55 | Saling Menyakiti

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bonekanya sangat cantik," puji Vienna kecil ketika melihat boneka rajut milik Grisella. Boneka itu berbentuk beruang yang terbuat dari benang rajut berwarna pink muda dengan mata dari kancing yang besar kecil, terlihat lucu. Ketika itu, Vienna dan Grisella masih terlalu lugu untuk bisa mengerti dunia. 

"Cantik bukan? ini dibuat oleh nyonya untuk aku." ucap Grisella kecil. Vienna tidak senang, kenapa boneka secantik itu harus dimiliki oleh Grisella? Apalagi, boneka itu dibuat oleh Anasthasia, mamanya sendiri. 

"Salah, seharusnya boneka ini milik aku. Pasti kau mencurinya dari mama 'kan?" seru Vienna. 

Grisella kemudian berpikir, "tapi ini diberikan padaku, maka ini milikku," Grisella kecil merasa dirinya tidak bersalah. Dia ingat, Anasthasia memang memberikan boneka beruang itu untuk dirinya, bukan untuk Vienna. 

Vienna yang tidak ingin mengalah, menarik paksa boneka tersebut dari pelukan Grisella. "Tapi yang buat boneka ini adalah mama aku, jadi ini punya aku." tekan Vienna. 

Vienna suka pada boneka itu, cantik dan lucu. Dia terlalu culas, untuk mengetahui bahwa boneka itu memang dimiliki oleh Grisella. Grisella juga sangat menyukai boneka itu. Boneka itu adalah barang tercantik yang pernah dimiliki olehnya. 

Grisella kecil selalu iri dengan Vienna yang hidup bergelimang harta, selalu mengenakan gaun cantik, perhiasan yang berkilau, dan sepatu yang lucu. Vienna juga tampak cantik dengan rambut merahnya yang tergerai, seperti peri yang turun dari langit. Sangat berbanding terbalik dengan Grisella yang mengenakan gaun biasa, sepatu biasa, dan tidak ada perhiasan. Grisella selalu tampak kucel bila di sandingkan dengan Vienna. 

Grisella tentu tidak menerima, boneka itu diambil oleh Vienna. "Tidak! bonekanya punya aku! kembalikan Vienna!" Grisella menarik salah satu tangan beruang. Vienna yang tidak menerima hal tersebut, menarik tangan beruang yang lainnya. 

"Kamu ini! aku udah bilang ini punya aku. Lagian beruang cantik seharusnya sama aku, bukan sama kamu!" kesal Vienna. Mereka berdua tidak ingin mengalah. Sementara para maid mulai berlari melerai keributan dua anak itu. 

Tapi yang lebih menyakitkan, para pelayan itu justru membela Vienna. "Aduh, nona Grisella. Tolong lepaskan bonekanya." Tidak ada yang percaya bahwa boneka itu milik Grisella. Semua lebih percaya kalau boneka itu milik Vienna. Pertengkaran mereka semakin sengit, sementara para pelayan mencoba membujuk Grisella untuk melepaskan boneka tersebut. 

Hingga salah satu dari tangan boneka itu robek, ketika Grisella tidak sengaja menarik tangan beruang terlalu kuat hingga membuatnya terjatuh. Ketika sadar, Grisella mulai menangisi boneka beruang yang rusak dan menyalahkan Vienna, "Huaa! Rusak! Bonekanya rusak!" tangisnya. 

Vienna yang merasa bersalah, malah melempar boneka rusak itu ke arah Grisella. "Aku gak mau bonekanya lagi, sudah jelek. Untuk kamu saja!" Grisella yang mendengar hal tersebut menangis semakin kencang. 

"Ganti! Ganti! Boneka aku rusak! HUAAA!!" tangis Grisella pecah.

Vienna kecil hanya bisa terdiam sambil memandangi boneka beruang yang sudah rusak itu. Padahal dia juga menyukainya, "kalau tadi kau lepaskan, pasti bonekanya masih bagus!" ucap Vienna dengan mata berkaca-kaca.

Semua orang yang saat itu berada di kediaman Drussel wara-wiri akibat tangisan dua anak kecil. Para pelayan sudah mencoba membujuk Vienna dan Grisella, tapi mereka tetap menangisi boneka beruang yang telah rusak.

"Hu..., hu..., bonekanya 'kan dibuat sama mama aku. Seharusnya punya aku, kamu kan bukan anak mama!"

Hari itu, Vienna kecil tidak pernah tahu. Ucapan yang dia lontarkan untuk menyakiti seseorang, suatu saat akan kembali kepadanya.

***

"Kau tidak bisa mengusir aku dan Ibuku. Sekarang Drussel tidak hanya memiliki satu putri. Aku adalah putri di rumah ini!" tegas Grisella.

Grisella menarik tangan Vienna hingga Vienna terjatuh. Grisella tidak lagi peduli ketika Vienna meringis kesakitan, "Karena kau sudah menganggap aku sebagai musuhmu," Grisella bangkit berdiri meninggalkan Vienna dan menatapnya dari sudut mata. "Maka aku juga akan memperlakukanmu sebagaimana musuhku." Grisella pergi berlalu. Menyisakan Vienna seorang diri.

***

"Nona, kenapa bisa sampai lecet seperti ini?" Dorothy mengoleskan obat luka ke telapak tangan Vienna.

"Tidak apa-apa, hanya luka kecil akibat tidak memperhatikan jalan." jawab Vienna.

Sejujurnya, Vienna sudah lelah. Dulu, Vienna punya Grisella sebagai temannya. Dia juga punya Anasthasia yang sangat memanjakannya, dan Xander yang sangat penyayang. Vienna juga punya Forren sebagai pelindungnya. Kehidupan yang sangat sempurna.

Kenapa sekarang,

Aku sendiri?

Dorothy menempelkan kain kasa untuk menutupi luka Vienna. "Sudah, mungkin beberapa hari ini luka nona tidak boleh kena air dulu." Dorothy menepuk kasur Vienna dan merapikan peralatannya. Dorothy tidak tahu, harus bagaimana caranya untuk menghibur Vienna. Dorothy terus menimang-nimang, hingga tanpa sengaja melamun di hadapan Vienna.

"Apa ada yang ingin kau katakan padaku?" tanya Vienna. Dorothy segera menggeleng.

Vienna tersenyum, "Dorothy," panggilnya.

"Ya, nona?"

"Bila...., bila aku harus melakukan sesuatu untuk menjaga keluargaku, sekalipun harus melakukan hal jahat. Apakah kau mau bersama denganku?"

"Tentu saja, saya akan bersama nona. Lagipula, saya tahu nona tidak akan melakukan kejahatan," jawab Dorothy mantap.

"Kalau sampai mempertaruhkan nyawamu? Bagaimana?"

Dorothy menggenggam tangan Vienna dengan lembut, "nona ini. Lagian apa yang bisa nona lakukan, hingga harus mempertaruhkan nyawa? Pokoknya apapun itu, nona harus percaya bahwa saya akan terus bersama dengan nona."

Usapan kecil dari tangan Dorothy menghangatkan hati Vienna. "Aku mengerti," meskipun sebenarnya Vienna merasa sedikit kecewa mendengar jawaban Dorothy. Hanya tidak sesuai dengan ekspektasi Vienna, tapi dia tetap puas.

Dorothy membantu Vienna untuk berbaring di ranjang dan menyelimuti Vienna. Setelah semuanya dirasa sudah cukup, Dorothy segera berpamitan dengan Vienna. Tepat ketika Dorothy membuka pintu, "nona," panggilnya.

"Ya?"

Dorothy menatap Vienna dengan tatapan yang sangat dirindukan Vienna. Tatapan yang selalu Anasthasia berikan padanya. "Namun, jika memang nona melakukan hal besar dan mengharuskan saya untuk mempertaruhkan nyawa, maka saya akan melakukannya. Karena saya percaya pada nona." Dorothy perlahan-lahan menutup pintu kamar Vienna.

Vienna menutup matanya. Dia ingin menangis, tapi air matanya tidak mau keluar. Senyuman seindah bulan sabit terpatri di wajahnya.

"Terimakasih." gumam Vienna dalam tidurnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro