Am I in Love?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Diana gembira nian di pagi akhir pekan ini.

Ditemani secangkir seduhan teh hijau hangat di meja dan sepiring stik kentang hangat, asyik bertelepon dengan seseorang di sofa ruang keluarga.

"Sebenarnya Yuri anak yang baik, Kak. Saat aku menginap saja dia mau berbagi kamar denganku," jelas Diana seraya mencomot satu stik kentang, mencocolkan ke saus tomat, menguyahnya. 

Di seberang telepon itu adalah kakak perempuan Diana, Dina Hadid.

"Hah? Berbagi kamar?" Terjeda sesaat oleh tawa renyah Dina. "Hei! Kau tamu di situ! Wajar sajalah dia mau berbagi kamar denganmu. Mungkin di sana tidak ada kamar kosong khusus untuk tamu," cecarnya.

"Bukan begitu, Kak. Soalnya ada Chan--" Kalimatnya terputus karena mendadak Diana tersedak sebab nyaris keceplosan membawa nama Chanyeon, menjelaskan jika ada Chanyeon di sana, kamar tamunya dipakai Chanyeon.

Terbatuk-batuk, Diana tergesa menyambar teh hijau yang masih mengepul di meja, menyesapnya cepat.

Sial! Itu berhasil membuatnya seperti mendadak tersengat tawon bibirnya, sebab lupa jika panas sekali teh hijau itu.

"Astagfirullah," sebutnya, menjauhkan bibir cangkir dari bibirnya, kemudian meletakkannya kembali ke meja.

"Hei! Ada apa dengamu, Di?" tanya Dina mendapati kegaduhan Diana yang berhasil ia dengar.

"Tidak ada apa-apa, Kak. Aku hanya tersedak stik kentang yang sedang kumakan dan saat aku minum, aku lupa jika teh hijau yang hendak kusesap sangatlah panas. Dan, ya, kau bisa membayangkan apa yang terjadi padaku."

Kemudian Diana tertawa renyah, disusul nyaringnya tawa Dina di balik telepon.

Sesaat ke depan, Diana beringsut ke arah dapur.

"Maksudnya tadi itu, di sana ada tamu juga yang sedang menginap, namanya Chanyeong," jelasnya. Sampai di dapur, membuka kulkas, mengambil botol air mineral.

"Oh," singkat Dina. "Ngomong-ngomong, apakah kau mempunyai ID Line Papa? Bagi dong ...."

Masih berjalan ke arah ruang keluarga lagi, Diana menyahut, "Siap! Nanti pasti aku bagi, Kak." Seulas senyum singgah di bibir Diana.

Sesuai harapan Diana, setelah berhasil bertemu ayahnya, ia akhirnya berhasil memberikan pengertian dan pemahaman baik kepada ibu dan kakaknya, pula Juna--satu-satunya adik Tuan Widjaya yang menjadi Muslim.

Walau lambat, kesabaran memang membuahkan sesuatu yang sangat berharga. Dan orang-orang sabar tidak akan pernah merugi. Diana sudah mendapatkan manisnya kini.

Sesampainya duduk di sofa, Diana membuka tutup botol dengan ponsel yang sudah ia apit antara sebelah bahu dan sebelah ujung pipi. Setelah terbuka, ia ambil ponsel itu lagi dengan sebelah tangan, membenahkan ke area telinganya lagi dengan sebelah tangan mengomando permukaan botol ke mulutnya.

Namun, belum sampai menyentuh bibir Diana permukaan botol itu, sebuah tangan kekar menyambar botol air mineralnya dari belakang.

Sudah tertebak siapa di balik ulah nakal ini. Chanyeon. Siapa lagi.

Jelaslah barusan itu berhasil membuat Diana kesal dengan kedua netra cokelat tuanya berkelok, mendongak menatap masygul ke arah Chanyeon si pelaku yang tengah menenggak air mineral miliknya.

Ya! Sungut Diana tanpa mengeluarkan suara, gerak bibirnya saja yang menampakkan jelas.

Tak acuh, Chanyeon terus menenggak seiring dengan jakunnya yang naik turun, menghabiskan setengah botol. Kemudian baru mengulurkan sisanya pada Diana.

Menatap uluran sisa air mineral dengan botol masih terbuka, tatapan Diana masih masygul dengan netra tertumpu pada permukaan botol bekas bibir Chanyeon.

Menghembuskan napas lemah. Mungkin jika ia seorang penggemar dari Chanyeon, ia akan kegirangan menyambar botol mineral itu yang terkena bibir Chanyeon, sayangnya tidak, ia justru agak jijik.

Diana kembali mendongak menatap Chanyeon dengan sinis. Malah mendapati senyum lebar lelaki itu yang seketika ingin ia sobek dua belah bibirnya. Berakhir mendengkus.

Dan Chanyeon tertawa renyah akan kekesalan Diana.

"Hei! Siapa yang tertawa, Di? Pasti Juna, ya?"

Selaan barusan itu bukan Dina. Suara lelaki bernada tenor. Suami Dina. Agam.

Seketika Diana tak acuh akan laku Chanyeon. Menyempatkan memberi isyarat dengan telunjuk tangan ia tempelkan ke bibir. Isyarat untuk Chanyeon diam dan jangan mengatakan apa pun lagi.

Mendapat isyarat itu, tawa Chanyeon reda sempurna, lantas menutup botol.

Diana membenahi posisi duduknya. Baru menyahut, "Iya, Kak. Barusan tawa Kak Juna. Jelek sekali, 'kan?" Berdusta.

Bukan mengata jawab, Agam malah tertawa renyah.

Menular ke Diana, tertawa juga.

Chanyeon menaikkan sebelah alisnya bingung. Bukan bingung sih, tepatnya ia penasaran dengan siapa Diana bertelepon dengan suara tenor yang sok akrab.

"Jangan hanya tertawa, Kak. Ayo jawab. Benar, 'kan, jika tawa Kak Juna ini jelek sekali?" cicit Diana.

Lagi. Bukan menimpal cakap. Agam tertawa renyah.

Masih di belakang sofa, Chanyeon penasaran. Diawali meneguk ludahnya, ia mencondongkan tubuhnya ke arah Diana, mendekatkan telinganya ke telinga Diana yang tertempel ponsel. Mencuri dengar.

"Kau barusan pasti lagi meledeki Juna dengan mengatakan tawanya jelek," ujar Agam.

"Ah, iya. Itu benar," jawab Diana sembari menggeser posisi duduknya, menjauh dari kepalanya Chanyeon yang dekat sekali dengan telinganya.

Otomatis, Chanyeon pula menggeser kepalanya yang kini berambut brunette, dekat ke kepala Diana lagi yang tengah tertawa renyah entah ke berapa kalinya.

"Aku kangen dirimu, Di. Kangen tawa renyahmu yang seperti ini," ungkap Agam.

"Tadi 'kan sudah dengar, Kak," sahut Diana sembari menggeser pantatnya lagi yang sesaat kemudian Chanyeon pun ikut menggeser tubuhnya.

"Iya, sih. Tapi beda saja 'kan dengan di telepon dan secara langsung ketemu?"

"Hmm."

Chanyeon mengerucutkan bibirnya. Walau tak tahu percakapan yang tengah diangkat karena dengan bahasa yang tidak bisa dipahami, mendapati kedekatan dalam nada bicara mereka dan bagaimana ekspresi riang Diana, itu cukup membuatnya sebal.

"Ya sudah, aku tutup teleponnya ya, Di. Aku ada urusan lain," putus Agam, "Eh, atau kau mau lanjut ngobrol dengan Dina?"

"Tidak. Tidak usah, Kak. Aku juga ada keperluan lain," sanggah Diana.

"Oh, ya udah kalau begitu. Salam buat Juna, ya? Dan aku tutup teleponnya. Peace out, Sweetie. Wassalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam," sahut Diana.

Sambungan terputus.

"Siapa yang meneleponmu, hmm?" selidik Chanyeon saat Diana baru saja hendak meletakkan ponselnya ke meja.

Memilih meletakkan ponselnya dulu, Diana baru menyahut dengan menoleh ke samping belakang, mendongak menatap Chanyeon yang sudah berdiri tegak.

"Kenapa dia memanggilmu Sweetie?"

Cecaran Chanyeon itu berhasil membuat Diana yang hendak menjawab jujur mengatupkan bibirnya yang sudah terbuka. Heran juga mendapati selidikan rapper EXE ini dengan kilatan mata sinis.

"Kenapa diam, hmm?" tuntut Chanyeon. Tidak sabaran dengan sebelah tangan meremas pelan botol air mineral yang sisa setengah volume.

Diana meneguk ludahnya mendapati laku Chanyeon yang tidak sabaran itu, terteman aura sebal. Bertanya-tanya dalam batin, ada apa dengan Happy Virus Palsu ini?

"Barusan itu adalah lelaki yang sedang kutaksir. Wae?" Akhirnya memilih berdusta.

Mendengar jawaban Diana itu, Chanyeon menaikkan tensi remasannya pada botol air mineral.

"Jadi kau sudah berpacaran dengan lelaki itu?" tanya Chanyeon dengan cemas.

"Berpacaran?" sebut Diana, lantas menggeleng pelan. "Tidak. Kami belum berpacaran. Tapi kupikir, dia sudah mulai menyukaiku, Oppa. Barusan kau pasti dengar 'kan? Dia memanggilku sweetie?" jawabnya riang. Wajahnya bersemu malu.

Ngilu di dada Chanyeon semakin terasa mendengar jawaban bahagia gadis ras melayu di hadapannya itu yang menguncir ekor kuda rambut hitamnya, apalagi ditambah dengan semu malu di wajah ayunya.

"Anna ...," gumam Chanyeon dengan bass rendah.

"Hmm?"

"Kau tidak boleh dekat dengan lelaki manapun."

"Wae?"

"Bukankah dalam Islam, berpacaran itu tidak diperbolehkan?" jawab Chanyeon sekenanya, padahal aslinya sebab ... entah ... mungkinkah cemburu?

Seketika Diana merasa tertohok. Wajah ras melayunya tertekuk malu.

"Oh, iya. Aku tidak akan berpacaran dengan lelaki manapun kok, Oppa. Gomawo, sudah mengingatkanku," sahutnya sesaat lalu. Tak luput lekukan sabit singgah di bibir kenyalnya yang lembap.

Chanyeon membisu, malah menjadi menatap lamun furnitur wajah Diana. Membenci bagaimana keadaannya kini yang malah menjadi begini sekali.

Benar. Chanyeon sungguh benci kepada dirinya kini. Benci dengan kekesalan mendapati kebenaran omongan Diana dalam pesan Line beberapa hari lalu saat di rumah Tuan Widjaya tentang "tengah menaksir lelaki". Benci dengan jantungnya yang berdegup kencang sebab merasa cemas akan Diana berpaling darinya. Benci akibat ia baru menyadari kini sesuatu yang berbeda kepada Diana perihal perasaannya.

Benci. Benci sekali. Chanyeon sungguh benci dengan dirinya kini yang tengah rusuh pikirannya mencecar tanya untuk sebuah kepastian agar ia tidak bingung lagi. Sebuah tanya berjibun, monoton, membuatnya geram.

Apakah aku sedang jatuh cinta ... pada Anna?

_______________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro