Dua puluh satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dua minggu berlalu. Selama itu pula, Bintang, Boby, dan Lily tidak pernah absen datang ke rumah Raffa hanya untuk mengajari Raffa berjalan.

Selama itu pula, Raffa sudah tak pernah bertemu dengan Deva. Sudah berkali-kali Raffa mencoba menghubungi gadis itu, namun tak pernah mendapatkan jawaban sama sekali.

Saat ini, Raffa sudah bisa berjalan menggunakan tongkat pemberian sahabatnya.

Duduk di teras rumah, dengan ponsel di tangannya, Raffa menghela napasnya kala Deva yang lagi dan lagi tak mengangkat panggilannya.

"Dev, lo ke mana, sih?" gumam Raffa kesal.

Raffa meraih tongkatnya, kemudian ia memilih masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang masih sama dengan kemarin-kemarin.

Kacau.

"Deva kan udah lama resign, ya mau gak mau harus cari pengganti. Gak tahu juga kabar itu ajak gimana."

Raffa menghentikan langkahnya kala mendengar suara Fatur. Cowok itu memilih diam menatap ke arah Bintang dan juga Papanya yang tengah duduk di sofa ruang tamu.

"Deva masuk rumah sakit, Om. Udah sekitar dua minggu yang lalu," kata Bintang.

Raffa diam, jika Bintang mengetahui ini, mengapa dia tak pernah memberitahu Raffa?

Fatur juga sama kagetnya. Pria itu mengerutkan alisnya, "Jangan bercanda kamu."

"Bintang gak bercanda. Deva punya penyakit jantung, yang jelas kata Dokter dia butuh donor secepatnya. Tapi sampai sekarang belum nemu yang cocok buat Deva."

Raffa tertawa miris. Di saat Raffa rapuh, Deva selalu ada untuknya. Dan sekarang, di saat Deva sakit, Raffa sama sekali tak mengetahuinya.

Ini tidak adil. Raffa terus menerus menjadi orang bodoh yang menghubungi Deva berkali-kali, padahal Bintang mengetahui dimana keberadaan gadis itu.

"Kenapa lo gak pernah kasih tau gue, Tang?"

Bintang mendongak, cowok itu terlihat kaget dengan keberadaan Raffa di sana.

Raffa berjalan mendekat. Cowok itu duduk di sofa dan menyimpan tongkatnya. "Gila lo, Tang! Gue nyariin Deva, Tang. Lo tahu tapi lo gak ngomong, mau lo apa?!"

"Lo juga lagi sakit, Raf."

"Kaki gue yang sakit! Gue masih bisa duduk si samping Deva cuman buat temenin dia, Tang!" teriak Raffa marah.

Mata Raffa memerah menahan sedih dan juga amarah. Tangannya mengepal kuat, "Sejak kapan lo tahu Deva di sana?" tanya Raffa.

"Pertama kali dia masuk ke sana."

"Gila emang!"

"Raf! Lo lagi sakit, Gue gak mau cuman karna Deva, lo gak mau berjuang buat rasa sakit lo. Gue mau kasih tahu lo setelah lo sembuh, gue gak maksud tutupin semuanya dari lo," jawab Bintang.

Raffa memejamkan matanya kuat. Cowok itu menyandarkan kepalanya pada kepala sofa.

"Anter gue ke sana, Tang."

Bintang mengepalkan tangannya. Cowok itu menatap Raffa dengan pandangan tak terima. Ia ingin egois, ia ingin dirinya saja yang menjaga Deva.

Namun, Raffa juga temannya, Raffa juga sama dengan Bintang. Mereka menyayangi gadis yang sama.

Apalagi, selama ini keluarga Raffa yang sudah menolong Deva. Mana mungkin Bintang menolak permintaan Raffa sekarang.

"Yaudah."

"Kalau mau bersaing, yang sehat-sehat aja, ya. Gak usah sampai musuh-musuhan," pesan Fatur.

Raffa dan Bintang mengernyit, keduanya menatap ke arah Fatur. "Apaan sih, Pa?"

"Kamu, segitunya banget marah sama Bintang. Kamu suka kan sama Deva?"

Raffa diam, cowok itu memilih mengambil tongkatnya dan berdiri. "Apaan sih? Raffa masih marah ya sama Papa! Apaan, coba? Deva resign gak bilang-bilang."

Melihat sikap Raffa yang selalu menghindar ketika ditanya suka Deva atau tidak, sudah cukup membuat Bintang paham kalau Raffa … memang memiliki perasaan pada Deva.

***

Raffa duduk di samping brankar Deva. Tangannya terulur merapikan rambut gadis yang masih terbaring dengan mata terpejamnya di sana. "Dia belum pernah sadar, Tang?" tanya Raffa.

Bintang mengedikan bahunya. Cowok itu membuang arah pandangnya ke sembarang arah.

"Dev, gue minta maaf Gak pernah dateng. Si Bintang tuh gak pernah kasih tahu gue, kampret emang."

"Apaan sih?" sahut Bintang tak terima.

Raffa mengangkat sebelah alisnya. "Ngegas amat, Gengsi dong, udah salah gak mau ngaku lagi. Gue masih marah ya sama lo, Tang!"

"Gak perduli," jawab Bintang.

Raffa memicingkan matanya. Mengapa Bintang ketus sekali? Padahal, biasanya tidak pernah begitu. "Sejak kapan lo deket sama Deva?"

"Bukan urusan lo."

"Gue cuman nanya Tang, Obeng, Gergaji dan segala perkakas lainnya," ujar Raffa gemas.

Bintang mengedikan bahunya tak perduli. Ia memilih berjalan ke arah sofa dan duduk di sana sendirian.

Raffa kembali menatap ke arah Deva, wajah cantik itu terlihat sekali tak terurus, pipi Deva juga sekarang menjadi tirus.

"Bangun, Dev, si Bintang kangen," ucap Raffa.

Bintang tak menyangkalnya sama sekali. Yang ia lakukan hanya diam menatap Raffa di sana.

"Dia suka sama lo, Dev. Tapi gengsi dia kegedean. Gak tau takut kalah saing sama gue, secara kan gue lebih ganteng daripada si Bintang."

"Gantengan gue," sahut Bintang.

Raffa menoleh, cowok itu mengangguk setuju. "Iya, gantengan gue."

Pintu ruangan terbuka menampakan Boby dan juga Lily. Tubuh Lily menegang melihat Raffa yang tengah menggenggam tangan Deva.

Namun, gadis itu memilih tersenyum tipis. Ia akhirnya berjalan ke arah Bintang dan memilih bergabung duduk di sana.

"Cemburu gak, Ly?" tanya Raffa seraya mengangkat tangannya yang tengah menggenggam tangan Deva.

Lily tak menjawab. Gadis itu memilih diam saja. Selama dua minggu ini juga, hubungan Lily dan juga Raffa kian membaik.

Namun, Raffa tak membuat tanda-tanda akan mengajak Lily balikkan. Ya, begitu-begitu saja. Mereka kembali dekat benar-benar hanya bersahabat seperti dulu.

"Ditanya sama mantan, Ly. Jawab, kek."

"Oh lupa, Si Bunga Bangke kan sukanya sama si Azriel. Iya gak?" Raffa menaik turunkan alisnya.

Lily melotot, enak saja!

"Fitnah itu!"

"Gengsi dong, masa anak ganteng Fitnah. Gak boleh itu," jawab Raffa.

Raffa kembali menatap ke arah Deva. Tangan Raffa lagi dan lagi terulur merapikan rambut Deva.

Lily membuang arah pandangnya. Begitupun juga dengan Bintang. Keduanya sama-sama enggan menatap ke arah objek di depannya.

Boby yang menyadari itu, tertawa pelan. "Cemburu bilang, Bos," sindir Boby.

"Siapa yang cemburu?" tanya Raffa menyahuti.

Boby menunjuk Bintang dan Lily. Raffa tertawa, "Gue tahu sih, gue ganteng, Deva cakep. Emang udah cocok banget jadi suami isteri. Kalian gak usah iri," kata Raffa.

"Sok ganteng," cibir Lily yang sebenarnya cemburu saat Raffa mengatakan itu.

Raffa menaikan sebelah alisnya. "Bunga bangke, lo cemburu?" tanya Raffa.

"Enggak."

"Yaudah sini!" Raffa meminta Lily untuk berdiri di sebelahnya.

Lily menurut, gadis itu beranjak kemudian berjalan ke arah Raffa dan berdiri di sampingnya.

Raffa meraih tangan Lily dan menggenggamnya. Tangan Raffa yang lain, menggenggam tangan Deva. "Seneng banget lihat dua calon isteri gue akur," ujar Raffa.

Lily menarik tangannya kesal. Gadis itu memukul pundak Raffa. "Apaan, sih?!"

"Bercanda, Ly. Baperan amat."

"Raf, lo sebenernya masih suka sama Lily atau suka sama Deva, sih?" tanya Boby heran.

Raffa diam. Cowok itu menatap ke arah Lily yang juga menatap ke arahnya.

"Suka Lily."

Lily membelakkan matanya. Ini serius, Raffa bilang begini?

"Suka pengen mukul," sambung Raffa.

Lily membuang arah pandangnya. Baru saja ia merasa senang Raffa berkata begitu.

"Gue balik duluan deh kayaknya. Gue lupa harus jemput Billy di rumah Nenek gue." Lily memilih melangkah pergi meninggalkan ruangan tanpa mengatakan apa-apa lagi.

Raffa diam, cowok itu menatap ke arah pintu yang sudah tertutup kembali.

"Gila lo, Raf. Anak orang baper," sahut Boby.

Raffa memejamkan matanya kuat. Ia masih ragu pada Lily, ia takut Lily masih menyukai Azriel dan kembali mengabaikan Raffa.

Raffa sudah lelah berjuang dan mengharapkan orang yang tak mau bersamanya.

TBC

Tinggal beberapa part Lagi tamat nih, udah siap belum pisah sama Raffa?

Shipper mana nih?

#RaffaLily

#RaffaDeva

#LilyBintang

#BintangDeva

Ada yang ingin disampaikan untuk Raffa?

Lily

Deva

Bintang

Boby

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro