Chapter 18

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

🍦 Selamat Membaca 🍦

~Kau tidak akan bisa melupakan masa lalu jika kau belum berdamai dengannya, ikhlaskan dan cobalah buka lembaran baru dari kisahmu.~

~Rafaelnath Adeleon.

***

Brak!

Suara barang-barang yang dijatuhkan dengan kasar itu terdengar keras memenuhi ruangan, ditambah dengan suara guntur yang menggelegar di atas sana, entah sejak kapan hujan turun, tetapi itu sukses membuat suasana semakin mencekam. Di sebuah ruangan apartemen bernomor 105 itu terdengar suara erangan orang yang tampak frustasi.

"Aarrghh!" Teriak seseorang seraya menjatuhkan seluruh barang yang tersusun rapi di atas meja, lagi.

"Lo mau ambil tubuh ini 'kan? Lo mau tubuh ini lagi 'kan? Silahkan ambil! Tanpa Chaca, gak ada gunanya gue hidup di dunia ini!" ucap Elnath frustasi sambil menatap dirinya sendiri di cermin, wajahnya tampak kacau, ia bahkan tak bisa menahan tangis kepedihan yang tengah ia rasakan kini, batinnya sungguh tersiksa. Bagaimana kau bisa bertahan dengan satu raga yang diperebutkan oleh dua jiwa yang saling bertentangan? Rasanya amat sangat menyesakkan bagi Elnath.

"Elnath ...," lirih seorang gadis yang tampak ketakutan di belakangnya, ruangan yang ia tempati kini tak lagi nyaman, setelah Elnath melempar sebuah vas bunga ke arah lampu utama, membuat seisi ruangan menjadi gelap, kilatan petir menjadi cahaya untuk mereka walau hanya sekejap.

"Apa!" sentak Elnath pada Aurel.

"Elnath, please ... jangan kayak gini, gue mohon," pinta Aurel dengan wajah memelas. Ia benar-benar ketakutan, pemuda yang ada di hadapannya ini menjadi sangat menyeramkan.

Elnath meremas botol kaca yang ada di tangannya, ia sangat membeci gadis itu. Bukannya tenang, ia malah bertambah geram.

"Lo bisa diem nggak!" bentak Elnath seraya mengangkat botol kaca itu ke udara, tadinya ia berniat melayangkan benda itu ke gadis yang amat ia benci, sebelum suara itu mencegahnya.

"Jangan sampai lo berani nyakitin Kania!"

Seketika tawa Elnath memenuhi ruangan itu, walaupun tak ada hal yang seharusnya ditertawakan, Elnath sudah mirip orang yang kesetanan. Tawanya tak mengartikan kebahagiaan, tetapi rasa sakit yang sedang ia tahan dengan paksa.

"Apa lo bilang? Jangan? Hey, kasih gue kesempatan untuk bersenang-senang, bukannya habis ini lo yang ada di tubuh ini buat bahagiain dia? Sedangkan waktu gue cuma sebentar, jadi bolehlah gue kasih dia luka, biar sedikit ngerasain sakit yang Chaca rasain," ucap Elnath ketika tawanya memudar dan kembali ke ekspresi dinginnya.

Sudah sejak tadi Aurel mencoba mencerna apa yang terjadi, sejak Elnath berbicara sendiri, sejak Elnath marah dengan sesuatu yang mungkin hanya dapat dilihat oleh Elnath, itu membuat Aurel merinding di ruangan gelap dan dingin ini.

Pyar!

Elnath melempar botol kaca itu ke sembarang arah, membuat Aurel menjerit ketakutan.

"Gue harap lo nggak ngelakuin hal yang akan buat lo menyesal," ucap bayangan itu, sedari tadi ia hanya melihat dirinya yang lain dengan raut wajah kesal.

Elnath tak menghiraukan suara itu, ia memilih berjalan lurus ke sudut ruangan, lalu menyandarkan tubuhnya sambil mendongak ke atas dengan mata terpejam, kesalahan apa yang pernah ia perbuat di masa lalu hingga ia harus membayarnya dengan cara seperti ini, sangat menyakitkan dan menyiksa batin. Perlahan ia merosot ke lantai dan menyembunyikan wajahnya di balik tangan yang ia lipat. Elnath menangis.

"Kenapa sih lo harus kembali?" ucapnya di tengah isakkan yang mampu menyayat hati bagi siapapun yang mendengarnya. Sesekali Elnath memukul-mukul dada dengan kepalan tangannya, mencoba menghilangkan rasa sesak yang bersarang di sana.

"Kenapa lo harus datang dan rebut semua kebahagiaan gue dan Chaca?"

Bayangan itu hanya diam menatap Elnath.

"Seandinya lo tepatin janji lo sama Kania waktu itu, semuanya nggak akan jadi kayak gini, seandainya setelah lo sadar lo gak ketemu dengan yang namanya Chaca, seandainya kita nggak bertentangan, kita masih bisa jadi satu dan tinggal di tubuh yang sama, tapi sayangnya, kita sudah berbeda sangat jauh," balas bayangan Elnath.

Elnath tersenyum tipis. "Seandainya ya?"

"Seandainya gue nggak pernah sadar dari koma, mungkin itu lebih baik." Elnath mendongak menatap dirinya yang lain dengan senyuman yang tak dapat diartikan.

"Benar juga, kenapa lo nggak pergi sama gue aja?" Elnath tersenyum seperti orang gila menatap bayangan dirinya.

"Maksud lo?" Ia mulai was-was.

Tak berniat menjawab pertanyaan itu, Elnath beranjak dan melangkah menuju balkon. Ditatapnya langit gelap yang menurunkan hujan deras malam ini, langit seakan tau apa yang tengah ia rasakan. Lantai yang licin membuatnya hampir terpeleset.

"Elnath!" pekik Aurel dan langsung berlari menghampiri Elnath. Lagi-lagi Elnath tertawa, membuat Aurel menautkan alisnya bingung.

Elnath menoleh menatap Aurel. "Bagus deh kalau lo di sini, lo bisa jadi saksi atas perginya kita berdua," ucap Elnath santai.

Bayangan itu langsung menyorot Elnath dengan tajam. "Jangan bertindak macam-macam!" ucapnya dengan nada tinggi.

Elnath mengangkat telapak tangannya, dan menatapnya miris. "Gue udah nggak bisa gunain tangan ini buat lindungin Chaca, gue nggak bisa gunain tangan ini buat peluk dan belai rambut Chaca lagi, semenjak lo hadir, gue benci diri gue sendiri, terlebih lagi ... diri gue di masa lalu," ucapnya lalu menatap bayangannya serius sembari menteskan air mata yang dengan cepat disapu oleh derasnya hujan.

"Biar adil, dan jiwa gue tenang, gue ajak lo mati bareng gue." Perkataan Elnath tersebut membuat bayangan Elnath dan Aurel melotot tidak percaya.

"Enggak, lo nggak boleh lakuin ini!" Bayangan Elnath tampak cemas dan ketakutan.

"Lagi pula, gue bisa ketemu mama lagi."

"Jangan lakuin hal nekat!"

"Hahahah ... gue nggak peduli, gue bener-bener nggak peduli!"

Bayangan Elnath sukses dibuat panik sekarang, ia tak menyangka jika Elnath akan bertindak sejauh ini. Elnath salah, jika ia berpikir akan bertemu dengan mamanya, ia sungguh salah besar, justru ia akan terjebak dan tersiksa di sini jika ia memilih bunuh diri.

🍦🍦🍦

Chaca membuka matanya perlahan, ia baru menyadari jika dirinya masih berada di rumah sakit. Pintu kamarnya terbuka, membuat Chaca bangkit untuk duduk.

"Cha, nih ponsel lo," ucap Sandrina sambil menyodorkan ponsel yang dibalut case berwarna soft blue itu.

"Eh, bukannya ponsel Chaca ada di BK ya?" tanya Chaca bingung.

"Iya, tapi udah diambil sama Bang Elnath."

"Elnath di sini, San? Mana?" Chaca mulai celingak-celinguk memandangi pintu masuk.

"Tadinya sih emang ke sini, tapi bentar doang dan lo masih molor, dia masih merasa bersalah sama lo gara-gara kejadian kemarin, gue aja rasanya masih pengen nonjok mukanya dia," jelas Sandrina.

Wajah Chaca menjadi murung, ia teringat kejadian kemarin, di mana Elnath memeluk Aurel dan lupa dengan dirinya. Tangannya tergerak menyentuh dada dan ia merasakan sakit, sepertinya hatinya benar-benar tersayat oleh kejadian kemarin.

"Yaelah, nggak usah cemberut, nih bang Elnath nitip surat buat lo. Tuh bocah makin lama, makin alay ya? Padahal lewat hp juga bisa, kok gaya banget ngirim surat." Sandrina memberikan surat titipan Elnath kepada Chaca.

"Ya udah, gue mau ke sekolah dulu, ntar balik sekolah gue ke sini lagi bareng Berlin, keburu telat nih gue. Cepet sembuh ya bayi gede." Setelah mengatakan itu, Sandrina langsung pergi meninggalkan Chaca sendirian di ruangan itu.

Chaca memandangi surat itu, ia penasaran, mengapa Elnath mengiriminya surat, padahal mereka 'kan bisa bertemu langsung. Chaca memutuskan untuk membuka surat dari Elnath.

Hai, Cha ... gimana? Sudah baikan?

Cepet baikan yah, nanti Elnath beliin es krim.

Chaca terseyum membaca pesan itu.

Maaf, Cha. Aku belum bisa nemuin kamu, rasanya masih berat setelah aku ngelukain kamu kemarin, tapi itu bukan aku, Cha.

Chaca menautkan alisnya bingung.

Maaf aku belum bisa kendaliin diriku sendiri dan malah buat kamu sakit hati, maaf, Cha.

Lalu soal Kania, kamu pasti sudah tau siapa Kania 'kan? Aku minta maaf soal kemarin, aku bener-bener salah, Karena itu aku nggak sanggup nemuin kamu, kamu udah sakit dan malah makin sakit gara-gara aku, anggap aja ini hukuman buat aku, aku perlu waktu sendiri saat ini, dan ada sesuatu yang harus aku selesaikan. Tapi tenang aja, Chaca tetep satu-satunya di hati Elnath.

Oh iya satu lagi, hari ini aku ada penerbangan ke Canada, waktu itu aku mau kabarin kamu setelah pulang dari kantor profesor kalau aku lolos di program pertukaran pelajar, tapi kamu malah diculik sama Aurel, jadi baru sempat kabarin sekarang.

Maaf ya, Cha.

Soal Kania atau Aurel, nanti aku ceritain ke kamu, aku cuma minta kamu percaya sama aku.

Jaga diri baik-baik ya, nanti aku telepon kalau udah sampai, aku sayang kamu.

Elnath.

Tanpa sadar air mata Chaca menetes, ia bingung dengan perasaannya, ia seharusnya senang karena Elnath berhasil lolos di program pertukaran pelajar, tetapi ia juga sedih karena ia harus berpisah untuk sementara waktu dengan Elnath, bahkan hari terakhir Elnath di sini pun ia tak melihat wajahnya.

***

Jangan lupa Vote dan Komen yah.
Dukung Chaca biar semangat bikin Chapter selanjutnya😀

See u on next Chapter 😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#nubargwp