dua puluh delapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Raffa mengerjapkan matanya berusaha menyesuaikan pandangannya. Cowok itu meringis pelan kala merasakan sakit di bagian kepalanya.

Tangan Raffa terulur menyentuh puncak kepala seorang gadis yang tengah tertidur nyenyak dengan posisi duduk.

Hari apa ini? Apa yang terjadi padanya sehingga bisa kembali terbaring di sini? Raffa malah merasa tambah pusing mengingatnya.

"Udah hari kamis ini, Cil. Nanti malem lo mau diungsi ke Amrik."

Raffa mentap ke arah sosok Om Ocong tengah duduk di sofa. "Ini siang, pagi, atau malem, sih?" tanya Raffa.

"Baru siang. Bunga bangke lo kayaknya sakit deh, Cil. Kemarin-kemarin dia yang jaga lo, terus pulang kemarin malem, tadi pagi balik lagi. Terus ketiduran."

Bangun-Bangun bukannya disambut oleh sahabat atau keluarganya, Raffa malah disambut setan.

Raffa berdecak sebal. Namun, ia belum ada tenaga untuk mengeluarkan umpatan.

"Bangunin atuh, kasihan, Om," sahut Tuyul Ompong.

"Gak usah."

Raffa memilih membiarkan Lily tertidur. Tadi Om Ocong bilang, Raffa akan diungsikan ke Amerika nanti malam? Apa itu benar?

"Om, gue ke Amrika ngapain?"

"Biar lo gak banyak tingkah. Biar kaki lo cepet sembuh, lo kalau diem di sini banyak ulah, yang ada bukannya sembuh itu kaki, malah celaka terus-terusan."

Raffa berdecak kesal. Benar juga sih, Raffa terlalu banyak tingkah. Andai saja dia tidak nekat menaiki tangga saat tidak ada orang, mungkin Raffa tidak akan diungsikan ke Amerika seperti apa kata Om Ocong.

Raffa hendak melepas alat pernapasannya. Namun, Tuyul Ompong dengan segera menahannya. "Jangan dibuka."

"Kenapa?"

"Gue yakin mulut lo mau naga, Om."

Raffa benar-benar lemas. Suaranya saja sedaritadi benar-benar kecil dan nyaris tak terdengar.

Ia sebenarnya ingin mengatai dua setan di depannya dengan kata-kata legendnya!

Raffa memilih diam dan kembali berpikir. Jika memanh benar Raffa akan dibawa ke Amerika, Raffa tidak masalah. Toh, dia di sana juga untuk menjalani pengobatan.

Namun, ia takut Lily kembali berpaling pada orang lain. Padahal, Baru saja hubungannya dengan gadis itu membaik.

"Kalau Lily beneran tulus sama lo, dia gak akan ninggalin lo lagi, Cil. Ini buat kesembuhan lo, lo sembuh cepet, ya lo juga bisa nikahin Lily cepet."

Raffa terdiam. Cowok itu tertawa dan mengangguk. "Pinter."

"Yaudah, gue ke sana aja gak papa," sambung Raffa.

"Raffa?"

Raffa menatap Lily. Gadis itu melebarkan matanya kala melihat Raffa yang benar-benar sadar.

Lily tersenyum lebar, ia langsung memeluk Raffa dengan sangat erat. "Raf, lo kenapa sih suka banget bikin orang panik?"

"Biar dipanikin juga sama lo," jawab Raffa.

Lily melepas pelukannya. "Ada yang sakit? Gue panggil Dokter, ya? Gue panggil temen-temen yang lain juga, gue—"

"Ly," panggil Raffa.

Raffa berusaha duduk. Cowok itu melepas alat pernapasannya dengan pelan. Kemudian, ia menatap Lily yang terlihat bingung. "Kalau gue pergi, jangan nunggu gue balik. Kalau gue pulang, gue bakal samperin lo tanpa lo minta."

"R-Raf?"

"Gue gak mau janji lagi, Ly. Gue gak mau ngasih harapan yang gak pasti lagi sama lo. Lo bebas nentuin pilihan lo selama gue gak ada." Raffa mengusap pipi Lily dengan pelan.

Lily menatap Raffa mematung. Rasanya sesak, air matanya menetes tanpa di minta.

"Jangan nangis. Lo boleh nunggu gue, tapi kalau lo capek, lo berhenti juga gak papa, Ly. Gue tahu lo pasti udah terlalu sering nunggu gue, gue gak mau lo lakuin itu lagi."

"Kalau gue pulang, gue bakal datang ke lo tanpa lo minta."

Setelah mengatakan itu, Raffa menarik Lily dan memeluk gadis itu erat.

Lily masih kaget. Gadis itu menumpahkan rasa sesaknya di dekapan Raffa.

"Makasih udah mau nemenin gue selama gue di sini." Raffa mengecup puncak kepala Lily dengan lembut.

Tak ada ucapan apa-apa lagi. Yang ada, hanya suara isakan Lily.

Raffa tidak ingin berjanji Lagi, Raffa tidak ingin membuat Lily menunggu lagi. Karna Raffa tahu, apa yang ia janjikan jika tidak bisa ia tepati, hanya akan menjadi rasa sakit hati nantinya.

Biarkan semua berjalan sebagaimana mestinya.

***

Malam hari pun tiba, Raffa duduk di kursi roda dengan Fatur yang mendorongnya. Raffa benar-benar akan berangkat ke Amerika.

"Gengsi dong, gandengan tapi gak nikah," sindir Raffa kala melihat Bintang yang tengah bergandengan dengan Deva.

Tadi siang setelah mengobrol dengan Lily, Bintang dan juga Boby datang ke ruangannya diberitahu Lily.

Raffa juga sudah tahu perihal hubungan Bintang dan juga Deva sekarang. Dan Raffa juga sudah menjabarkan maksud rasa sukanya pada Deva.

Suka yang Raffa maksud adalah, ia suka ketika berdekatan dengan Deva. Dia sudah menganggap Deva seperti Kakaknya sendiri, segala curhatan Raffa selalu di dengar baik oleh Deva.

Dan karena kejujuran Raffa itu, Raffa sempat mendapat umpatan dari Bintang dan juga Boby. Kata mereka, Raffa membuat semuanya salah paham karena sikapnya.

"Bacot, gue yakin, lo pulang langsung kondangan. Tenang aja."

Raffa mencibir pelan kala mendengar sahutan Bintang yang begitu pedenya. "Halah!"

"Itu mobilnya udah dateng."

Seluruh orang yang tengah mengantar Raffa menoleh ke arah mobil. Raffa menghela napasnya pelan, cowok itu menatap ke arah Lily yang masih terlihat murung. "Gue pamit ya, Ly," kata Raffa.

"Hati-hati." Hanya itu yang bisa Lily ucapkan.

Raffa tersenyum tipis dan mengangguk. Tangannya terulur menarik lengan Lily dan memaksa gadis itu membungkuk ke arahnya.

"Jangan nunggu gue, tapi kalau mau silahkan. Kalau capek, boleh berhenti," ucap Raffa pelan.

Setelahnya, Raffa mengacak puncak kepala Lily.

"Bob, Tang, titip Lily sama Riffa. Kalau Deva gak akan gue titipin, udah ada pawang soalnya," kata Raffa.

Bintang dan Boby mengacungkan jempol mereka. Setelah itu, Raffa mencium punggung tangan Mamanya. "Doain Raffa cepet sembuh ya, Ma?"

"Iya, pasti."

"Raffa berangkat."

Setelah mengatakan itu, Fatur mendorong kursi roda Raffa menuju mobil yang pintunya sudah terbuka.

Fatur juga membantu Raffa masuk ke dalam mobil.

Sebelum pintu ditutup, Raffa menyempatkan diri melambaikan tangannya. "Dah! Gak usah kangen gue. Gengsi dong, masa kangen sama yang jauh. Kangen sama yang deket aja!" teriak Raffa.

Setelah itu, pintu mobil ditutup. Raffa langsung merubah raut wajahnya menjadi sedih. Fatur duduk di depan bersama supir.

Setelah mobil melaju, Raffa menatap wajah Lily dari spion. Setelahnya, Raffa menghela napas berat.

Raffa akan berusaha sembuh. Raffa akan pulang cepat, bukan hanya untuk Lily. Tapi untuk semua orang-orang yang ia Sayang.

"Pa, bawa kresek gak?" tanya Raffa.

"Kenapa?"

"Takut muntah pas di pesawat."

Selesai

Ah akhirnya!!!

Terimakasih semuanya karena sudah berkenan nemenin Indah dari awal Gengsi dong 1 sampai sekarang.

Ada yang ingin disampaikan untuk part ini?

Untuk gengsi dong 3 aku gak tau mau up kapan, yang jelas aku usahain secepatnya.

Tapi, sebelum itu, mampir ke Langit Dara dong, biar ketemu aku lagi sebelum Gengsi dong 3 dipublish wkwk

Yang baik dari cerita ini boleh diambil pelajarannya, yang buruknya jangan ditiru

Mohon maaf jika ada kesalahan selama membuat cerita ini. Sehat selalu semuanya! See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro