The First Day

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tak ada lagi yang perlu diharapkan kecuali menerimanya dengan lapang. Di siang hari yang tetap dingin ini, Diana mulai beralih tempat tinggal dari apartemennya ke rumah besar Chanyeon setelah menerima opsi menjadi pembantu rumah tangga dadakan.

Akhirnya Chanyeon menerima permintaan Diana, yaitu syarat memberinya gaji yang cukup fantastis setiap bulannya dengan 5 juta won perbulan. Cukup fantastis bagi Diana, tetapi gadis itu juga sangat tahu jika angka itu sangatlah kecil bagi sosok Chanyeon yang dengan bayaran pendapatan satu kali posting Instagram untuk endors saja bisa meraup kisaran 450.000 dollar.

"Kau sudah paham apa saja tugasmu, 'kan?"

Diana masih saja diam, ia malah sibuk berjalan ke sekitar rumah besar Chanyeon setelah lelaki jangkung pemilik rumah itu menjelaskan tugas-tugas untuknya, menyimak interior rumah itu. Dengan terpaksa Chanyeon pun membuntutinya.

Rumah pribadi Chanyeon ini memiliki tiga lantai dengan luas 194 meter persegi. Pula sangat menonjol dari lainnya karena desainnya kontras dengan rumah tetangga.

Sangat kontras. Pasalnya rumah ini menggunakan batu bata untuk bagian luar rumah, cukup terkesan menyatu alam, bahkan tampak mencerminkan pola di Istana Kyongbok. Menggunakan material lantai kayu ek alami, veneer abu, cat di interior, dan kayu lapis.

Di lantai dasar berisi ruang tamu, ruang makan, dan dapur. Ruang tamu memiliki beberapa partisi dengan ganda fungsi untuk area penyimpanan dan tampilan. Kemudian dapur kecil bergaya modern dan minimalis.

Di lantai dua, Diana menemukan ruang keluarga dengan desain minimal, kamar tidur utama milik Chanyeon, serta ruang tidur tamu.

"Kau bisa langsung beranjak ke kamarmu, Agassi," sela Chanyeon yang mulai jengah menguntiti Diana yang kepo akan isi rumahnya.

Diana yang tengah mengamati, sekaligus terkagum dengan lukisan hiperealis setengah dada Chanyeon dalam ukuran 60x45 cm yang terpasang di dinding tengah ruang keluarga, berpaling, melirik ke arah Chanyeon di sampingnya.

"Ikuti aku!" perintah Chanyeon, beringsut berlalu.

"Ya! Aku belum sempat bertanya lukisan karya siapa ini, Oppa?" sungut Diana. Tetap abai, melengok menatap lukisan hiperealis lagi di dinding tengah ruang keluarga.

"Wah, daebak! Lukisan ini seperti memiliki nyawa. Ya! Apa aku tertipu, ini sebuah fotografi, 'kan? Eh, ini yang dinamakan lukisan hiperealis, ya?" kagumnya seraya sebelah tangannya mencoba menyentuh lukisan hiperealis yang terpampang, merutuk tidak percaya akan kedetailan lukisan wajah Chanyeon itu yang sungguh seperti tidak absen satu gurat pun dari tampakan wajah aslinya.

Dengan terpaksa Chanyeon menghentikan langkahnya. Berbalik.

"Kau tahu Joongwong Jeong yang melukis kembali sosok dalam karya seni klasik seperti patung dada Venus de Milo, Seneca, dan Adam versi pelukis renaissance legendaris Michaelangelo?" jawab Chanyeon.

"Ah, tidak. Memang kenapa? Dia yang melukis ini?" Diana melirik sesaat.

Chanyeon menghempaskan napas. "Hmm."

"Ini sungguh lukisan? Bukan fotografi?" sela Diana.

"Bukan. Itu adalah jenis lukisan hiperrealisme, lukisan yang menyerupai foto dengan resolusi tinggi," bangga Chanyeon seraya mengulas senyum tipis, menatap lukisan wajahnya yang tampak seperti foto itu.

Diana mengangguk-angguk. Bergantian menatap lukisan dengan wajah Chanyeon yang asli.

"Pasti lukisan ini begitu mahal. Kau membelinya berapa won?" komentarnya.

"Apa itu penting?" Menjawab malas. Sebelah alis Chanyeon menukik.

"Ah, tidak," jawab Diana dengan semangat menurun mendapati tatapan masygul Chanyeon yang langsung beringsut berlalu lagi, abai dengannya.

Diana melenguh lesu. Ia sedikit berlari seraya menarik koper besarnya, merutuk kenapa lelaki jangkung itu berjalan dengan sangat cepat, tapi terlihat santai. Ini sungguh merepotkan.

"Kemasi barang-barangmu. Setelah itu kau bisa langsung bekerja, Dina," tukas Chanyeon setelah sampai ke depan pintu kamar yang akan Diana tempati. Lalu memberikan tablet yang biasa digunakan untuk mengontrol rumahnya.

"Ya! Namaku bukan Dina!" sungut Diana setelah menerima tablet dari Chanyeon. Wajahnya mengaura masygul.

"Mwo?" Chanyeon melipat dahinya.

"Kau salah lagi, Oppa!"

"Mwo? Salah lagi?"

Diana mengangguk masygul. "DI-A-NA!" tekannya.

Chanyeon tetap bergeming. Ia malas membahas nama itu lagi, sekalipun ia jelaslah membutuhkan nama itu di saat tertentu.

"Atau kau bisa memanggilku Di. Itu mudah, 'kan?" jelas Diana. Nyengir.

Chanyeon masih tetap bergeming. Diana cemberut karena diabaikan.

"Ayo, coba panggil aku dengan Di ...." Diana berceloteh lagi.

Chanyeon tetap saja membisu. Diana menghembuskan napas kesal.

"Anna .... Aku akan memanggilmu Anna," tukas Chanyeon.

"Mwo?" Diana melipat keningnya.

"Aku akan memanggilmu Anna. Bukankah itu lebih baik?" jelas Chanyeon.

Diana tetap bergeming. Mempertimbangkan sebutan baru untuknya.

"Baiklah, Anna. Selamat datang di rumahku dan selamat bekerja," lanjut Chanyeon itu, tak menginginkan banyak waktu terbuang percuma. Sebisa mungkin mengulas senyum walau malas sekali.

Sesaat kemudian, mendapati punggung Chanyeon yang berbalik menjauh dari arahnya, Diana mengembuskan napas panjang. "Hmm, terserah kau sajalah ...." Mengalah. Tapi, sesaat kemudian ia mengingat sesuatu yang terlewatkan.

"Oppa," serunya.

Tanpa membalik badan atau pun sekedar melirik, Chanyeon menyahut malas, "Mwo?"

"Kau belum mengantarkanku ke lantai tiga," sahut Diana semangat.

Chanyeon meneguk ludah. Masih tanpa menoleh sedikitpun, ia menyahut lagi, "Mengantarkanmu? Bukankah aku justru menguntitmu dari tadi?" Menyindir.

Diana baru menyadari itu. "Oh, uhmm ...." Menjadi salah tingkah.

"Kau bisa memeriksanya sendiri. Di sana hanya berisi studio musikku dengan akses dua teras rooftop," jawab Chanyeon, berlalu begitu saja lagi.

"Oh, uhmm. Baiklah ...," sahut Diana. Lelaki itu sudah tidak terlihat, tenggelem ke bawah anak tangga.

"Apakah dia benar-benar sedingin ini di kehidupan nyata?" keluhnya pada senyap.

Sesaat kemudian terdengar derap langkah Chanyeon kembali tergesa, wajahnya masygul seraya berucap, "Anna."

Membuat Diana yang baru saja membalikkan badan menoleh ke muara suara. "Wae?" timpalnya terkejut.

"Aku lupa memberitahu pin kamarmu."

"Oh." Menjawab singkat lagi.

Dengan cepat Chanyeon memberitahukan pin dengan enam digit angka, lalu tergesa kembali berlalu.

"Gomawo, Oppa," seru Diana, lagi-lagi ia sudah ditinggal, diabaikan begitu saja.

Sesaat terdengar derap langkah tergesa lagi, Chanyeon kembali.

"Aish! Aku lupa lagi akan hal lain."

"Mwo?"

"Kau harus segera berbelanja. Aku hanya tinggal mempunyai kimchi saja di dalam kulkas."

"Arasseo."

"Dan ... gelang itu ....," lanjut Chanyeon seraya netranya menatap masygul ke arah sebelah pergelangan tangan Diana.

Diana menautkan alisnya.

__________________

Translate:
Arasseo: aku paham
Ya= hei

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro