56 | Bantuan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari-hari Vienna habiskan di kamarnya. Vienna hanya akan bertemu Xander, Serena, dan Grisella disaat sarapan. Tidak perlu waktu lama, Xander berhasil mengirimkan Forren kembali ke akademik. Vienna bahkan tidak sempat memberikan salam perpisahan pada Forren. Untung saja, Vienna bisa bekerja sama dengan Abigail untuk memberikan kantung penangkal sihir hitam Serena.

Forren sempat memaksa untuk tinggal bersama Vienna, tapi Forren harus kembali ke akademik. Hanya dengan begitu, Forren mampu menunjukkan diri dan mengambil alih kekuasaan Drussel dari Xander.

Vienna sedang sibuk mengukur beberapa bahan kain untuk menyelesaikan pesanan yang sudah dia terima. Vienna masih belum tahu, kapan butiknya akan dibuka. Penyelidikan kasus masih bergulir, mungkin dalam kurun waktu yang panjang. Vienna sudah memiliki opsi lain untuk lokasi butik yang baru. Jadi dia tidak bisa menunda pekerjaannya.

Lagipula hal itu akan membantu Vienna untuk melonggarkan pengawasan Serena, sembari Vienna mencari cara untuk menguak kejahatan Serena.

Tok~ Tok~

Dorothy mendorong troli ke dalam kamar Vienna. "Nona, calon Marchioness mengirimkan makanan untuk nona," ucap Dorothy. Setelah Dorothy menutup pintu kamar Vienna, dia membuang susu ke kamar mandi dan merendam kue-kue yang dikirimkan Serena ke dalam bak mandi.

"Berani sekali dia mengirimkan makanan ini. Nona tidak boleh memakan makanan yang telah dia sihir." Dorothy sama sekali tidak memikirkan sopan santun ketika mengingat Serena.

Vienna hanya tersenyum, "beruntungnya aku memilikimu. Terimakasih." Vienna memberitahukan Dorothy tentang Serena yang menggunakan sihir hitam dan telah bersekutu dengan iblis.

"Jadi nona akan bekerja sama dengan tuan penyihir?" Vienna mengangguk. Setelah pertemuan mereka dengan Timothy dan Nathaniel di Dolorei, Vienna akan mengikuti rencana mereka. Lagipula tujuan mereka sama, menangkap Serena.

***

"Aku bersedia melakukan apa pun, asalkan Serena mendapatkan hukumannya." Timothy memegangi kepalanya yang terasa sakit. Dia tidak ingin melibatkan Vienna. Namun hatinya juga menjadi tenang. Setidaknya, Vienna tidak akan melakukan hal lain jika dia mau menerima bantuan yang mereka berikan padanya.

Nathaniel menatap Timothy, "katakan saja padanya" ucapnya melalui telepati.

Timothy bereaksi, "kau pikir mudah bagiku? Kalau bukan karena rencanamu, aku tidak akan mau memberitahukan semua ini pada Vienna. Dia bahkan tidak menangis!" Timothy memelototi Nathaniel seakan dia bisa memakan Nathaniel.

"Aku sudah memberimu pilihan. Kita habiskan Serena dengan sekali jentik tapi kau menolaknya karena akan membahayakan menara hitam dan Dolorei. Maka kita hanya punya pilihan kedua, bekerja sama dengan Vienna dan mendorongnya dari belakang." cetus Nathaniel.

"Apa kalian mendengarkan ku?" Vienna terlihat bingung dengan Timothy dan Nathaniel. Mata mereka saling beradu seakan sedang berbicara melalui hati.

"Ah, yah...," Timothy menggaruk tengkuk kepalanya yang terasa gatal.

"tidak ada lagi kata mundur, sudah setengah jalan juga. Lanjutkan saja seperti rencana kita." Timothy mulai bertanya-tanya, apakah Nathaniel sama sekali tidak takut padanya? Timothy merasa semakin hari, Nathaniel semakin berani memerintah. Padahal seharusnya Timothy yang membuat keputusan.

Timothy menatap Vienna dalam, dia sudah memutuskan untuk membantu Vienna. "Baiklah, karena kita memiliki tujuan yang sama maka kita adalah rekan kerja." Timothy mengulurkan tangannya pada Vienna, yang segera di balas olehnya.

"Tapi kenapa iblis itu tidak dapat memakan jiwa mamaku?" Nathaniel mengedipkan matanya. Dia juga tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan Vienna yang satu ini.

"Mungkin..., karena Marchioness terlalu baik? Entahlah. Jika nona Vienna penasaran, saya bisa menyelidiki hal ini lebih lanjut." jawab Nathaniel terkesan asal-asalan.

Vienna ingin memastikan hal yang lain, "Jadi..., Kaligor juga tidak bisa memakan jiwa Forren dan jiwaku?"

"Tentu saja. Sama seperti yang telah kukatakan pada nona." Nathaniel duduk di salah satu meja bar.

Tapi mungkin saja, tidak untuk jiwamu yang sekarang. Batin Timothy menatap nanar pada Vienna. "Meskipun iblis itu tidak bisa memakan jiwamu, tetap saja dia bisa melukaimu. Jangan gegabah, sebaiknya ikuti saja rencana kami." Vienna setuju dengan Timothy.

"Yang paling pertama, kita harus bisa menjebak Serena untuk menunjukkan kekuatan sihirnya di hadapan banyak orang. Dengan begitu menara hitam akan mengambil tindakan pada Serena. Hanya saja tidak mudah bagi orang awam untuk mengetahui apakah itu sihir atau bukan." ucap Nathaniel.

"Bagaimana cara kita melakukannya?" tanya Vienna. Timothy dan Nathaniel saling melempar tatapan.

"Membiarkan Serena dan Marquiss Drussel menikah." jawab Timothy.

Sebuah layar sihir muncul setelah Nathaniel selesai membacakan mantra, "Ini adalah tempat memberikan tumbal dari kelima penyihir yang kukatakan sebelumnya. Serena pasti memiliki tempat seperti ini untuk memberikan tumbal kepada Kaligor. Kita harus mencari ruangan ini, semakin cepat semakin baik. Kornelia, tugas ini sangat cocok untukmu." Vienna menatap orang yang Nathaniel panggil dengan sebutan Kornelia. Entahlah, Vienna merasa pernah melihat Kornelia di suatu tempat.

"Yang paling penting adalah keselamatan. Kau tidak perlu melakukannya jika merasa hal ini terlalu berbahaya, Vienna." Timothy memegang pundak Vienna.

"Aku mengerti, Yang Mulia tidak perlu khawatir. Saya bisa menjaga keselamatan saya sendiri."

***

Vienna menatap salah satu gaun yang telah selesai. Warna hologram dari yang indah dengan hiasan timbul kupu-kupu memberikan sentuhan lembut pada gaun tersebut. Vienna sungguh menyukai hasil karyanya yang ini.

Suara ketukan beruntun menginterupsi Vienna, "Nona! Apa anda ada di dalam?" teriak Abigail dari luar kamar.

"Kenapa Abigail mencari nona?" Dorothy menatap Vienna. Vienna hanya mengangkat bahu, dia juga tidak tahu alasan Abigail mencarinya. Apalagi dengan tergesa-gesa seperti itu.

"Tidak tahu, biarkan saja dia masuk," suruh Vienna. Tanpa perlawanan, Dorothy menuruti perintah Vienna dan membiarkan Abigail masuk ke dalam kamar Vienna.

"Nona, gawat!" seru Abigail.

"Gawat kenapa?"

"Yang Mulia! Dia memutuskan untuk menutup bisnis butik secara permanen!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro