Bab 7. Menginap

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍"‍‍‍‍Bencana sebuah hubungan kayanya gak jauh-jauh dari kepercayaan."

~~•~~

"Gimana pun masa lalu kamu, latar belakang kamu. Aku gak akan mempermasalahkannya. Sama seperti kamu gak mempermasalahkan latar belakanng keluarga aku." Bagi Ily perasaan cinta ini hanya bagaimana cara kita menerima dan membalasnya.

Gravi menggenggam hangat kedua telapak Ily. "Inilah kenapa, aku gak bisa ngelepasin kamu gitu aja. Cuma kamu yang bisa ngertiin aku setelah kepergian mama."

Gravi menarik Ily ke dalam dekapannya. "Ly, denger. Bianca gak berarti banyak buat aku, dia cuma temen biasa."

Rasa biasa itu berpotensi menjadi cinta, kan. Apalagi dengan cewe sesempurna Bianca, batin Ily.

"Percaya ya, sama aku," bisik Gravi pelan

Hampir, Ily hampir seratus persen percaya ucapan Gravi, tapi kembali lagi pada keraguannya sejak kemarin. Ily tak lebih cantik dari Bianca, dia juga tak lebih kaya dari Bianca, good attitude ... Ily rasa Bianca juga perempuan yang baik.

"Ily," Gravi melepas pelukan, "sebenernya gimana perasaan kamu ke aku?"

Melihat tak ada tanda-tanda Ily akan merespon. Gravi kembali mengimbuhi, "Udah tiga atau empat kali, aku liat kamu ketemuan sama Halim di cafe Bianca. Kenapa kamu rahasiain itu?"

"Aku takut kamu marah." Tak ada kalimat yang dimanipulasi, memang itu alasan yang terbesit saat Gravi melontarkan pertanyaan.

"Dengan merahasiakannya, kamu yakin kalau aku gak akan marah pas aku tau hal itu?"

"Aku gak pernah berpikir sampai ke sana." Memang Ily tak pernah menyangka Gravi akan mengetahuinya secepat ini.

"Lagi pula, baru-baru aja aku ketemu Kak Halim. Itupun karena gak sengaja ketemu di halte."

"Halte?" Ily mengangguk cepat.

"Dia pasti punya maksud lain, Ly. Dia itu gak sebaik keliatannya." Ily mengerti. Gravi mengatakan itu karena memang Gravi benci dengan Halim.

"Dia terlalu perhatian ke kamu. Jangan deket-deket, aku gak suka. Dia berusaha bikin hubungan kita makin renggang."

Untuk yang satu ini Ily tidak setuju dengan Gravi. Ily merasa, Halim tidak pernah mecoba menarik perhatiannya lebih dari seorang kakak kelas kepada adik kelas. Apalagi berniat merusak hubungan Ily dengan Gravi. Toh, lagi pula Ily sama sekali tak ada ketertarikan dengan saudara tiri Gravi.

"Kamu belum jawab pertanyaan aku, Ly," Gravi berhenti sejenak, "Apa kamu masih cinta sama aku?"

"Aku di sini karena perasaan itu, Gra. I love you."

Gravi mendekat lantas menciun kening Ily. "I love you too."

Tak berselang lama Gravi memundurkan wajah, tangannya berdiam di pipi Ily. "Kapan kita bisa rayain anniversary seharian?"

Alis Ily tertekuk, "Harus seharian?"

"Masa iya cuma makan doang. Itukan anniversary pertama kita."

Ily membenarkan dalam hati. Setelah nanti Ily kuliah dan bekerja diwaktu yang bersamaan, pasti mereka akan kesulitan menghabiskan waktu bersama. Kalau Gravi bisa, kenapa Ily tidak.

"Aku siap kapan aja, deh."

Gravi tersenyum, melipat kedua tangan di depan dada. "Kalo gitu, lusa, ya."

"Malming?"

Gravi mengangguk, "Gimana?"

"Aye-aye, captain." Tangan Ily letakkan di atas pelipisnya. "Eh, tapi. Aku kan kerja."

"Nanti aku ijinin ke Bianca. Aku juga mau ijin absen kuliah."

***

"Lo percaya gitu aja kalo cewe itu temennya dia?" Ily mengangguk menanggapi pertanyaan Gita.

"Gimana kalo ternyata cewenya mau diajak jadi selingkuhan?" Gita mengunyah kembali kentang goreng di mulutnya.

Kali ini Ily diam. Kenapa Gita selalu penuh dengan kecurigaan di kepalanya. Sahabatnya yang satu ini, selalu punya prasangka-prasangka yang bahkan tidak pernah terpikir oleh Ily.

"Udah-udah, jangan dipikirin, Ly. Gita tuh udah tercemar sama drakor perselingkuhan, jadinya gitu. Dia berusaha match-in kisah yang dia liat di laptop sama kisah percintaan lo."

Gita melirik sinis tak terima, "Ya gak gitu juga kali njir." Mega mengendikkan bahu tak peduli.

"Gue rasa hubungan lo ama Gravi bakalan awet, mulus tanpa kerikil kaya jalan tol."

Celetukan Gita mengundang cibiran Mega, "Halah si gurita bayi sok tau banget."

"Eh bener, ya. Soalnya tuh, Ily udah percaya banget ama Gravi."

"Emang ada pengaruhnya?" Mega kembali bersuara.

‍‍‍‍‍‍‍"‍‍‍‍Ada lah. Kepercayaan Ily bakalan mengurangi intensitas pertengkaran mereka dibanding ama pasangan yang enggak saling percaya. Sebab menurut gue, bencana sebuah hubungan kayanya tuh gak jauh-jauh dari kepercayaan."

Ily melihat keluar jendela kamar Mega. Apa benar yang dikatakan Gita.

"Ya, gue doain semoga lo bahagia ama Gravi. Omongan Gita jangan dipercaya, sesat lo nanti."

Gita mencibir tak terima, sedangkan Ily tertawa melihat tingkah keduanya yang masih saling mencibir.

Sudah hampir jam setengah delapan, Ily harus segera pulang karena ia sudah berjanji pada ibunya untuk sampai di rumah jam depan. "Mega gue pulang, ya."

Langkah Ily terhenti karena Mega mencegah dengan sebuah peryanyaan. "Lo beneran hari sabtu gak bisa nginep di sini?"

Ily menggeleng, dia tidak mungkin membatalkan janjinya pada Gravi. "Kapan-kapan, deh, gue janji."

Setelah itu, Ily bergegas turun ke lantai satu. Saat sampai di ruang tamu, Ily mendapati ayah Mega bersama seorang wanita dewasa. Keduanya duduk di sofa.

"Malam, Om."

"Hai, Ily kan?" Gadis itu tersenyum mengangguk.

"Saya mau pamit pulang dulu, Om."

Pria yang Ily taksir berumur 40 tahun itu mengangguk dan tersenyum ramah. "Titip salam untuk orang tua kamu, ya."

Di sepanjang langkah Ily keluar dari rumah Mega. Ucapan Gita lagi-lagi terus membayanginya. "Gue rasa hubungan lo ama Gravi bakalan awet, mulus tanpa kerikil kaya jalan tol."

Pukul 11.38 WIB

"Kamu minta ditemenin belanja sama aku?"

Gravi tak menjawab hanya terkekeh kecil lalu menarik Ily masuk ke dalam mall. Setelah sama-sama terjebak dalam taksi hampir setengah jam karena macet. Akhirnya kaki berbalut levis milik Ily bisa berjalan santai.

Mall cukup ramai mengingat hari ini adalah weekend. Ada banyak pasangan pemuda-pemudi seumurannya yang berkeliaran, juga anak-anak kecil dengan orang tuanya.

Lantai satu di dominasi oleh toko-toko keperluan anak juga wahana kidzone. Gravi menarik Ily menuju elevator. "Mau makan dulu?"

Ily menggeleng, "Nanti aja, belum laper."

"Yaudah tunggu, aku mau beli minuman dulu."

Di lantai dua, Ily menyapu pandang ke sekitar. Banyak outlet makanan siap saji di sini. Menunya tak jauh berbeda dengan stand yang ada di sepanjang jalan ketika CFD di akhir pekan. Yang berbeda hanya harga saja, di mall jauh lebih mahal dua kali lipat. Sayang sekali.

"Nih," Segelas es teh disodorkan pada Ily.

"Loh, punya kamu gak dingin?" Ily menyapu sekalias permukaan gelas palstik milik Gravi yang sama sekali tak mengembun.

"Aku gak suka minuman dingin, Ly." Satu fakta tentang Gravi yang baru Ily sadari. Pantas saja jika sedang makan bersama, minuman Gravi tak juh dari kopi dan teh hangat.

"Mumpung ngelewatin, yuk mampir dulu." Gravi tiba-tiba berbelok haluan. Ily menahan, melepas tangan Gravi yang menariknya.

"Ayo sini." Gravi melambainya untuk mendekat.

Ily menggeleng. Tidak, ia tak ingin membeli tas apa pun dari brand itu. Mahal. Ily tau betul. Lebih baik uangnya Gravi simpan dari pada dipakai untuk membelikan benda yang sebenarnya tidak benar-benar Ily butuhkan.

"Udah, ayo."

Gravi menarik lagi tangan Ily. Namun gadis itu tetap pada petak lantai yang ia pijak. "Enggak, Gra. Aku gak perlu tasnya. Lagian tas aku yang ini masih bisa."

"Ini beda Ly, beda."

Di depan outlet tas keluaran Kate Sp**e, Gravi dan Ily saling keukeuh dengan keputusannya masing-masing. Melihat tak ada tanda-tanda Ily akan menurut, Gravi langsung masuk ke dalam outlet. Di luar Ily tak bisa berbuat apa-apa, Gravi memang sangat keras kepala. Tak berselang lama, lelaki itu keluar dengan paper bag pink di tangannya.

"Aku gak tau kamu suka apa enggak," ujar Gravi sesampainya ia di dekat Ily.

"Ya kamu sih, aku gak butuh padahal."

Gravi mengendikkan bahu tak peduli. Ily diam saja. Hal serupa terus berulang, sepatu, pakaian, parfume, skincare. Astaga.
Omelan Ily di sepanjang lantai dua sama sekali tak di dengar Gravi.

"Bawel banget si embem."

"Yaiya, abis kamu ngapain nguras duit segitu banyaknya? Aku gak suka dibeliin kaya gitu."

"Loh, mbem kok marah sih." Tangan Gravi yang sudah penuh dengan paper bag berusaha meraih bahu Ily, lalu Gravi menatap wajah kekasihnya.

"Yaudah maap. Udah jangan marah dong. Nanti bawa satu aja yang kamu mau deh. Sisanya aku lelang ke temen aku di kampus."

Ily tertawa mendengar ucapan Gravi. "Bener yah bakalan kamu lelang?" Lelaki di depannya mengangguk takzim.

"Yaudah yuk, abis itu mau ke mana?" tanya Ily.

"Makan dulu, aku laper."

***

"Kamu gak salah beli makanan ringan sampe dua kardus."

"Gapapa, awet kok."

Ily tersenyum tipis ketika Gravi menjawab pertanyaannya dengan santai. Bukan masalah banyak makanannya, hanya saja Gravi terlalu banyak menguras uang hari ini. Seperti bukan Gravi, cowo bersahaja yang biasa Ily kenal.

Saat elevator mencapai dasar tangan Gravi menarik Ily ke arah berlawanan. "Loh, loh, belanjaan tadi kan di penitipan barang."

"Kita ke galeri seni dulu."

Ily mengerutkan kening tak percaya. "Mana ada galeri seni di mall ini. Bo'ong yaaa ...." Meski begitu Ily tetap berjalan mengekori Gravi.

"Enak aja, aku jujur tau." Ily berulang kali mencibir, tapi tak satu pun Gravi menyahuti dis. Sampai Gravi berbelok, barulah Ily percaya. Di balik pintu kaca ini, ada banyak jejeran lukisan di dindingnya.

"Pak, saya Gravi anak pak Rajendra Hartanta mau berkunjung ke galeri ini."

Security yang berjaga di dekat pintu masuk mengangguk menyilahkan Gravi. Di belakang Gravi, Ily juga mengangguk dan tersenyum pada pria yang umurnya jelas jauh lebih tua dari mereka berdua.

"Kamu boleh liat-liat sampe puas."

Tak menyiakan kesempatan yang ada, Ily benar-benar menghabiskan waktu yang lama di dalam galeri seni itu. Melihat karya di sana dari dekat, mengambil foto, bahkan selfie dengan lukisan-lukisan itu.

“Gra, sini foto!” Pemuda yang ada di sebrang Ily menggeleng.

“Ayooo,” Ily merengek mendekat, lalu menggoyang lengan laki-laki itu.

Tapi Gravi masih diam. “Please ... buat kenang-kenangan. Ya, sayang ....”

Gravi tertawa renyah, “Yaudah.”

“Yes! Pake dong, pake kacamatanya.” Gravi tak menggubris, Ily akhirnya memaksa benda itu bertengger di hidung sang kekasih.

“Nah gini.”

Langsung tanpa ada aba-aba, Ily menodongkan  kamera ponselnya ke arah Gravi. Fotonya candid, tapi Gravi sangat jelek di sana. Ily terpingkal-pingkal memandang hasil jepretannya. Sedangkan makhluk berjakun itu memasang wajah pasrah.

“Kamu kaya tukang pijit tau”

“Ya, gapapa. Yang penting kamu tetep cinta.”

Ily mencibir geli, memilih kembali melihat-lihat lukisan daripada meladeni kenarsisan Gravi yang lebih mirip seperti milik Halim. Jangan-jangan, ruh Halim merasuki Gravinya. Astaga Ily tak peduli, yang ia rasakan saat ini hanya bahagia. Sangat bahagia.

Entah sudah berapa kali Gravi tersenyum melihat ekspresi kagum Ily itu. "Kamu boleh kagum bolak-balik ama lukisannya, tapi jangan sampe kagum ama pelukisnya."

Ily terkekeh, mengangkat telapak di atas pelipisnya, "Aye-aye, captain."

Ily terlalu bahagia, Gravi benar-benar tahu apa yang ia suka. Bagi Ily ini romantis, di galeri sebesar dan dengan banyak lorong ini. Hanya ada mereka berdua. Rasanya begitu bebas, sampai-sampai Ily dan Gravi duduk di lantai, lelah karena hampir satu jam setengah mereka berjalan tanpa henti di galeri ini.

"Yuk pulang, aku capek banget."

Ily menoleh ke kanan. "Katanya terserah aku," protes Ily seketika Gravi mengiyakan pasrah.

"Menurut kamu, seberapa banyak lukisan di sini?" Ily membuka topik.

"Seratus?"

"Woaaah." Gravi dengan tidak santainya mengusap wajah Ily, melenyapkan ekspresi terperangahnya untuk yang kesekian kali.

"Awas kalo sampe kagum ama yang bikin."

Ily terkekeh lagi, kemudian lanjut bicara. "Dia ngebut bikin seratus lukisan buat menuhin galeri ini?"

"Kayanya enggak. Mungkn itu lukisan dari jaman SMP. Dari semenjak dia dateng ke rumah, dia emang udah punya bakat ngelukis. Udahlah jangan ngomongin dia, nanti kamu naksir."

Gravi ini pencemburu sekali.

Untuk yang satu ini Ily baru tahu. Halim tak pernah sekali pun bercerita tentang dirinya, ketika menjadi tutor Ily semsa SMA. Halim benar-benar hanya mengajari Ily teknik dan tips-tips melukisnya. Tak ada satu pun modus PDKT yang terekam oleh sensor Ily. Jadi tuduhan tak berdasar dari Gravi itu, salah besar.

"Satu lorong lagi dan satu ruangan utama, abis itu kita langsung pulang." Gravi berdiri mulai melangkah ke lorong terakhir.

Ily menyusul memeluk Gravi dari belakang sambil berucap, "Makasi udah ngajakin aku seru-seruan setengah hari ini."

Tangan Gravi terangkat, mengelus tangan Ily yang melingkar di perutnya. "Aku juga makasi, kamu sampe harus berbohong sama orang tua kamu demi aku."

Pukul 18.46 WIB

Ily sudah merebahkan diri di kasur, menyalakan laptop, lalu manancapkan flashdisk putih yang Gravi maksud. Rencananya mereka akan maraton film semalaman. Saat membuka file, hanya ada satu folder yang terisi. Ketika dibuka, ternyata isinya video-video yang hanya terlihat tampilan hitam dan tanpa judul.

Dengan asal, Ily mengklik salah satu videonya. Di menit awal terlihat adegan sepasang kekasih yang bangun tidur di pagi hari. Ily pikir film yang ia lihat bergenre romance-action. Ditontonnya terus film itu, sampai lima menit berlalu, yang dilakukan dua pemain di sana cuma ciuman saja.

Hanya suara decapan-decapan bibir mereka yang sejak tadi Ily dengar. Tak ada dialog apapun selain 'good morning baby' yang diucapkan kedua tokoh di awal video tadi.

Terlalu besar rasa penasaran membuat jari Ily menekan touchpad laptop, mempercepat videonya. Di detik itu juga mata Ily membelakak. Hanya ada suara desahan dalam di video itu.

Oh My God!

Rupanya sepasang orang bule itu adalah bintang film pornografi. Mata Ily tertuju pada adegan panas di layar laptop. Kepalanya membayangkan Gravi yang selalu melihat video ini, sampai-sampai mengoleksinya. Astaga.

Disaat yang bersamaan, tiba-tiba Gravi sudah merebahkan diri di samping Ily. Menekan keyboard spasi, video terhenti seketika. "Maaf, ya, kayanya aku salah ambil flashdisk punya Bima kemarin."

"Jadi, itu bukan punya kamu?" Gravi menggeleng.

Ily mengangguk kembali menekan keyboard space, melanjutkan video. Melalui sudut mata, Ily tahu Gravi tercengan saat ini. "Ly, kamu serius mau nonton?"

Mengendikkan bahunya, lalu Ily kembali berucap, "Gak ada tontonan lain kan." Gravi diam dan ikut terpaku pada layar laptop.

Desahan-desahan itu terdengar sangat asing di telinga Ily. Ternyata begitu cara manusia mendapatkan keturunan. Pinggul mereka bergoyang dengan desahan napas berat yang terengah-engah. Menjijikan! Tapi, seperti apa rasanya. Dua orang itu melenguh seolah-olah merasakan kenikmatan yang begitu besar.

Enam puluh menit berlalu. Ily nerasakan sesuatu yang berbeda setelah melihat video itu. Tubuhnya seolah-olah ikut memberikan reaksi aneh. Ily telentang melihat ke arah Gravi yang masih serius menatap layar laptop. Detik itu juga Gravi mebalas tatapan Ily. Mata minimalis itu melekat, memberi sensai tatapan yang tidak biasa. Lalu Tangan Gravi menyusul membelai pipi gadisnya. Perlahan dan pasti sentuhan itu beralih ke belakang telinga.

Ily memejamkan mata saat perlahan Gravi memepetkan bibir mereka. Dikecup mesra bibir tipis Ily. Gadis itu tak sempat protes. Ia hanya sibuk menikmati ciuman itu. Ciuman yang tak pernah Gravi berikan, ternyata luar biasa efeknya. Ciuman intens ini, tepat seperti yang banyak digonjang-ganjingkan orang di luar sana. Memabukkan dan membuatnya enggan untuk berhenti.

Ciuman maut yang Gravi berikan bukan hanya mengaktifkan seluruh saraf di sekujur tubuh Ily. Namun, juga mengaktifkan seluruh bibit keresahan di hidupnya. Ciuman maut itu juga, jadi awal dari berakhirnya ketentraman dalam hidup Ily.

Ily tak berpikir sampai ke sana. Yang Ily tau, Ily ingin menikmati kenikmatan yang lebih dan lebih lagi. Malam itu jadi malam paling manis dan beracun di sepanjang umurnya.

Bersambung ....

7 Oktober 2020
04.04 WIB

[Revised]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro