Epilogue

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bandung, Indonesia, 2024

Sesuatu di sebelah tangan Diana adalah cincin couple palladium. Sial sekali lelaki ini, apa maksudnya dengan menunjukkan benda bersejarah antara mereka berdua yang mampu membuka semua kisah lama?

"Sudah 3 tahun setelah perpisahan itu, kita benar-benar menjadi orang lain, Anna. Apakah kau tak pernah terbesit sedikitpun untuk bisa mengenalku lagi?" Chanyeon menyita canggung di antara mereka. Membuyarkan lamunan Diana.

Diana menatap sinis cincin palladium di tadahan tangan. Merutuki lelaki itu dalam benak jika sikap pede berlebihannya masih saja dipelihara. Huh! Pertanyaan macam apa barusan itu. Apakah terbesit untuk mengenal Happy Virus Palsu lagi?

"Tidak. Buat apa mengenalmu lagi!" ketus Diana kemudian sembari berkelit menatap ke samping, menjauhi tatapan Chanyeon.

"Apakah selama ini kau juga pernah terbesit merindukanku, Anna?"

Mendengar itu, tenggorokan Diana terasa tercekik. Memaki lelaki itu lagi dalam batin. Pertanyaan tidak bermutu!

"Apa lagi itu. Buat apa aku merindukanmu!" decaknya. Masih dengan menatap ke samping. Air mukanya semakin keruh kesal.

Bukan nelangsa mendapati jawaban penuh sangkalan Diana, Chanyeon justru tersenyum melihat laku judes kenya ini. Ternyata tabiatnya masih sama dari waktu ke waktu.

"Kau tahu, Anna? Aku ini memahami kamus bahasa wanita. Dan aku paham sekali perasaanmu kini; bahwa decakanmu barusan adalah dusta dan muka berpalingmu itu, tak lain adalah karena kau takut terjerat afsunku lagi," jujur Chanyeon. Tanpa filter sedikitpun,  menaut perkara afsun secara gamblang.

Diana semakin kesal dengan rapper EXE ini. Bisakah untuk tidak memojokkan? batinnya. Cincin palladium di sebelah tangannya yang mau tak mau akhirnya ia genggam kuat, alih-alih meremas sebelah tangannya sebab emosi berlebihan.

"Pola tubuhmu mengatakan kau membenciku, enggan bertemu denganku. Namun, aku bisa melihat kejujuran dari bola mata kelammu, Anna. Sekalipun kau sinis kini, tetapi kau menyimpan kerinduan untukku," lanjut Chanyeon. Aura wajahnya berharap-harap cemas.

Diana semakin kalut. Ia sungguh ingin bisa menghilang kini, lari dari situasi memojokkan dirinya tanpa ampun. Atau, bisakah situasi ini dijadikan bunga tidur saja? Atau, barangkali sebatas delusi?

"Mari kita saling mengenal lagi, Anna. Bukankah katamu melupakan bukan jalan terbaik untuk sembuh, tetapi memeluk semua rasa sakit yang ada itu? Jadi, apa salahnya jika kita saling mengenal lagi, Anna? Dan ya, aku sungguh minta maaf atas kekhilafanku di masa lalu. Aku tahu kau kecewa padaku hingga menarik diri, tidak mau mengenalku selama ini. Mianhae, jeongmal mianhae ...."

Diana risih mendengar permintaan lelaki ini. Bukan di letak permintaan maaf, bukan, dari awal dirinya sudah memaafkan Chanyeon. Hanya saja, permintaan untuk mengenal kembali, ia masih enggan. Sungguh masih enggan karena ia takut dengan perasaannya sendiri yang belum sempurna melupakan apa itu mencintai Chanyeon. Sungguh takut dengan perasaannya sendiri karena belum sempurna kehilangan afsun sosok Chanyeon.

Dirinya masih menyimpan rasa. Pun masih kerap merindu. Bertemu Chanyeon kini dengan permohonan manis yang ada, sungguh membuat Diana goyah. Benteng pertahanannya untuk melupakan lelaki ini runtuh sudah, padahal sebelumnya ia sudah membangunnya dengan susah payah selama 3 tahun terakhir.

Chanyeon dan Diana saling membisu dengan pikiran semrawutan masing-masing.

Awan kelam Lembang akhirnya menangis perlahan.

***

Hujan deras sekali dengan sesekali petir menyambar. Ini membuat Diana tidak berani pulang, apalagi saat mengecek bagasi motor tak ada mantel. Sungguh sial! Semua ini gegara Kak Dina yang memaksanya untuk mengantarkan pesanan seblak ke private villa ini.

Usut punya usut, rupanya tetiba Kak Dina memaksanya mengantarkan seblak ke sini adalah sebuah pesanan. Siapa lagi jika bukan si kembaran Dobby yang memesan semua ini, membuat drama sedemikian rapi dengan bantuan managernya--manager yang katanya adalah masihlah samchon--seperti dulu kala.

Kini, akhirnya Diana menerima tawaran untuk singgah ke villa. Diana duduk di sofa ruang tamu berhadapan dengan Chanyeon.

Diana menganggurkan secangkir latte panas di meja yang bersampingan dengan cincin couple palladium. Memilih membuang muka menatap dinding kaca lebar dengan panorama ribuan bulir air berjatuhan.

"Berikan aku satu kesempatan memetik bunga mawar mekar di taman ibumu, Anna," ujar Chanyeon, memecah lamun Diana.

Inilah yang Diana takutkan saat bertemu kembali. Chanyeon meminta sebuah harapan untuk bisa memetik bunga mawar mekar bersebut Anna.

Masih membisu. Diana sungguh malas dengan arah pembicaraan seperti ini. Huh!  Kenapa tidak peka?!

"Kumohon, Anna. Beri aku satu kesempatan untuk mengupayakanmu ....," rintih Chanyeon lagi.

Diana mengenggak salivanya. Sebelah tangannya mengepal kesal.

"Memang kau sudah menjadi Muslim, hmm?" Akhirnya Diana menimpali pertanyaan itu, menatap Chanyeon dengan air muka keruh.

Chanyeon tertohok. Menggeleng lemah.

"Lalu untuk apa kau datang padaku dengan meminta kesempatan? Tidak ada kata kesempatan jika aku dan dirimu masih berbeda," jelas Diana. Dadanya ngilu. Bagaimanapun, egoisnya juga menginginkan kata kesempatan itu ada.

"Maksudku, berikan aku waktu mengupayakanmu untuk aku belajar Islam sebelum menikah denganmu, Anna. Setelahnya jika aku tetap tidak bisa yakin, aku akan melepaskanmu selamanya, aku tidak akan mengganggu hidupmu lagi. Itulah yang kumaksud dari kata kesempatan buatku, Anna." Raut muka oriental Chanyeon memelas.

Diana bimbang tak kentara. Mendengar itu sungguh membuatnya bertambah putus asa. Ia sungguh paham maksud Chanyeon kini atas kata kesempatan yang diinginkannya. Tak lain adalah untuknya mau menunggu lelaki itu belajar Islam.

Tetapi ... Hati Diana mulai membuat penampikan.

Kenapa tidak dari dulu belajar Islam saat pasca berpisah? Seharusnya jika sungguh serius, buat apa waktu 3 tahun disia-siakan tanpa berupaya akan hal ini? Apakah ini yang dinamakan serius? Aku masih cukup trauma perkara Mama dan Papa.

Diana sungguh gundah.

"Untukmu, Anna. Aku akan belajar Islam untukmu. Tolong, berikan aku kesempatan untuk mengupayakanmu, Anna ...."

Mendengar kesaksian itu, hati Diana yang sempat goyah kukuh lagi mendapati niat Chanyeon hijrah; karena dirinya. Wajah Mama juga tetiba hadir dalam pikirannya, beliau berpesan untuk dirinya jangan menerima lelaki yang mengikuti jejak Papa.

"Anna ....," sebut Chanyeon, sengaja untuk memecahkan lamun Diana.

Diana kembali fokus pada wajah oriental Chanyeon. Ia masih mencintai lelaki ini, tetapi cinta tidaklah bisa dipaksakan seperti ini.

"Mianhae, jeongmal mianhae .... Aku tetap tidak bisa. Aku sungguh tidak bisa jika niatmu untuk semua ini hanya karena aku. Aku tak mau di antara aku ataupun kamu di sini akan berkesan menggadaikan agama untuk kepentingan pribadi," jawab Diana kemudian, "Kuyakin, ada wanita lain di luar sana yang akan menjadi hal terbaik untukmu, dan dia akan menjadi jodohmu kelak. Jodoh terbaik yang seiman denganmu dan tak akan menuai ketimpangan apa pun." Diana mengakhirinya dengan merekah senyum.

Chanyeon menggeleng berulang-ulang. Wajahnya semakin kusut putus asa.

"Tidak, Anna. Hal terbaikku adalah dirimu. Kau tahu, selama ini kau sempurna membawa pergi sepotong hatiku. Dan selama itu pula aku tak kuasa mengganti yang baru dengan wanita lain. Berikan aku satu kesempatan, Anna. Kuyakin semuanya bisa saja menjadi mungkin."

Diana merekah senyum lagi. "Mianhae, sejauh apa pun kau membuat alasan, ini sudah tidak akan bisa mengubah keputusanku. Mari kita saling mengenal lagi, tetapi sebatas menjadi teman dan tak ada kata mengupayakanku."

Pikiran Chanyeon kalut. Sepotong hatinya yang tersisa remuk. Namun, apa yang bisa dilakukannya kini selain menerima ketika wanita yang diperjuangkannya tetap kukuh memilih memberikan jarak?

Senyum Diana semakin merekah, menyembunyikan hatinya yang juga porak poranda. Namun, ia percaya bahwa luka hatinya akan segera sembuh setelah urusan mereka sungguh selesai dengan mengambil keputusan berani ini.

Bibir Chanyeon kelu untuk mengatakan hal apa pun lagi. Lebih memilih menikmati senyum manis Diana yang sudah lama tidak ia dapatkan. Senyum itu pun berhasil meluluhkan hatinya. Emosinya perlahan meredam.

Sesaat kemudian, akhirnya Chanyeon menimpali rekahan senyum Diana, mencoba menerima dengan lapang keputusan Diana. Namun, baginya ini bukanlah akhir, tetapi justru awal dari perjuangannya mengupayakan Diana.

Chanyeon belum menyerah. Ia memilih mengalah kini, tetapi bukan berarti ia bisa diam begitu saja setelahnya.

_________________

📖 Berlanjut ke sekuel berjudul Go Back.

💬 Terima kasih atas apresiasinya di cerita ini. Jika ada kritik dan saran membangun atau apa pun itu, jangan sungkan katakan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro