikasi ludo, yang download siapa? Gue! Lo jangan ngeremehin gue, Pong."

Tuyul Ompong itu mendengkus sebal, "Om, bisa gak panggil Gue Yuyu aja? Pong pang pong apaan?"

"Lo kan Ompong."

Om Ocong tertawa mendengarnya, "Bener!"

"Apanya yang bener, Ayang?" tanya Tante Kun pada Om Ocong.

"Cintaku padamu bener banget, Ayang."

Raffa melotot mendengarnya. Malang sekali nasibnya, menjadi kambing conge setan pacaran.

Tangan Raffa terulur menutup telinga Tuyul Ompong. "Lo gak boleh denger yang kayak gitu. Belum cukup umur."

"Kenapa?"

"Merusak generasi bangsa. Gak boleh, masa depan lo masih panjang, jangan sampai lo bucin sejak dini."

"Tapi kan gue udah mati, Om. Gue gak ada masa depan," jawab Tuyul Ompong.

Raffa mengangguk, "Bener juga. Lo kenapa gak bilang dari tadi, sih?!"

Deva masuk ke dalam ruangan. Gadis itu sudah terlihat agak mendingan, ia tersenyum sopan ke arah Raffa.

"Udah sehat, Dev?"

"Allhamdulillah udah. Makasih, Pak."

"Kerjaannya jangan terlalu, Dev. Badan lo juga perlu istirahat."

Deva tersenyum dan mengangguk. Raffa kembali menatap ke arah tiga temannya. "Kalian minggat sana, disangka gila gue nanti," bisik Raffa.

"Neng Deva kan udah tahu kali, Cil," sahut Om Ocong.

"Tahu apa?"

"Lo gila."

Setelah mengatakan itu, ketiganya menghilang. "Gak usah balik ke rumah gue kalian! Gak akan gue kasih makan. Awas aja!" teriak Raffa kesal.

"Bapak sehat?" tanya Deva kaget kala mendengar teriakan Raffa secara tiba-tiba.

Jadi malu.

Tbc

Kangen gak? Semoga suka ya<3

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro