Dua puluh dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Bintang menatap Raffa tajam. Cowok itu berdecak pelan ketika Raffa sama sekali tak beranjak di samping Deva.

Bahkan, Raffa terlihat tak perduli dengan kepergian Lily yang secara tiba-tiba.

Lain halnya dengan Boby, ia merasa, tatapan Raffa ke arah Deva kosong. Raffa terlihat tengah memikirkan sesuatu dan mengalihkannya dengan cara mengelus tangan Deva.

"Raf, lo gak seharusnya bilang gitu ke Lily. Gue tahu lo sama dia suka bercanda, tapi omongan lo barusan keterlaluan." Bintang mulai membuka suara. Antara kesal karena Raffa tak kunjung menjauhkan tangannya dari Deva, dan juga menyampaikan pendapatnya.

"Nyakitin dia?" tanya Raffa menatap Bintang.

"Ya."

Raffa tertawa pelan. Cowok itu menganggukkan kepalanya. "Iya, keterlaluan banget, ya? Perasaan kan bukan buat candaan ya, Tang?"

Bintang diam. Cowok itu melipat kedua tangannya di depan dada seraya mengangkat sebelah alisnya menatap Raffa.

"Ya."

Boby yang melihat aura permusuhan yang dikeluarkan Bintang, akhirnya memilih menengahi mereka. "Gini, deh, gue tanya sama kalian. Kalian suka Deva?" Boby menatap Bintang dan Raffa secara bergantian.

"Suka." Keduanya serempak menjawab. Namun, tatapan Raffa dan juga Bintang saling terlempar tajam.

"Waduh!" Boby melotot seraya memegang kepalanya merasa pusing.

Baru kali ini persahabatan mereka diuji karena dua di antaranya menyukai orang yang sama.

"Lo bercanda, Raf." Bintang menunjuk Raffa tak terima.

Raffa mengambil tongkatnya, kemudian ia todongkan ke arah perut Bintang. "Gue tusuk lo, Star!"

"Heh, buset! Turunin!" Boby memekik histeris.

Raffa memutar bola matanya kesal. Ia memilih melipat kedua tangannya di dada dan bersandar pada kursi.

"Raf, lo sadar gak? Permasalahan lo sama Lily itu belum selesai, kalian belum pernah bahas kesalahpahaman kalian, kan? Gini deh, gimana bisa lo jalin hubungan sama cewek lain kalau masa lalu lo aja belum bener-bener selesai," kata Boby.

"Gue tahu lo pengalaman karena gak bisa move on dari Adik gue. Tapi sorry, gue gak ada niatan cari cewek lain."

Boby menganga tak percaya. Bukannya tadi Raffa bilang, dia suka Deva? Lantas, suka yang Raffa maksud itu apa jika tidak ada niatan untuk menjalin hubungan dengan gadis itu?

"Raf—"

"Apaan, sih?! Gengsi dong, gue gak suka diceramahin!" Raffa berdecak sebal.

Cowok itu meraih tongkatnya kemudian berjalan ke arah luar. Dengan susah payah, Raffa memilih duduk di kursi koridor rumah sakit sendirian.

"Banyak bacot banget si Boby, dia kira gue cowok apaan nyari cewek secepat itu? Dia kira gue kadal cap badak bercula satu kayak dia?" Raffa mendumel sebal.

Tak lama, sosok yang tidak Raffa inginkan muncul. Cowok itu kembali berdecak kala tuyul Ompong melambaikan tangan ke arahnya.

Jangan lupakan Om Ocong yang tengah melompat ke arahnya.

"Ngapain, sih?!" tanya Raffa.

"Yaelah, Cil. Sensi banget, padahal kita ke sini datang secara baik-baik ya, Pong?" Om Ocong menatap ke arah Tuyul Ompong dengan tatapan sedih.

Si Tuyul Ompong itu mengangguk. "Bener banget! Masa iya kita dimarahin. Om Acil kurang vitamin. KS, nih!"

"KS? Apaan?"

"Kasih sayang."

Raffa mengerjapkan matanya. Kasih sayang katanya? Mohon maaf, Raffa punya Dena yang selalu memberikan kasih sayangnya sepenuh hati.

"Emak gue lebih dari cukup ngasih—"

"Kalau Tante Lily?" Tuyul Ompong menaik turunkan alisnya.

Raffa berdecak. Lily lagi, Lily lagi!

"Cil, lo harus ngomong deh sama si Bunga Bangke lo itu. Jangan bikin mereka salah paham sama apa yang lo omongin." Om Ocong menatap Raffa serius.

Raffa menghela napasnya. Tentu saja Om Ocong tahu semuanya, dia tahu apa yang Raffa rasakan, dia juga tahu siapa yang ada di hati Raffa sebenarnya.

"Gak usah sok tahu! Gengsi dong—"

"Bima pernah cerita, Cil. Dia kehilangan Emak lo karena telat ungkapin perasaannya. Dia meninggal, ninggalin Emak lo, Emak lo tahu perasaan Bima dari orang lain. Akhirnya dia ninggalin Emak lo, sama kesedihan juga."

"Lo doain gue meninggal kayak Om Bima, gitu?"

Om Ocong tertawa. "Semua orang bakalan meninggal, Cil."

***

Raffa turun dari taksi. Cowok itu menatap ke arah rumah yang sudah lama sekali tak ia kunjungi.

Raffa menatap kanan kiri, kemudian menyeberang jalan dan berjalan dengan bantuan tongkat untuk memasuki gerbang rumah itu.

Saat sampai di depan pintu, tangan Raffa terulur mengetuk pintu itu dengan pelan.

"Punten."

"Assalamualaikum, buka kek! Capek nih gue!" teriak Raffa kesal.

Tak lama, pintu terbuka menampakan sosok Lily yang terbengong. Ini serius Raffa datang ke rumahnya?

Raffa mengusap rambutnya ke belakang. "Terpesona ya, Ly?"

"Apaan sih? Ngapain ke sini? Sama siapa?" tanya Lily seraya menatap ke arah gerbang. Namun, ia tak menemukan siapa-siapa.

"Sendirianlah. Lo kira gue sama siapa? Oh, lo ngarep gue ke sini sama Bintang? Lo kan akhir-akhir ini deket sama si Bintang, lo suka sama dia, hah? Gengsi dong, masa—"

Raffa menghentikan ucapannya. Cowok itu menatap Lily yang diam tanpa mengatakan apa-apa di depannya.

Raffa akhirnya menarik napas pelan dan mengembuskannya. "Maaf," lirih Raffa.

"Buat?"

"Soal tadi. Bintang bilang, gue keterlaluan," jawab Raffa.

Cowok itu menatap ke arah dalam. Kemudian, ia beralih menatap Lily. "Kita selesaikan semuanya sekarang ya, Ly? Boleh ngobrol di dalem?"

Lily mengangguk. Gadis itu mempersilahkan Raffa untuk masuk ke dalam rumah.

Raffa tersenyum tipis dan memilih berjalan ke kursi tamu dan duduk di sana.

"Mau minum apa?" tanya Lily.

"Gak usah. Om Rizki sama Tante Ivi ke mana?"

"Ada acara. Gue di rumah cuman sama Billy, tapi dia baru aja tidur."

Raffa menganggukkan kepalanya. Tangan Raffa terulur menepuk sebelahnya. "Duduk sini, Ly."

Lily diam beberapa saat. Gadis itu mengangguk dan memilih duduk di samping Raffa.

Raffa merapikan rambut Lily lembut. Matanya menatap sangat lekat seolah tak ada hari esok untuk Ia menatap gadis itu lagi. "Mau gue dulu, atau lo dulu yang jelasin soal kita, hm?"

"Gue yang salah, Raf. Harusnya gue percaya sama lo, bener kata Boby gue terlalu cepet ambil kesimpulan, dari dulu. Dan dari dulu, itu kan yang bikin hubungan kita hancur?" Lily menatap Raffa dengan pipi yang terasa memanas karena Raffa tak menghentikan perlakuannya.

Cowok itu berdehem pelan dan mengangguk. "Terus? Alasan lo jadian sama Azriel?"

"Lo gak ada kabar, lo gak kasih gue kepastian," Cicit Lily.

Raffa menghela napasnya. Cowok itu menjauhkan tangannya dan menunduk. "Gue tahu, gue ke sini mau jelasin itu."

"Gue terlalu semangat buat buktiin semuanya sama lo, Ly. Sampai gue lupa, perjuangan gue bakal sia-sia kalau gue menghilang kayak kemarin. Hubungan bakal lancar kalau kita saling kasih kabar, kan? Dan gue gak kasih lo itu. Gue sadar, di sini yang salah gue. Bukan lo."

"Wajar kok lo lakuin itu. Lo gak salah nerima Azriel, lo gak salah sama sekali, Ly. Gue minta maaf, ya? Selama ini lo sering disalahin atas kesalahan gue." Raffa mendongak dan menatap Lily seraya tersenyum merasa bersalah.

Lily mengangguk pelan. Gadis itu membalas senyum Raffa. "Gak papa."

"Jadi, sekarang kita tahu kesalahan kita masing-masing, kan?" tanya Raffa.

Lily mengangguk.

"Terus, perasaan lo ke gue sekarang gimana, Ly?" tanya Raffa.

Lily diam beberapa saat. Gadis itu mengembuskan napasnya pelan. Lily harus jujur atau bagaimana? Raffa saja, terlihat menyukai Deva sekarang.

Jika Lily jujur, yang ada hanya membuat dia sakit hati sendiri.

"Gue—"

"Gue masih sayang sama lo, Ly." Raffa memotong ucapan Lily seakan tahu apa yang gadis itu pikirkan.

Lily mengerjapkan matanya. Gadis itu menatap Raffa tak percaya. "Gak usah kaget gitu, gengsi dong, gue jauh-jauh ke sini tapi gak dapet hasil. Ya … minimal gue ngomong yang sebenernyalah!"

"Raf—"

"Apa? Gak percaya? Yaudah, gak perduli gue, Ly."

Lily menampar pipi Raffa gemas. Raffa melotot ke arah Lily tak terima. "Apaan, sih?!" Raffa memekik kesal.

"Lo yang apaan? Masa ngungkapin perasaan kayak gitu! Gak pernah berubah emang, ya! Sebel banget gue sama lo!" Lily melipat kedua tangannya di depan dada dengan punggung yang bersandar pada kursi.

Wajahnya menatap ke arah lain menghindari Raffa.

Raffa menghela napas kesal. Raffa kan enggak bisa romantis! Lantas, sekarang ia harus bagaimana?

Lompat dari atas gedung sambil teriak I Love you, Lily, begitu?

Raffa menyentuh bahu Lily dan memaksa gadis itu menatap ke arahnya. Raffa menatap gadis itu lekat, "Ayo nikah."

"Heh!" Lily melotot.

Raffa mendengkus kesal. "Gue lupa, kaki gue masih lumpuh. Gue gak mau repotin lo, nikahnya di pending. Nanti aja."

Lily tak habis pikir dengan apa yang Raffa ucapkan. Beginilah jika sudah berbaikan, Raffa akan kembali menjadi manusia menyebalkan.

Raffa meraih tangan Lily dan menggenggamnya. "Perasaan gue ke lo gak pernah pudar sedikitpun, Ly."

Tangan Raffa naik menyentuh rahang Lily dengan lembut. Matanya menatap wajah gadis itu dengan lekat.

Dari mulai mata, hidung, pipi, kemudian jatuh pada bibir. Ibu jari Raffa mengusap bibir gadis itu, menekannya, dan mata Raffa memicing memperhatikan lebih seksama.

Kemudian, Raffa menelan ludahnya sendiri. Tanpa sadar, Raffa menjilat bibir bawahnya sendiri dengan mata yang masih fokus pada bibir gadis itu.

Lily diam merasa gugup. Ia menatap Raffa dengan wajah yang mulai terasa panas. Apalagi, ketika melihat Raffa menjilat bibirnya sendiri di depannya, malah membuat Lily semakin gugup.

Ingin menjauh, tapi tubuhnya terasa kaku.

"Lo cantik banget, Ly," ucap Raffa lirih.

Raffa mendekatkan wajahnya ke samping telinga gadis itu. Lily memejamkan matanya kuat kala merasakan hidung Raffa yang menggesek di sana. "Boleh, gak?" bisik Raffa.

"H-Hah?" Suara Lily tertahan. Jantungnya berdebar tak karuan ketika Raffa mengusap leher Lily dengan sangat pelan.

Raffa kembali menatap wajah Lily yang semakin memerah. Ia tersenyum. Senyumnya biasa saja, tapi entah kenapa Lily merasa itu terlihat menggodanya.

"Raf—"

Belum sempat Lily menyelesaikan ucapannya, bibir Raffa sudah mendarat tepat di bibirnya. Tangan Raffa juga ikut serta menekan tengkuk Lily.

Raffa menjauhkan wajahnya. Namun, tidak dengan kening mereka yang saling menempel. Puas melihat wajah kaget Lily, Raffa kembali memiringkan wajahnya dan kembali menempelkan bibir mereka.

Semakin menekan tengkuk Lily, Raffa melumat bibir atas gadis itu dengan lembut namun terkesan menuntut.

Raffa mengerutkan dahinya merasa tak nyaman. Kemudian, Raffa memiringkan wajahnya ke arah lainnya. Bibirnya berpindah melumat bibir bawah gadis itu dengan lembut.

"I Love you, Ly," ucap Raffa di sela-sela ciumannya.

Kemudian, Raffa semakin tidak terkontrol. Semakin ke sini, Raffa menuntut Lily untuk ikut serta bermain dengannya.

Tangan Raffa meraih tangan Lily untuk meremas bahunya. Dan Lily refleks meremas bahu Raffa ketika Raffa semakin memperdalam permainannya.

"Hiyaaaaa! Razengkan!"

Raffa tersentak ketika mendengar suara pekikan. Cowok itu sontak menjauhkan wajahnya dan membuang arah pandangnya merasa malu.

"Dosa, Cil. Gue minta lo ke sini bukan buat gitu."

Raffa berdecak kesal kala melihat Om Ocong di depan pintu. Raffa sontak menatap ke arah Lily yang tengah tertunduk malu.

"Ly," panggil Raffa pelan.

Oke, Raffa siap ditampar sekarang.

Namun, yang Raffa lihat, Lily malah membuang arah pandangnya enggan menatap Raffa.

"Ly," panggil Raffa khawatir.

Kan tidak lucu mereka marahan padahal baru saja baikan.

"G-Gue minta maaf."

"Ly, jangan gini dong. Tampar gue gak papa, deh." Raffa menyentuh bahu Lily agar gadis itu menatap ke arahnya.

"Nah loh! Syukurin, Om. Nekat sih," ujar Tuyul Ompong pada Raffa.

Raffa berdecak kesal. Cowok itu masih berusaha membuat Lily menatap ke arahnya.

Tanpa di duga, Lily malah memeluk Raffa. Gadis itu menangis di dadanya dengan pelan.

"Ly?"

"Malu, Raf."

Raffa menganga tak percaya. Ia kira, Lily akan memaki-maki Raffa karena sudah berlaku seenaknya.

Lily mendongak, gadis itu mengusap air matanya kesal.

PLAK!

Raffa memejamkan matanya merasakan panas di bagian pipi akibat tamparan Lily.

"Pulang sana!"

TBC

Raffa suka Deva, tapi katanya perasaan dia ke Lily gak pernah hilang. Ini si Raffa jadi pakboi atau gimana? T.T

Gimana kesan setelah baca part Ini?

Ada yang ingin di sampaikan untuk Raffa

Bintang

LiLy

Boby

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro