Chapter 17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

🍦 Selamat Membaca 🍦

~ Kenangan dan masa lalu ya? Menurutku, akan indah jika itu tentangku dan pahit jika tentang wanita lain.~

~Morisscha Auzee.

***

Seorang pemuda yang mengenakan baju batik itu tengah menatap bingung sebuah halaman yang luas, halaman dengan alas terbuat dari semen yang di atasnya terdapat garis-garis yang membentuk pola lapangan basket dari cat putih yang sudah mulai pudar, lengkap dengan ring basket yang tidak terlalu tinggi dan kayu sebagai bahan dasarnya.

Pemuda itu mengedarkan pandangannya lagi, di dekat lapangan itu terdapat pohon besar yang rindang, rumah pohon sederhana dengan ukuran yang ideal bertengger di atas sana dengan kokoh, serta batang kayu yang berbentuk persegi panjang digunakan sebagai pijakan untuk memanjat, tertanam dengan kuat. Di belakang pohon itu tampak pemandangan yang menyejukkan mata, bukit dengan rumput hijau yang membentang dan tidak terlalu tinggi.

"Gue dimana?" tanya Elnath pada dirinya sendiri.

Desiran angin lembut menerpa rambut Elnath, membuat siapapun yang melihatnya akan terpesona, ditambah paras tampan putih bersih, hidung mancung dan matanya yang teduh.

Elnath terkejut dengan kemunculan sosok anak laki-laki yang sepertinya pernah ia lihat di album foto masa kecilnya, itu adalah dirinya.

Elnath hendak bertanya kepadanya, tetapi anak itu malah berlari menuju lapangan basket dengan bola ditangannya, tanpa melihat kehadiran Elnath yang menatapnya bingung. Elnath terus memperhatikan apa yang dilakukan gambaran dirinya sewaktu kecil, anak itu mulai memainkan bolanya gemas, sesekali ia melempar bolanya ke ring berniat mencetak gol tetapi gagal, Elnath kecil melakukannya berulang kali hingga ia menyerah dan memilih beristirahat dengan duduk bersimpuh.

Elnath berjalan menghampirinya, tangannya tergerak untuk menepuk pundak anak itu. Elnath terkejut karena tidak bisa menyentuhnya, membuatnya mundur beberapa langkah.

Anak itu bangkit dan berjalan menghampiri Elnath, wujudnya berubah seiring langkahnya, lalu berhenti tepat berdiri di hadapan Elnath. Elnath seperti sedang bercermin, yang tadinya ia lihat adalah sosok dirinya di waktu kecil, sekarang berubah menjadi sangat mirip dengan dirinya saat ini, perbedaannya ada di  style mereka, berbeda dengan Elnath yang sekarang, Elnath yang ini terlihat lebih klasik dengan penampilan yang sederhana daripada Elnath yang selalu memperhatikan gaya rambutnya agar selalu tampil cool.

Elnath memperhatikan dirinya yang lain di hadapannya, dilihatnya raut wajah itu menyimpan kesedihan.

"L-lo .... " Tunjuk Elnath bingung.

"Gue pikir lo nggak bisa lihat gue," ucap bayangan dari dirinya itu. Membuat Elnath menaikan sebelah alisnya bingung.

"Lalu, apa lo ingat tempat ini?" tanyanya, membuat Elnath menggeleng bingung.

"Ini adalah tempat lo dan Kania bermain bersama sewaktu kecil, tempat istimewa lo dan Kania," jelasnya. Elnath mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencoba mengingat tetapi tetap tidak ingat juga.

Jadi gue sama Kania emang pernah deket? batin Elnath bertanya-tanya.

"Tapi, lo siapa?" tanya Elnath.

"Gue bagian dari diri lo yang tertinggal sejak sembilan tahun yang lalu," balasnya sambil berjalan ke samping Elnath.

"Ma-maksudnya?"

"Hari itu, saat yang seharusnya keluarga kita pindah ke Jakarta karena kasus kebangkrutan keluarga Kania gara-gara ayah, lo kabur buat nemuin Kania karena lo udah janji sama dia, Kania adalah sesuatu yang berharga buat lo, lo sayang banget sama dia, tapi dalam perjalanan lo malah ngalamin kecelakaan yang menyebabkan lo kehilangan ingatan, dan sejak saat itu gue cuma jadi bayangan yang terjebak, terjebak dengan perasaan besar buat Kania, gue cuma bisa diam di belakang lo setiap saat," jelasnya.

"Gue nggak pernah ucapin janji ke Kania," bantah Elnath.

"Memang bukan lo, tapi gue. Gue yang waktu itu masih ada di tubuh ini," kata bayangan itu sambil menunjuk tubuh Elnath.

"Sampai lo ketemu sama Chaca dan gantiin posisi Kania, seakan-akan lo nggak nganggap perasaan gue ada, gue berulang kali kasih tau lo, tapi gue sadar lo nggak akan bisa lihat gue." Bayangan dari Elnath itu memejamkan matanya sambil tersenyum tipis.

"Tapi sekarang gue senang, Kania telah kembali dan bantu gue buat kembali, gue akan datang buat Kania."

"Tunggu … maksud lo … jadi lo yang belakangan ini …. " Raut wajah Elnath berubah menjadi was-was.

"Iya, itu gue, gue yang menginginkan Kania, perasaan gue lebih besar daripada perasaan lo ke Chaca!"

"Enggak, perasaan gue ke Chaca lebih besar!" Elnath menggelengkan kepalanya.

"Bertahun-tahun gue tersiksa, gue terjebak, dan ini saatnya gue untuk kembali! Lo nggak tau perasaan gue ketika lihat Kania nangis buat lo, dan sikap lo yang nggak baik sama Kania, kalau emang lo nggak bisa jaga Kania sesuai janji lo, biar gue yang lakuin sendiri!" Elnath yang satu itu meneteskan air matanya.

"Tapi semuanya sudah berubah, lo harus terima kenyataannya, kehidupan ini terus berputar dan terus berjalan, kita nggak bisa tetap berhenti di masa lalu, sekarang ada Chaca, gue yang pilih Chaca, dan gue ini diri lo sendiri, seharusnya lo terima keputusan gue. Chaca sama seperti Kania, dia juga berharga buat diri gue yang sekarang." Elnath berusaha menjelaskan pada bayangan dirinya.

Bayangan Elnath itu menepis air matanya kasar dengan senyuman tipis.

"Mungkin menurut lo begitu, tapi bagi gue, Kania tetap milik gue. Kalau gitu, biar gue yang ucapin selamat tinggal ke Chaca," lirihnya.

Elnath terbelalak. "Enggak, lo nggak boleh lakuin ini!" bantah Elnath ketika mendengar perkataan bayangan dirinya barusan, tetapi tidak dihiraukan, bayangan itu tetap berjalan lurus merasuki tubuhnya walau Elnath menolaknya. Kemudian semua kembali gelap.

"Elnath bangun, hiks, Elnath!"

Sayup-sayup Elnath mendegar namanya disebut. Ia berusaha membuka matanya perlahan, dilihatnya seorang gadis dengan selang infus ditangannya tengah menangis tersedu-sedu berdiri di sisinya. Sejak Elnath jatuh pingsan, Chaca terus menangis bahkan turun dari hospital bed-nya tak peduli dengan kondisinya sendiri.

"Elnath, kamu sadar … Elnath!" Chaca langsung memeluk Elnath yang terbaring di sofa panjang kamar inapnya, sedangkan Elnath hanya diam tidak merespon dengan tatapan bingung ke arah Chaca.

"Kamu … siapa?" ucap Elnath pelan. Tetapi ucapannya sukses membuat Chaca bangun dari pelukannya dan menatap Elnath. Walaupun hanya dua kata, Elnath mampu membuat hati Chaca berdesir sakit seperti disayat belati.

"Ma-maksud kamu, El? Aku Chaca," balas Chaca bingung. Elnath hanya memandangi gadis itu, tampak sekali dengan caranya melihat ke arah Chaca, seperti tak mengenalinya sama sekali.

"Cha, biarin Elnath baikan dulu." Sandrina menarik pelan pundak Chaca, ia sendiri bingung dengan apa yang Elnath katakan.

"Maksud lo apa, Bang El?" tanya Berlin sambil mengernyit bingung.

Elnath mengalihkan pandangannya pada Berlin, caranya melihatnya juga sama dengan yang dilakukannya pada Chaca.

"Siapa? Kalian siapa?" Elnath menatap satu per satu wajah yang ada di sekitarnya dengan bingung.

"Elnath kenapa, San?" lirih Chaca pada Sandrina, ia masih tak mengerti dengan apa yang terjadi.

"Lo jangan bercanda deh, Bang. Nggak lucu sumpah!" sentak Sandrina kesal.

"El, kamu kenapa?" tanya Chaca seraya mendekat kepada Elnath, dengan mata yang masih berkaca-kaca.

"Jangan dekat-dekat! Siapa kamu? Saya nggak kenal kamu! Dan Kania mana?" lontar Elnath ketus.

Jleb.

Chaca merasakan dadanya lagi-lagi berdesir, namun lebih sakit dari sebelumnya, dan air matanya kembali menetes dengan deras tanpa diminta.

"Bang El, serius bercanda lo nggak lucu!" Sandrina sudah tidak tahan lagi seraya menarik Chaca ke dalam pelukannya.

"Kalian siapa! Kania mana!" Elnath tampak ketakutan dan kebingungan, sedangkan Chaca sudah menangis tersedu-sedu.

Aurel yang mendengar nama kecilnya disebut langsung menghampiri Elnath, menerobos Berlin dan Sandrina. Ia sejak tadi berada di luar karena Sandrina tidak mengizinkannya masuk.

Ketika melihat Aurel, Elnath tersenyum senang, dan langsung mendekat ke arahnya.

"Kania …. " Elnath memeluk Aurel tepat di hadapan mereka.

"Kania, siapa mereka? Kenapa mereka marah sama El?" tanya Elnath bingung.

Melihat itu, pertahanan Chaca runtuh, kakinya terasa lemas dan akhirnya tubuhnya merosot ke lantai.

Sandrina dan Berlin sangat tak menyangka dengan apa yang dikatakan Elnath, mereka masih tak percaya dengan adegan yang ada di hadapannya. Melihat Elnath berbuat seperti itu kepada gadis lain pasti sangat menyakitkan bagi Chaca, Sandrina yang dikenal dengan sikap cuek dan kasarnya bahkan ikut merasakan sakit yang Chaca rasakan.

"Elnath bercanda 'kan? Ini Chaca, El, Chaca!" teriak Chaca dengan tangisan yang semakin deras. Elnath malah mengeratkan pelukannya pada Aurel.

"See? Elnath lebih pilih gue dan lupain lo." Aurel tersenyum sombong.

"Elnath, ulang tahun Chaca masih lama, ngerjain Chacanya nanti aja." Chaca tersenyum pahit dan tidak mempercayai ucapan Elnath, sesekali ia menepis air matanya dan berusaha tetap tersenyum.

"Saya nggak kenal kamu," kata Elnath dan memandang aneh ke arah Chaca dengan posisinya yang masih setia memeluk Aurel.

"Udah, Cha, udah. Bang El, bajingan banget sih lo! Dan lo cewek murahan, lebih baik lo pergi dari sini, bawa cowok brengsek ini, gue gak peduli!" bentak Sandrina tak sanggup menahan kesabarannya lagi. Ia tak ingin sahabatnya lebih lama tersiksa dengan pemandangan yang membuat mata dan hati memanas.

***

Jangan lupa vote yah!

See u on next Chapter😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#nubargwp