Dua puluh enam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bintang tersenyum kala melihat Deva yang mulai membuka matanya. Gadis itu mengerjap terlihat bingung.

"Apa kabar?" Bintang mengusap puncak kepala gadis itu dengan pelan.

Deva mengerutkan alisnya, tak lama setelahnya, ia tersenyum kala menyadari Bintang yang saat ini berada di sampingnya. "Baik," jawab Deva.

"Peluk?" Bintang merentangkan kedua tangannya pada Deva.

Deva ikut merentangkan tangannya dengan tubuh yang terasa begitu lemas. Bintang tersenyum dan memeluk Deva dengan erat. "I miss you, Dev," bisik Bintang seraya melayangkan kecupan manis di puncak kepala Deva.

"Kamu tidur lama banget."

"Oh ya?" Deva tertawa pelan mendengar suara Bintang yang terdengar kesal bercampur rasa bahagia.

Bintang semakin mengeratkan pelukannya. "Aku panggil Dokter, ya?"

"Iya."

Bintang melepas pelukannya. Setelah itu, ia memencet tombol emergency. Setelah itu, Bintang kembali duduk dan menggenggam tangan Deva, senyum di bibirnya tak luntur sama sekali. "Seneng?" tanya Bintang.

"Apa?"

"Seneng buat aku khawatir, hm?" Bintang mencium punggung tangan Deva berkali-kali.

Deva tertawa pelan. Sebenarnya, mereka memang sudah dekat diam-diam.

Bahkan, Bintang juga sempat mengajak Deva untuk datang ke pernikahan gadis yang pernah mengisi hati Bintang di Bandung.

Mulai saat itu, keduanya tak lagi canggung bercerita perihal kehidupan mereka.

Bintang secara terang-terangan mengatakan dirinya sudah dua kali ditinggal oleh gadis yang ia cintai setengah mati.

Begitupun dengan Deva, Deva juga menceritakan bagaimana kehidupan Deva perihal dirinya dan keluarganya.

Keduanya terlihat sama-sama kalem, jadi, mereka juga terlihat nyaman satu sama lain.

Tak lama, seorang Dokter datang menghampiri Bintang dan juga Deva.

"Kita periksa dulu, ya," ucap Dokter itu ramah.

Ia memeriksa keadaan Deva. Bintang masih tersenyum sangat lebar.

"Apa ada keluhan, Deva?"

Deva menggeleng sebagai jawaban. Setelah itu, Dokter tersenyum. "Kalau keadaan Deva sudah benar-benar pulih, Deva sudah diperbolehkan pulang. Tapi dengan syarat, jika ada keluhan harus langsung dicek dan jangan diabaikan, ya?"

"Makasih, Dokter."

Dokter tersenyum san memilih pergi meninggalkan Bintang dan juga Deva.

"Pak Raffa, keadaannya gimana, Tang? Udah bisa jalan?"

Bintang diam, berbicara soal Raffa, entah kenapa Bintang tidak rela jika Deva berdekatan dengan sepupunya itu.

"Raffa masuk rumah sakit lagi. Kemarin jatuh dari tangga. Kayaknya ngegelinding," jawab Bintang tersemat nada kesal di sana.

"Terus, keadaanya?"

"Belum sadar. Kemarin sempet dinyatain gak Papa, tapi pas malem waktu kamu operasi, Raffa drop lagi," jawab Bintang.

Deva yang melihat Bintang terlihat tak nyaman, terukur meraih tangan cowok itu dan mengusap punggung tangannya lembut. "Kenapa?"

"Apanya?"

"Kamu."

Bintang tak menjawab. Deva tertawa pelan, "Ada yang ngeganjel di hati kamu?"

Bintang akhirnya pasrah ketika mendengar nada lembut yang keluar dari mulut gadis itu. Bintang meraih cincin di saku celananya.

Cowok itu memberinya pada Deva. "Dari Lily, katanya punya kamu."

"Kamu, udah dilamar Raffa?"

Deva mengerutkan alisnya. Gadis itu menggeleng, "Enggak."

"Tapi—"

"Itu buat Lily. Bukan buat aku, tapi Pak Raffa terlanjur kecewa sama Lily waktu itu. Daripada cincinnya dibuang, yaudah Pak Raffa kasih aku. Katanya buat tanda persahabatan, Pak Raffa gak suka sama aku, kok," jawab Deva seolah paham kekhawatiran Bintang.

Bintang menatap Deva seolah ia tak percaya. "Masa sih?"

"Iya, Pak Raffa kasih itu pas di udah kecelakaan."

"Pak Raffa masih sayang sama Lily, Tang. Dia juga sering cerita sama aku. Setiap kali aku lagi sama dia, entah itu lagi gak ada kerjaan, atau perjalanan buat bisnis, yang keluar dari mulut Pak Raffa ya nama Lily," sambung Deva.

Bintang masih terlihat lesu. Cowok itu menatap Deva dengan tatapan takut. "Kamu suka sama Raffa?"

"Suka," jawab Deva.

"Pak Raffa baik, ya walaupun nyebelin, hatinya tulus. Aku suka sama Pak Raffa karena sikapnya, bukan kerena aku cinta, ya, Tang," jawab Deva.

Bintang diam beberapa saat. Raffa juga pernah bilang dia suka sama Deva, apa itu artinya … Bukan Cinta? Masih ada makna lain?

"Aku udah anggap dia Adikku sendiri."

Bintang melebarkan senyumnya. "Raffa juga adik aku, Dev. Kamu cepet sembuh, biar bisa jadi Kakaknya Raffa beneran."

"Eh?"

Bintang tertawa pelan dan beranjak. Berbicara dengan Deva, Bintang selalu merasa beban yang ia pikirkan terasa ringan.

Sikap santai dan dewasa Deva itu yang membuat Bintang selalu merasa nyaman berada di dekatnya.

Bintang tak perduli walaupun umur Deva dua tahun lebih tua darinya. Bukankah cinta tidak memandang umur?

"Cium gak?" tanya Bintang saat tangannya sudah mengusap lembut pipi Deva yang saat ini sudah tirus.

"No!" Deva mendorong pundak Bintang dengan tenaga yang bahkan sama sekali tak ada.

***

Lily masih duduk di samping brankar Raffa. Tangannya juga masih setia menggenggam tangan cowok itu.

Jika setelah sadar nanti Raffa memilih bersama Deva, Lily tak masalah. Toh, Lily juga sudah terlanjur membuat Raffa kecewa.

Lily akan berusaha terlihat bahagia ketika Raffa menemukan kebahagiaannya sendiri, suatu hari nanti.

"Raf, lo inget gak? Waktu SMA, kita pernah di hukum bersihin toilet gara-gara si Boby ngadu, kita olahraganya gak bener?"

"Terus, lo inget gak kita jadian di tukang Cilok? Udah lama banget ya, Raf ternyata?"

Lily menempelkan pipinya di punggung tangan Raffa dengan mata yang menatap ke arah wajah cowok itu. "Gue gak tau udah berapa banyak gue bikin lo kecewa. Yang lo lakuin cuman senyum terus bilang gak papa. Dan ujungnya selalu sama, lo selalu salahin diri lo sendiri dan minta maaf, padahal yang salah gue."

"Gue egois banget kan, Raf?" Lily mencium punggung tangan Raffa pelan.

Namun, tak ada satu jawabanpun yang terdengar dari mulut Raffa. Cowok itu masih setia memejamkan matanya.

"Ly, lo pulang gih, biar gue sama Riffa yang gantian jaga Raffa."

Lily tak menghiraukan ucapan Boby yang baru saja sampai.

Riffa juga merasa kasihan melihat Lily begitu. Gadis itu terlihat benar-benar menyesal atas semua yang terjadi pada Raffa.

"Ly," panggil Boby.

"Gue mau nunggu Raffa bangun."

Jawaban yang keluar dari mulut Lily, sontak membuat Riffa dan juga Boby bungkam. Keduanya memilih pasrah dan duduk di sofa.

Dering ponsel yang berasal dari ponsel milik Riffa berbunyi begitu nyaring. Riffa mengangkatnya, "Hallo, Pa?"

"O-Oh, kapan?"

"Iya."

Setelehnya, sambungan terputus. Riffa beranjak dan menghampiri Lily. "Kak."

"Iya?"

"Papa lagi ngurus perpindahan rawat buat Abang," kata Riffa.

Lily mendongak, gadis itu menatap Riffa. "Ke mana?"

"Amerika. Dan kemungkinan Abang bakal tinggal di sana buat beberapa waktu sampai dia benar-benar pulih. Kata Papa, Abang bakal terus-terusan bandel dan bakal terus teledor kalau masih di rawat di sini."

"Abang itu gak bisa diem, Kak. Apalagi kalau banyak orang yang bikin dia nyaman di sini. Di Amerika, Abang Gak begitu banyak temen, dia gak akan bandel dan bakal cepet sembuh di sana," sambung Riffa.

Lily diam beberapa saat. Jadi … Raffa akan pergi ke Amerika lagi? Tapi, sampai kapan?

"Biar Abang sembuh, Kak."

"Raffa di sana sama siapa?"

"Sama Papa," jawab Riffa.

Lily mengangguk. Yasudahlah, ini juga demi kesembuhan Raffa. Benar apa kata Riffa, Raffa tidak bisa diam, dia akan terus pecicilan jika masih tinggal bersama orang-orang terdekatnya.

Di Amerika Raffa tidak punya banyak teman. Itu artinya, jika berada di sana kemungkinan untuk Raffa diam dan tidak banyak tingkah semakin besar.

"Raffa berangkat kapan?"

"Lusa."

TBC

DADAH RAFFA!

Gimana kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Raffa

Bintang

Deva

lily

Riffa

Boby

Bentar lagi end nih wkwk, kalaupun endingnya gantung, kalian tenang aja … masih ada gengsi dong 3 yang bakal nemenin kalian nanti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro