Dua puluh tujuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lily duduk di teras rumahnya sendirian dengan kaki yang ia peluk. Matanya menatap ke arah langit malam.

Kemudian, Lily menunduk dan menjatuhkan pipinya di lutut. Helaan napas berat terdengar. Lily tidak tahu apa yang harus ia lakukan setelah Raffa pergi ke Amerika nanti.

Beberapa waktu.

Tapi sampai kapan? Lily berharap Raffa bisa sembuh dalam waktu cepat, Lily berharap kaki Raffa segera pulih dan Raffa bisa berjalan lagi seperti dulu.

Tapi untuk jarak sejauh itu, entah kenapa rasanya begitu berat. Lily dan Raffa sudah berpisah beberapa tahun, terjadi konflik, dan sekarang akan kembali berpisah?

Sebuah motor memasuki gerbang rumahnya. Lily mengerutkan alisnya kala mendapati Bintang yang saat ini sudah memarkirkan motornya tepat di halaman rumah Lily.

"Tang?"

"Ada yang mau gue omongin," ujar Bintang seraya melepas helm yang ia kenakan.

Cowok itu turun kemudian duduk di samping Lily. "Lo lagi sedih, Ly?"

"Mau minum apa, Tang?" Lily mengalihkan pertanyaan Bintang.

Bukannya menjawab, Bintang semakin memicingkan matanya. "Lo udah tahu Raffa mau ke Amerika?"

"Tau."

"Lo tahu perasaan Raffa buat siapa?"

"Ta— gue gak tahu," jawab Lily akhirnya.

Bintang meluruskan kakinya. Tangannya ia simpan di belakang tubuhnya dan menatap ke arah langit malam. "Perasaan Raffa buat lo, Ly. Lo salah paham sama cincin itu."

"Tapi tadi lo bilang, Raffa suka Kak Deva?"

"Suka bukan berarti cinta. Selama ini, Raffa suka curhat sama Deva, Ly. Deva bilang, selama mereka lagi bareng yang keluar dari mulut Raffa ya nama lo."

Lily diam, gadis itu menunduk. "Gue udah gak pantas buat Raffa."

"Lo nyerah?"

"Gue gak nyerah, gue ikhlas Raffa sama siapa aja. Yang penting—"

"Itu lo nyerah. Lo cuman berlindung dari kata ikhlas, Ly. Bohong banget kalau lo ikut seneng lihat Raffa seneng sama cewek lain. Gue pernah rasain itu, rasanya bukan seneng, tapi nyesek." Bintang memotong ucapan Lily.

Lily menunduk. Bintang benar.

"Kemarin, lo rela nunggu Raffa di ruang ICU sampai lo ketiduran. Lo juga jaga dia sampai sore, tadi. Lo gak mikirin kesehatan lo sama sekali. Apa lo yakin mau nyerah gitu aja?"

Lily menggeleng, "Tang, apa yang gue lakuin tadi gak sebanding sama perjuangan Raffa buat—"

"Itu lo tau. Raffa udah perjuangin lo, Ly. Kalau Raffa gak bisa wujudin apa yang dia mau buat dapetin lo. Kenapa sekarang gak lo aja yang wujudin semuanya?"

Lily menghela napasnya pelan. Bintang lagi-lagi benar. "Gue gak mau janji, tapi gue bakal berusaha selalu ada buat Raffa."

"Itu Baru sahabat gue." Bintang merangkul bahu Lily dan mengacak puncak kepalanya.

Lily tersenyum. Bintang, dia selalu ada ketika Lily berada di situasi seperti sekarang. Bintang selalu menjadi orang pertama yang menasehati Lily dan memberi solusi.

Bintang sudah seperti Abang baginya. Padahal, Bintang anak tunggal, tapi entah kenapa Bintang terlihat begitu dewasa.

Mungkin, karena Papanya Bintang juga memiliki sikap yang sama sepertinya.

"Gue ke rumah sakit lagi, ya? Deva sendirian."

"Udah sadar?"

"Lo pikir gue tahu dari mana soal Raffa yang suka sama lo kalau Deva belum sadar?" tanya Bintang.

Lily tertawa. "Iya, Yaudah sana. Ditunggu undangannya."

"Bisa aja. Doain aja deh, semoga yang ini gak gagal." Bintang tertawa setelah mengatakan itu.

***

"Abang kapan sadar ya, Pa?"

"Kapan-kapan." Fatur melipat kedua tangannya di depan dada seraya menatap putranya yang masih terbaring.

Jika dipikir-pikir, Fatur rindu momen di mana dirinya dan juga Raffa meributkan hal yang tidak penting.

Biarpun putranya menyebalkan, melihat Raffa begini jujur saja hatinya terasa begitu sakit.

Dulu, saat Raffa masih kecil dan mengetahui Fatur sakit, Raffa selalu memeluknya. Namun setelah bangun di pagi harinya, Raffa akan menjauh dan melontarkan berbagai macam alasan.

Raffa mungkin tak pernah berkata dia menyayangi Fatur, namun, Raffa memiliki cara tersendiri untuk mengungkapkannya.

"Pa! Riffa serius, kalau Abang udah sadar, Papa mau bawa dia ke Amerika?"

"Iya, sampai kaki dia sembuh. Kalau udah sembuh, terserah Abang kamu mau tetep di sana atau pulang ke sini. Papa mau yang terbaik buat Abang kamu, Rif."

Riffa terlihat sedih. Jadi, ia akan jarang bertemu dengan Abangnya lagi?

"Pa, Papa sedih gak sih?"

"Sedih."

"Kok gak nangis?"

"Gengsi dong, masa nangis. Yang ada Mama kamu ilfeel lihat Papa nangis. Emang kamu mau Papa muda?" tanya Fatur kesal.

Riffa mengangguk, "Boleh, Pa. Papa mau ditukar tambah?"

"Rif, sekali aja bikin Papa seneng kenapa, sih? Suka banget julid sama Papanya."

Riffa tertawa pelan. Ah, biasanya jika saat-saat begini Raffa yang akan paling heboh melontarkan kalimat randomnya pada Fatur.

Namun sayang, yang Raffa lakukan sekarang hanya diam dengan mata terpejam. Entah mendengar, entah tidak.

"Pa, muka Abang udah ancur banget. Luka kemarin aja belum sembuh, sekarang udah nambah lagi di dahi," kata Riffa.

"Gak papa, berarti Papa lebih ganteng di rumah." Fatur mengusap rambutnya ke belakang.

Riffa mendengkus kesal. Apa-apaan Papanya itu? Narsis!

***

Bintang masuk ke dalam ruangan Deva. Cowok itu tersenyum lebar dan berjalan menghampiri Deva.

Tangannya terulur mengacak puncak kepala gadis itu. "Gimana? Badannya udah enakan?"

"Kaku banget, Tang. Kayaknya kelamaan tidur di sini."

"Lama banget, sampai kangen aku, Dev." Bintang tertawa pelan membalas ucapan Deva.

Cowok itu menarik kursi dan duduk. "Padahal tiap hari aku lihat muka kamu, eh, malah kangen sama suaranya," sambung Bintang.

Deva tertawa. Bintang ini Ada-Ada saja. Padahal, saat pertama kali bertemu di kantor Raffa, Deva benar-benar takut melihat sosok Bintang.

Nada suaranya ketus, matanya juga selalu menatap tajam ke arah Deva. Tapi, entah kenapa sekarang malah berbalik.

"Deva …."

"Iya?"

"Mau gak?"

"Mau apa?"

Bintang mendekat, cowok itu merapikan helai rambut Deva dan menyelipkannya di belakang telinga gadis itu. "Aku kenalin ke Mama Papa," bisik Bintang.

Cowok itu tersenyum menatap Deva. Deva melotot, tangannya terulur mendorong Bintang. Dan itu tidak membuat Bintang bergerak sama sekali.

"Gemes banget sih kamu. Aku Baru tahu yang lebih tua ternyata lebih menggoda." Bintang mengecup kening Deva dengan cepat. Setelah itu, ia kembali duduk.

"Deva."

"Apa lagi, Bintang?" tanya Deva gemas.

Wajah Bintang tiba-tiba ditekuk. Cowok itu mengusap lengan Deva dengan lembut. "Jangan sakit lagi."

"Aku khawatir …."

"… Khawatir gak dapet cewek lagi. Aku udah dua kali jadi sadboy, lho. Kamu jangan nambah-nambahin," sambung Bintang.

Deva lagi-lagi tertawa. Astaga! Deva kira apa. "Emang aku siapa kamu?"

"Kamu maunya apa?"

"Hah?"

"Calon Isteri, mau gak?"

TBC

Oleng dah ke Bintang

Gimana kesan setelah baca part ini?

Semoga suka!

Rekomendasikan cerita ini ke temen-temen kamu juga ya Wkwk

See you!

Ada yang ingin disampaikan untuk Raffa Lily

Deva Bintang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro