Dua belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Raffa Baru saja selesai meeting. Cowok itu benar-benar bertekad membuktikannya pada Fatur. Sekarang, ia tengah menyeruput kopi susu di meja kerjanya.

Fatur tadinya akan berangkat ke kantor. Tapi Raffa melarangnya, kata Raffa, ia ingin belajar sendiri. Fatur hanya tinggal menyaksikan dan menerima hasil saja.

"Yo, Raffa! Mamen! Abang ipar gue!"

Raffa menyemburkan kopinya kaget. Cowok itu berbalik, matanya membelak kala mendapati Boby—Sahabat semasa sekolahnya dulu, bersama Bintang.

Keduanya tanpa permisi duduk di sofa. Bintang yang kalem, dan Boby yang memasang wajah menyebalkan.

"Bang, lo pake jas gitu mirip—"

"Mr. Bean? Gak usah panggil gue Abang, sialan! Geli." Raffa berdecak kesal saat Boby memanggilnya dengan sebutan Abang.

"Bang, belai Dedek, Bwang!" ucap Boby.

Bintang sontak mendorong bahu Boby dengan kuat. Wajahnya terlihat kaget dengan apa yang Boby ucapkan tadi.

Bruk

"Asstagfirullah, Aa Bintang! Pantat gue sakit, nih!" Boby beranjak, ia mengusap bagian sakitnya dengan pelan.

Bintang mengedikkan bahunya tidak acuh, "Kelakuan lo mirip Tante-Tante kurang belaian. " Bintang berdecak sebal.

"Kan gue emang kurang belaian. Kurang belaian dari Riffa, aw! Raf, restuin gue ya sama Riffa, nanti lo gue kasih sepatu. Mau warna apa? Hijau? Kuning? Biru muda? Atau pink? Sebutin aja!"

Raffa melipat kedua tangannya di depan dada. Ia menggeleng, "Gak! Lo kira gue Abang apaan yang jual Adiknya demi sepatu?"

"Lagian lo ketemu dia di mana sih, Tang, Obeng, Gergaji? Bisa-bisanya lo bawa Boby ngepet ke sini." Raffa berdecak.

Boby yang tidak terima disebut Boby ngepet, langsung menggebrak meja dengan kuat. "Jaga omongan lo! Sini maju, berantem kita!" Boby memasang kuda-kuda seolah bersiap menghajar Raffa.

Raffa meraih buku tebal di mejanya. Tanpa belas kasihan sedikit pun, Raffa melayangkan buku itu pada Boby.

Dugh

"PALA GUE!" Boby memekik.

"Heh! Gengsi dong, datang ke kantor orang malah ngerusuh. Gak sekalian jadi topeng monyet aja lo di depan?" tanya Raffa tak santai.

Boby meraih buku tebal yang Raffa lempar tadi. Ia bersiap melemparnya ke arah Raffa.

"Gak gue kasih restu lo sama Riffa!"

Boby mengurungkan niatnya. Akhirnya, ia memilih duduk kembali di samping Bintang. "Tang, masa gue diancem sama Anak Gengsi?" bisik Boby.

Pintu ruangan Raffa terbuka. Di ambang pintu, Deva menatap kaget saat tahu Raffa tengah kedatangan tamu.

"Eh, Maaf. Saya—"

"Wah! Gak bisa dibiarin! Raf, lo betah di kantor gara-gara ini cewek? Gue laporin lo ke si Lily. Gak jadi nikah, mampus, lo!" teriak Boby rusuh.

Bintang menarik Boby agar cowok itu kembali duduk. Matanya melirik tajam ke arah Deva yang tersenyum kikuk ke arahnya.

"Dev, bawain air comberan 2 gelas buat mereka," kata Raffa pada Deva.

"Eh, Jangan! Gue mau es jeruk, es kelapa, cilor, terus lumpia basah, seblak, sama—"

"Air putih aja, Dev." Raffa memotong ucapan Boby.

Deva mengangguk, akhirnya, ia memilih kembali ke luar untuk membawa air putih.

Raffa beranjak, cowok itu berjalan dan duduk di antara Boby dan Bintang. "Tang, Obeng, Gergaji, lo mau gak gue jodohin sama si Deva? Lumayan, cakep, rajin, punya penghasilan sendiri, terus—"

"Terus si Bintang gak bisa move on dari si Silva. Doi kan mau nikah bulan depan," sahut Boby tertawa.

Bintang menatap Boby tajam. Cowok itu berdecak kesal mendengar ucapan sahabatnya itu.

"Serius? Silva udah mau nikah? Terus, Crystal gimana, Crystal?" tanya Raffa.

"Udah nikah! Puas lo pada?! Hah?!"

Boby menggeleng prihatin. "Muka doang ganteng tapi sadboy. Mana ditinggal nikah lagi."

"Dari pada lo, ceritanya aja playboy. Tapi ungkapin perasaan ke Riffa gak berani. Malah misuh-misuh ke gue sama Raffa," jawab Bintang.

Boby beranjak, "Gue balik, bye!"

***

Raffa pulang sangat larut. Pekerjaannya menumpuk karna siang tadi ia diganggu oleh kehadiran Boby dan juga Bintang ke kantornya.

Membersihkan badannya, Raffa langsung berbaring di atas tempat tidur.

"Baru satu hari, Raf. Semangat!" Raffa menepuk kedua pipinya sendiri.

"Gimana, Cil? Capek gak?" tanya Om Ocong yang tiba-tiba saja muncul, seperti biasanya.

Raffa mendengkus kesal, "Lo rasain aja sendiri."

"Yaudah, besok bagian gue aja yang ke sana."

"Cara lo ngetik di laptop gimana ya, mohon maaf?" tanya Raffa.

Om Ocong tercengir, "Nih, pake gigi gue. Kan sayang kalau gak kepake."

"Si Ompong ke mana, Om?" tanya Raffa mengabaikan jawaban Om Ocong tadi.

Om Ocong menggeleng, "Gak tahu, paling juga cari logam buat dimasukin ke kuda-kudaan yang di depan alfamart," jawabnya.

Raffa mengangguk-anggukan kepalanya. Akhirnya, ia memilih memiringkan tubuh dan memejamkan matanya dengan bantal guling yang ia peluk.

"Cil, lo tidur?"

"Ngamen," jawab Raffa malas.

"Cil jangan tidur dulu. Gue gak ada temen, takut, kalau gue digentayangin setan, gimana?" ucap Om Ocong.

Raffa berdecak kesal. Ia berbalik, kemudian, tangannya terulur mendorong Om Ocong hingga terjatuh ke lantai. "Setan kok takut sama setan."

"Gue lupa, gue setan. Yaudah ya, gue mau ngapel ke Tante Kun. Dadah, Acil!"

Om Ocong ngesot seperti ulat. Saat sampai di dekat tembok, barulah ia berusaha untuk berdiri.

Ia tersenyum ke arah Raffa. "Gimana? Gue udah bisa berdiri sendiri, sekarang. Keren, kan?"

"Mata lo keren. Kayak ulet bulu lo."

***

Pagi-pagi sekali, Raffa sudah duduk di meja makan dengan piyama yang masih menempel di tubuhnya. Rambutnya acak-acakan khas bangun tidur.

"Bang, cuci muka dulu sana! Jorok banget lo." Riffa mendorong bahu Raffa kesal.

Namun, Raffa tak bergerak sama sekali. Ia menoleh dan menatap tajam ke arah Riffa, "Diem lo," Raffa menguap, "Ngantuk banget gue," sambungnya.

Dena dan juga Fatur baru saja pulang dengan bungkusan ketoprak yang mereka beli.

"Pa, si Abang kerjanya mau nyerah katanya," adu Riffa.

Raffa buru-buru membuka matanya lebar. "Enggak, Pa! Raffa kuat, lihat, Raffa seger banget hari ini."

"Halah, tadi aja ngantuk."

"Diem lo. Niat banget bikin gue gagal nikah."

Dena tertawa pelan. Ia memilih menyiapkan piring dan juga sendok. Kemudian, membagikan ketoprak pada Riffa, Raffa, dan juga Fatur.

"Makan dulu, Sayang." Dena mengacak puncak kepala Raffa setelah menyodorkan ketopraknya.

"Makasih, Ma."

Dena tersenyum dan memilih duduk di samping Fatur.

"Gimana? Kerasa?"

"Apanya?"

"Kerja sampai malem, paginya berangkat lagi."

Raffa mengangguk, "Iya, pantesan Papa pelit."

Fatur melotot. Bukannya menanggapi hal positif pada Fatur, malah menanggapi hal negatif. Dasar Raffa.

"Pa, Riffa mau bikin usaha Sablon ah. Kecil-kecilan aja, gak papa deh jadi tukang samblon keliling," ucap Riffa.

"Wah, lo mah pantesnya juga jadi badut keliling."

"Papa kan takut badut, gimana bisa gue pake kostum kayak gitu, nanti," sahut Riffa.

Fatur mendengkus kesal. Tidak Anak pertama, tidak yang kedua. Hobi sekali menistakannya.

"Iya, udah gengsian, takut badut, pelit lagi, Papa kalian nyebelin banget emang."

Fatur menyenggol lengan Istrinya kesal. "Den," rengek Fatur.

TBC

Gimana? Suka gak? Semoga suka ya!

Ada yang ingin disampaikan untuk Raffa

Fatur

Dena

Riffa

Semuanyaaa?

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro