Pause

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi memberingsut malam. Mentari muncul perlahan dari ufuk timur. Embun masih menggeliat manja pada dedaunan tanaman di taman belakang rumah Chanyeon.

Chanyeon bangun tidur, membuka matanya perlahan. Mengulat sejemang. Lantas sempat-sempatnya melamun sembari menatap langit-langit kamar.

Tidak ada lagi suara berisik Anna untuk membangunkan di pagi ini. Chanyeon tersenyum kecut setelah menyadari itu. Masih ada rasa sesak mendapati kenyataan itu, tetapi sudahlah, seharusnya ia cepat-cepat bebersih diri, tampil rapi untuk melepaskan kepergian Diana di pagi akhir pekan ini.

Chanyeon beringsut bebersih diri. Kemudian ia mengenakan dennim shirt yang tampak beggy dan skinny jeans. Merapikan rambut hitamnya, menggulung lengan dennim shirt, menyemprot parfum aroma woody, lantas keluar kamar.

Tujuan utamanya turun adalah ke dapur seperti biasanya, menjaili Diana dengan nimbrung rusuh memasak. Namun, di pagi ini sepertinya ia sudah tidak bisa ikut rusuh memasak atau sekedar hanya meledek ringan, sungguh tidak bisa. Jika Diana masih mau memasak untuknya pagi ini sebelum pergi, ia palingan hanya berani mengintip saja, tak lebih dari itu.

Langkah kaki Chanyeon terhenti tatkala sampai dapur. Lalu terpatung menatap nelangsa, bahwasanya tak ada Diana di dapur yang sedang memasak. Tidak ada. Rupanya ia terlalu berharap banyak untuk momen terakhir dengan Diana di pagi ini sebelum kenya itu pergi.

Chanyeon memaksa untuk tersenyum. Ia meninggalkan area dapur, memilih menunggu Diana turun di sofa ruang keluarga.

Hingga beberapa saat ke depan, suasana rumahnya tetap saja lengang.

Pikiran Chanyeon pecah, terganti resah. Terburu-buru dirinya memastikan dugaannya, melangkah lebar-lebar mencari Diana, beringsut ke kamar Diana.

Napas Chanyeon terasa tercekat saat mendapati kamar Diana sudah kosong oleh barang-barang kenya itu. Ternyata Diana sungguh pergi tanpa berpamit lagi padanya setelah perpisahan tadi malam.

"Anna ....," rintih Chanyeon, wajah manisnya semakin nelangsa. Kaki-kakinya berasa lemas untuk melangkah, tetapi ia paksa melangkah ke pinggiran kasur.

Chanyeon duduk di pinggiran kasur. Menatap sekitar. Tertumpu pada sesuatu yang tergeletak di atas nakas.

Sesuatu itu tak lain adalah sebuah kotak kecil berwarna cokelat.

Chanyeon mengambil kotak itu, membukanya perlahan, dan tertangkaplah apa isi dari kotak di tangannya kini. Tak lain adalah gelang rantai berlian, jepit rambut klip berenda telinga kelinci, dan cincin couple palladium, serta secarik kertas.

Sesaat ke depan, Chanyeon membuka lembaran kertas yang diselipkan dalam kotak, membaca barisan katanya perlahan dalam benak.

Mianhae, aku tak bisa berpamit lagi padamu sebelum pergi agar kau bisa terbangun saat pagi dengan suasana sedia kala, untuk bisa menganggap kebersamaan kita kemarin hanya bunga tidur.

Maaf dan terima kasih.

Diana Hadid (Bukan  Anna)

Rasa kecewa menyusupi dada Chanyeon mendapati Diana akhirnya memilih menarik diri darinya, hingga tak sudi untuk berpamit lagi untuk kali terakhir dan memilih pulang mungkin di waktu subuh-subuh benar, tega sekali membuat peringatan tersirat agar jangan memanggil Anna.

Chanyeon melipat kertas kata terakhir Diana. Mengamati sejenak isi dalam kotak itu.

Pikirannya merambah pada momen-momen yang telah berlalu. Dari gelang rantai berlian itu yang sebagai wujud selamat datang, nyatanya niat awalnya memberi adalah untuk bisa mengejeki Diana saat memakainya. Jepit rambut klip itu yang pernah ia sematkan ke rambut Diana langsung. Dan cincin paladium itu yang sengaja dibelinya agar mereka berdua tampak kompak, egois tetap memberikan afeksi pada Diana seperti kekasihnya.

Chanyeon tersenyum tipis. Memasukkan kertas lipatan itu ke dalam kotak. Menutup kotak itu. Menaruh kembali ke atas nakas.

Huh! Sekalipun Diana melarangnya untuk mengenang kenya itu bukan sebagai Anna, ia tetap tidak peduli. Ia tetap menanggap Diana adalah Anna. Ia tetap mengenang kenya itu bukan sebagai Diana dengan sebatas wanita yang pernah ditolongnya dulu. Ia memilih bebal dengan mengenang Diana sebagai Anna. Sebutan Anna yang sungguh berarti baginya dalam banyak hal. Ia pula akan terus menjaga kenangan-kenangan singkat bersama Anna-nya ini di tempat paling spesial.

Chanyeon menghela napasnya. Menyugesti pikirannya bahwa ia akan tetap baik-baik saja dengan sepotong hatinya yang telah hilang dibawa Anna.

Sungguh tidak apa-apa. Mungkin langkah terbaiknya adalah untuk berhenti sejenak mengejar Anna. Tetap bertahan dengan sepotong hati yang tersisa. Tetapi besok, di waktu yang dianggapnya tepat, ia akan kembali untuk meminta Anna mengembalikan sepotong hatinya yang hilang dibawa pergi itu. Jika gagal, mau tidak mau, ia baru akan menggantinya dengan sepotong hati yang baru agar hatinya kembali utuh.

Chanyeon memaksa untuk tersenyum sembari menatap cincin couple palladium yang tersemat di jari tangannya.

Ini hanya soal waktu. Kini ia memilih mengalah untuk berhenti berupaya seperti yang Anna mau. Kembali hidup normal seperti sediakala sekalipun itu tampak mustahil baginya dengan kenang-kenangan yang ada.

Sungguh, ini hanya soal waktu. Kini Chanyeon memilih berhenti sejenak untuk  kemudian kembali, dengan upaya lebih besar untuk memetik bunga mawar mekar di taman bersebut Anna.

***

Mengisi akhir pekan, Diana bersama Eunji pergi ke Olympic Park yang lokasinya tidak jauh dari Jamsil dan Lotte Tower.

Tak lain adalah untuk menenangkan suasana hatinya. Pasalnya, apa yang terjadi tadi malam cukup membuatnya sinting. Itulah mengapa ia pulang subuh-subuh tanpa berpamit lagi, saat lelaki itu masih tertidur pulas.

Kini, Diana sedang membaca novel Hujan karya Tere Liye di kursi kayu taman yang ada. Novel ini sebenarnya sudah pernah dibacanya, bahkan ia masih hafal alur yang ada; tentang kisah persahabatan dan cinta antara Lail dan Esok.

Singkatnya tentang sebuah kenangan manis yang berbuah menyakitkan bersama Esok, Lail ingin menghilangkan ingatannya tentang Esok untuk menyembuhkan rasa sakit yang menghujamnya dengan teknologi canggih yang ada. Tentang melupakan adalah penyembuh bagi Lail untuk bisa bertahan hidup.

Alasan kenapa Diana membaca ulang adalah karena ia merasa mempunyai kebencian yang sama dengan Lail. Kebencian yang sama perihal kenangan manis bersama seseorang yang ia cintai, tetapi malah menjadi menyakitkan saat dikenang karena sesuatu. Ini sangat mirip dengan perasaannya kini. Ia membenci kenangan manis bersama Chanyeon. Ia ingin menghilangkan kenangan itu dalam serebrumnya. Ia merasa ... mencintai Chanyeon adalah sebuah kesalahan dalam hidupnya.

Angin bertiup segar, berhasil menakali poni rambut hitam Diana. Kedua mata kelam Diana tetap khidmat membaca barisan kata kisah Lail dan Esok.

Namun, pada akhirnya Diana tahu, bahwa melupakan bukanlah hal terbaiknya, seperti dalam akhir kisah Lail dan Esok. Lail akhirnya memilih berdamai dengan kenangan itu, itulah satu-satunya cara agar hidupnya sungguh tentram. Karena dengan memilih berdamai dengan kenangan itu, perlahan akan menjadikan lupa dengan sendirinya. Karena memilih dengan berdamai dalam kenangan itu, nanti kalau-kalau kenangan itu tetiba datang, ia tidak lagi merasa terluka karena sakit hatinya sudah sembuh total.

Oh, Allah. Bahkan sebelumnya memilih berdamai dengan masa lalu, berdamai akan kenangan menyakitkan adalah salah satu prinsip hidupnya. Itulah mengapa dirinya bersikukuh memperjuangkan bertemu Papa untuk membuka lembaran baru dengan menyambung silaturrahmi. Namun, kenapa prinsip itu kini goyah, menginginkan melupakan semua kenangan bersama Chanyeon?

Diana meneguk salivanya. Novel di tangannya seketika menjadi tidak menarik. Pikirannya kalut sudah.

Diana menutup novelnya. Menatap ke arah lapangan taman dengan banyak orang-orang yang mayoritas remaja sedang bersantai duduk di atas tikar, ber-selca, atau bahkan mereka yang sedang berjalan lewat. Menatap dengan kosong, melamum.

Ternyata memang tidak mudah berdamai dengan kenangan-kenangan seperti ini. Di sisi lain ia membenci kenangan itu hadir, tetapi di sisi lainnya menginginkan kenangan itu tersimpan baik dalam serebrumnya. Ini rumit. Serumit mencoba melupakan, tetapi kerap merindu.

Sesaat kemudian, Eunji datang membawa 2 cup moccachino dingin.

"Ya! Melamun!" seru Eunji yang kini berhenti tepat di depan Diana.

Lamunan Diana pecah. Tersenyum kecil ke arah Eunji. Meraih cup moccachino dingin yang diulurkan Eunji. Kemudian Eunji duduk di samping Diana.

"Sedang melamunkan apa, Di?" selidik Eunji, "Ya! Jangan-jangan kau merindukan Soobin." Eunji menyelidik seraya menuding wajah Diana dengan jari telunjuk. Sepasang netranya menyipit.

Diana mendengkus. Eunji tertawa renyah.

"Aku sedang merindukan ibuku, Eunji," bohong Diana, menyesap moccachino dingin.

"Oh," timpal Eunji, "Seharusnya saat liburan musim dingin kemarin, kau pulang."

Diana tersenyum tipis. "Hmm. Seharusnya."

Eunji mengangguk. Lalu suasana lengang dengan saling membisu. Eunji memilih memutar musik di ponsel setelah memasang earphone ke telinga. Menikmati panorama lapangan taman yang asri di hadapannya, di bawah teduhnya pohon ginko yang rindang dengan sesekali terasa sepoi-sepoinya angin berhembus. Sembari mendengarkan musik RnB yang tengah terputar, menyesap moccachino dingin.

Diana sendiri meneruskan membaca novelnya, tetapi sayangnya gagal konsentrasi. Akhirnya memilih melamun menatap taman. Berakhir menyandarkan kepalanya ke bahu Eunji.

Eunji melirik sejemang saat sebelah bahunya terasa terganjal. Tersenyum dengan kebiasaan sahabatnya satu ini yang suka tetiba bersandar di bahunya. Kemudian memilih berbagi earphone.

Aih, lagu yang sedang terputar lewat earphone kini adalah River Flows in You. Berhasil membuat Diana banyak menostalgia sepihak. Menostalgia tentang kebersamaan bersama sosok Ji Chanyeon dengan iringan piano yang dimainkan jemari idol hallyu itu.

Pikiran Diana semrawutan lagi. Ia memilih memejamkan mata. Dan berakhir dengan kenangan-kenangan bersama Chanyeon semakin datang menggila.

Entahlah, sepertinya memang sulit untuk berdamai dengan kondisinya kini setelah apa yang telah terjadi dengan Chanyeon. Namun, Diana percaya, ini hanya soal waktu, bahwa pada akhirnya ia akan terbiasa. Terbiasa hidup tanpa Chanyeon. Terbiasa dengan semua kenangan bersama Chanyeon yang mendadak hadir. Terbiasa untuk memaksa menerima takdir tentang perkara berpisah ini, untuk kemudian menerima takdir ini dengan tulus.

Diana sungguh percaya bahwa ini hanya soal waktu, pada akhirnya ia bisa sempurna menjadikan Chanyeon bukan apa-apa di hatinya. Semoga saja.

________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro