Sembilan belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bintang membantu Raffa mendorong kursi rodanya. Hari ini Raffa sudah boleh pulang, akan tetapi … Lily masih berada di kampusnya, dan Boby, masih sibuk menerima job pemotretan. Itu sebabnya saat ini hanya Bintang yang menemani Raffa.

Raffa menatap suasana rumahnya. Cowok itu menghela napas pelan, "Tang, lo bisa dorong kursi roda naik tangga gak? Gue pengen tidur di kamar gue."

"Gak usah banyak tingkah. Tidur di kamar bawah aja," sahut Fatur yang baru saja masuk. Di belakangnya, ada Deva yang berjalan mengikuti langkahnya.

Raffa sontak mengembangkan senyumnya. Cowok itu melambaikan tangan, "Dev!"

"Pak." Deva tersenyum sopan.

"Ayo, Dev, ke ruangan saya," ajak Fatur.

Raffa memicingkan matanya. "Ngapain, Pa?"

"Kamu mau Mama baru, Raf?" Fatur balik bertanya.

Raffa melotot, cowok itu menggeleng kuat. Enak saja!

"Pa! Deva terlalu muda, dia cocoknya sama Raffa!" jawab Raffa.

Deva dan juga Bintang menatap kaget ke arah Raffa. Sadar akan hal itu, Raffa menatap keduanya secara bergantian. "Apa? Gengsi dong! Gitu aja kaget. Padahal maksud gue Deva cocoknya sama orang sepantaran gue."

"Kirain," sahut Bintang pelan.

"Kenapa lo? Suka juga sama Deva?"

"Juga?" Deva menatap Raffa heran.

Raffa menghela napasnya pelan. "Pa, Raffa pinjem slogan," izin Raffa.

Fatur melipat kedua tangannya di depan dada. Pria itu menatap putranya yang tengah menatap songong ke arah Deva.

"Jangan Geer! Suka yang gue maksud, gue suka banget curhat sama lo. Lo ke mana aja, sih? Kemarin gue telepon gak diangkat sama sekali!" cerocos Raffa.

Deva tersenyum tipis. Bintang yang melihat itu, tentu saja merasa malu. Bisa-bisanya, Raffa bertingkah begitu di depan seorang gadis.

"Ayo, Dev," ajak Fatur.

Deva memilih mengikuti langkah Fatur tanpa menjawab pertanyaan Raffa.

Raffa berdecak kesal. Cowok itu menghela napasnya dan memilih diam.

"Lo suka Deva?" tanya Bintang.

"Jangan banyak tanya. Lo balik sana," usir Raffa tak santai.

Bintang mengedikan bahunya tak acuh. Cowok itu melipat kedua tangannya di depan dada seraya menatap tajam ke arah Raffa. "Sama-sama."

"Mau banget dapet ucapan makasih dari gue?" tanya Raffa.

Bintang berdecak pelan. Cowok itu akhirnya memilih melangkah pergi meninggalkan Raffa. "Bilang Tante Dena, gue balik."

"Nyokap gue gak akan nyari lo!" sahut Raffa.

Setelah Bintang tak lagi terlihat, Raffa memilih menyentuh Roda dan mendorongnya pelan agar melaju.

"Ribet banget!" kesal Raffa.

Tak lama, Deva dan Fatur keluar dari dalam ruangan. Mereka terlihat berjabat tangan. Setelahnya, pandangan Deva teralih pada Raffa yang terlihat kesusahan.

Gadis itu memilih pamit pada Fatur dan membantu Raffa dengan cara mendorong kursi rodanya. "Biar saya bantu, Pak."

"Eh? Boleh-boleh," kata Raffa.

"Ke ruang tamu, Dev. Gue mau ngobrol sama lo," ujar Raffa.

Fatur yang melihat itu, memilih masuk ke dalam kamarnya. Biarkan saja mereka mengobrol sesuka hati, saat Fatur masih muda dulu, ia juga tidak suka diganggu ketika tengah bersama teman-temannya.

Deva dan juga Raffa berhenti tepat di ruang tamu. Deva duduk, Raffa menatap gadis di depannya itu dan memicing. "Kemarin lo ke mana?"

"Ada, Pak."

"Iya gue tahu lo masih ada di Bumi. Letak tempatnya di mana?"

"Ada, Pak."

Oke! Sepertinya, selama bekerja dengan Raffa, Deva ketularan menjadi orang menyebalkan seperti dirinya.

"Kemarin Lily tengok gue, Dev. Tapi dia gak jelasin apa-apa sama gue."

"Apa Bapak jelasin sesuatu juga sama Lily?" tanya Deva.

Raffa menggeleng. Cowok itu menghela napas pelan. "Takut gak diterima dengan baik. Gue sadar, Dev, yang salah kan gue. Kalau aja gue kasih kepastian, sama kasih kabar sama Lily, gue yakin semuanya gak akan jadi runyam kayak gini."

"Pak, cara menyelesaikan masalah itu ya ngomong. Kalau Bapak sama Lily sama-sama diem dan gak mau memulai, semuanya gak akan pernah selesai."

Raffa diam beberapa saat. Apa yang Deva katakan benar.

"Nanti gue coba."

Deva tersenyum tipis dan mengangguk. Namun, Raffa sepertinya menyadari sesuatu hal, mata Raffa memicing menatap wajah Deva. "Kok muka lo pucet, Dev? Lo sakit?"

Deva sontak membuang pandangannya ke arah lain. Gadis itu beranjak dari duduknya. "Pak, saya ada perlu. Udah ditunggu sama orang, saya duluan, ya!"

"Deva!"

Namun, Deva sama sekali tak menghentikan langkahnya. Raffa menghela napas pelan, baru saja dirinya bertemu lagi dengan Deva, gadis itu malah pergi secara buru-buru meninggalkan Raffa.

Deva mengatur napasnya kala sudah sampai di depan gerbang rumah Raffa. Gadis itu menyentuh dadanya yang terasa sakit.

Tak lama, sebuah mobil yang hendak memasuki gerbang, berhenti. Seorang cowok keluar dari dalam sana dan menyentuh bahu Deva. "Deva?"

Deva mendongak. Ia mengerutkan alisnya.

"Gue Boby, temannya Raffa. Lo kenapa?" tanya Boby yang sadar jika Deva sepertinya lupa padanya.

"S-saya gak papa."

Namun, tak lama setelahnya, tubuh Deva ambruk di pelukan Boby. Boby melebarkan matanya, cowok itu sontak menepuk pipi Deva beberapa kali. "Dev …."

Tanpa pikir panjang, Boby akhirnya memilih membawa Deva masuk ke dalam mobil.

***

Lily masuk ke dalam rumah Raffa ketika Dena sudah mempersilahkan. Gadis itu tersenyum kala mendapati Raffa yang tengah duduk di ruang tamu seorang diri.

"Cilok." Lily menyimpan kresek tepat di depan Raffa.

Raffa mendongak. Cowok itu langsung membuang arah pandangnya ke sembarang arah.

Ia belum siap berbicara dengan Lily.

"Lo udah makan, Raf?" tanya Lily.

Raffa tak menjawab. Cowok itu memilih diam seraya menatap ke arah dinding.

Lily tersenyum tipis. Gadis itu menyentuh luka Raffa di bagian wajah. Sontak, Raffa menepisnya. "Apaan sih, Ly?"

"Maaf, sakit, ya?"

Lily menghela napasnya pelan. Gadis itu memilih duduk di sofa. "Gue minta maaf soal kejadian Azriel, Raf."

"Harusnya gue gak nerima gitu aja ya, Raf? Lo pasti sakit hati banget, kan? Lo juga kecelakaan kayak gini karena gue kan?"

Raffa diam, cowok itu mengedikan bahunya tak acuh.

"Gue mau ke kamar. Gue capek banget, baru pulang dari rumah sakit. Lo kalau mau pulang, pulang aja. Nyokap gue ada di depan, kan?"

"Raf—"

Raffa memilih melajukan kursi rodanya ke arah kamar.

Raffa masih belum siap jika harus membicarakan semuanya dengan Lily. Raffa takut ia tak bisa mengontrol emosinya, terlebih, Raffa baru saja sembuh. Ia tidak mau dirinya mendadak drop hanya karena membahas masalah ini.

Maaf, Ly.

TBC

Hallo! Gimana? Semoga suka ya … huhu

Ada yang ingin disampaikan untuk Raffa

Lily

Deva

Boby

Bintang

See you!

Baca juga cerita baruku judulnya :

Kala : Pertaruhan

Blurb :

Angkasa tak pernah berinteraksi dengan siapapun. Yang Clara lihat tiap kali dirinya ke kantin, cowok itu diam seorang diri di pojokan dengan earphone yang seringkali ia gunakan. Angkasa juga dikabarkan pengguna barang haram sejenis narkoba.

Namun, suatu hari, Clara menolong Ibu Angkasa yang tasnya dijambret. Siapa sangka, kejadian itu adalah awal di mana Clara mengenal sosok Angkasa lebih jauh.

"Sa, lo bukan psikopat kan?"

"Kalaupun iya, gue gak akan ngaku di depan lo secara terang-terangan, Clara."

Clara meringis pelan. Benar juga! Mana mungkin para psikopat mengaku secara terang-terangan.

Perlahan, Clara mengetahui semua alasan di balik sikap Angkasa.

Tapi itu tidak adil untuk Angkasa. Di saat Clara mengetahui semua tentangnya, Angkasa justru sama sekali tidak mengetahui sosok seperti apa Clara sebenarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro