Bab 8. Kemarin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍Ily membuka mata, potongan kejadian kemarin kembali berputar. Ternyata bukan mimpi, kemarin itu nyata. Pakaiannya, kemana mereka semua, tak satu pun lembar kain yang bisa Ily rasakan. Jadi, semalaman ia tidur hanya tertutup selimut ini. Dadanya berdegup kencang, kembali teringat akan hal yang telah ia dan Gravi lakukan.

Deru napas Ily semakin tak karuan seiring dadanya yang bertalu karena cemas. Telapak kakinya berkeringat dingin. Iris Ily memandang kosong ke arah tirai yang sedikit terbuka. Diluar masih gelap. Jam berapa sekarang. Ily terpejam, menarik keluar tangan kirinya dari selimut.

"Kamu udah bangun, Ly."

Gravi menyentuh bahunya yang bebas kain. Ily menegang, pergerakannya terhenti seketika. Padahal ia berharap Gravi masih terlelap. Ia ingin keluar dari apartment Gravi tanpa perlu berbicara apa pun dengan dia.

Disingkirkannya tangan Gravi. Ily bangkit dari pembaringan, menahan selimut tebal agar tetap membalut tubuh, lalu melilitkan kain putih itu. Seperti ada sesuatu yang berbeda dari biasanya, terasa seperti ada yang mengganjal di pangkal paha. Ia merutuk menyesal, bahkan berjalan saja Ily tidak senormal biasanya, sedikit tertatih. Bagaimana ini, bagaimana jika orang rumah tau keanehan itu. Ily akan menjawab bagaimana.

Di kaki ranjang, Ily membawa semua pakaian yang tergeletak di sana. Malu rasanya membayangkan Gravi yang memungut satu-persatu pakaian Ily dari lantai. Dan tubuh ini, bahkan Gravi sudah melihat setiap incinya. Seperti kehilangan harga dan kepercayan diri, entah kenapa Ily merasa hina bahkan di depan Gravi sekali pun. Dia malu.

"Aku bantu kamu ke kamar mandi."

Tubuh Ily bergeser selangkah menjauh dari Gravi. "Aku bisa sendiri."

Berlalu dari kamar Gravi. Ily tersenyum hambar. Lelaki itu sudah berpakaian lengkap, bercelana panjang dan memakai hoodie.

Jadi, dia berniat meninggalkan aku sendiri di apartnya, batin Ily menebak.

"Aku antar pulang, Ly."

"Aku bisa pulang sendiri." Ily menjawab tanpa melihat wajah Gravi.

"Kalo gitu aku udah pesen Grab buat kamu. Kabari aku kalo kamu udah sampe rumah."

Ily keluar begitu saja tanpa menyahut. Derai air mata berlomba-lomba melintasi pipi Ily. Bagaimana jika sesuatu terjadi padanya. Ily takut, sangat takut jika perbuatannya semalam akan membuahkan sebuah kehidupan di dalam rahimnya.

Pukul 04.25 WIB

Ily keluar dari mobil, pintu rumah terbuka. Ia yakin ayah dan ibunya masih di masjid sekarang. Di ruang tamu, ia berpapasan dengan Disti yang sedang menyapu lantai.

"Loh Ly, dah pulang."

"Iya, mbak. Mega ada acara, subuh-subuh langsung ke puncak. Yaudah maraton filmnya buyar. Aku pulang ajalah." Disti mengangguk paham.

"Keseleo kaki kamu?"

Dada Ily berdegup kencang. Hampir saja dia kelepasan memasang wajah ketakutan. Ily menarik napasnya pelan lalu menjawab pertanyaan kakaknya.

"Dikit Mbak, pas mau turun tangga di rumah Mega tadi." Disti kembali fokus dengan kegiatannya yang sempat tertunda.

"Yaudah tidur sana, biar mbak yang kerjain kerjaan rumah. Sebelum tidur, dipijit juga kakinya."

Ily langsung masuk ke kamar, menyalakan lampu, dan tengkurap di atas kasur. Mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Ily mengetikkan sesuatu di mesin pencarian.

Peluang hamil setelah hubungan suami istri pertama

Banyak orang bilang, hubungan seks pertama tak akan membuahkan apa pun. Apalagi jika si lelaki berejakulasi di luar rahim. Ily tak pernah peduli dengan topik ini sebelumnya. Namun setelah kejadian semalam, ia benar-benar was-was.

Jemarinya terus menggulirkan halaman ke bawah. Ibu jarinya menekan satu artikel dari website hallosehat. Keringat dingin mulai membanjiri telapak dan pelipis Ily. Terlalu banyak kalimat di dalam artikel yang bertentangan dengan apa yang ia percayai dari kata orang-orang.

Tahukah Anda bahwa percobaan untuk hamil tidak harus dilakukan berkali-kali? Artinya, sekali berhubungan intim pun tetap memberi Anda kesempatan untuk bisa hamil.

Seorang wanita yang melakukan hubungan intim tanpa alat kontrasepsi, walau hanya sekali, memiliki kemungkinan untuk bisa hamil.

Oleh karenanya, jika Anda melakukan salah satu dari kedua aktivitas seks yang berpotensi untuk hamil, walau hanya melakukan sekali, tidak menutup kemungkinan akan terjadi kehamilan.

Kali ini Ily melepaskan ponsel dari genggaman. Telapaknya bergetar, jatung Ily bertalu kencang. Dia tengkurap, menangis dengan wajah yang terbenam pada bantal. Ily tersedu menyesali perbuatannya.

Siang harinya ....

"Bu, Ily berangkat kerja dulu, Assalamualaikum."

Sekitar pukul satu siang. Seperti biasa, hari minggu itu Ily tetap bekerja. Kakinya melangkah menyebrang jalan, lalu berjalan lagi sekitar 50 meter untuk sampai di halte.

Tiba-tiba saja ponsel Ily bergetar, ada sebuah pesan masuk. Namun Ily menghiraukannya. Pasti pesan itu dari Gravi. Sejak pagi, dia banyak mengirim pesan pada Ily dan tak satu pun juga pesannya Ily balas.

Ily berdiri seraya melambaikan tangan saat sebuah bus terlihat dari ujung jalan. Gadis berkemeja coklat dengan celanan hitam berbahan kain itu segera naik kemudian duduk di salah satu bangku. Ia menarik bapas dalam, menghembuskan perlahan.

Gapapa, gak akan ada yang terjadi, batin Ily.

Ily dengan seragam kerjanya dengan gesit melintas di setiap meja pengunjung. Mengingat ini hari minggu, jadi wajar jika cafe ramai pengunjung. Tiga meja pesanan sudah Ily dapatkan, ia segera menelusup masuk ke dapur.

"Nih, gercep yak."

Alya hanya menangguk, masih terfokus pada kegiatannya. Ily lantas mendekat pada meja pesanan siap saji. Mengantongi notes dan bolpoinnya pada saku celanan. Dibacanya secarik kertas yang ada di nampan. "Meja nomer 23," gumam Ily.

Dengan cepat namun penuh hati-hati, Ily nelesat di antara meja-meja customer. Hampir dua minggu bekerja di sini, Ily sudah hapal betul letak setiap nomor meja. Meja nomor 23 ada di pojok ruangan dekat jendela.

"Permisi, kakak ..." Ily tersenyum sekali lalu kembali berujar, "ini pesanannya." Setelah meletakkan piring dan gelas, ia tersenyum lagi.

"Silahkan dinikmati, Kak. Semoga hari kakak menyenangkan," ulang Ily sebelum akhirnya ia melangkah kembali ke dapur.

Sudah hampir maghrib, pekerjaannya sebentar lagi akan selesai. Ia bersyukur dalam hati saat Khansa, pekerja part time lain yang bertugas malam sudah datang dan muncul dari bilik pekerja.

"Fighting, Sa. Gue pulang dulu," celetuk Ily menyambut Khansa di dapur.

"Ho oh, lo kalo lagi sedih gausah maksain senyum ke gue. Udah cukup ke para customer aja."

Bisikan Khansa membuat Ily tersenyum kecil. Selain Nada, teman Kerja yang paling bisa mengerti dirinya seolah-olah sudah saling kenal lama ya, Khansa ini. Ily masuk ke ruangan lain, mengambil tas yang ada di loker lalu bergegas menuju kamar mandi.

Di bilik toilet, Ily berdiri mematung. Dia mulai membuka setiap kancing seragamnya. Sejak kejadian di apartment Gravi, setiap kali membuka baju. Yang selalu terbayang di benak adalah dia kotor, dia hina, dan malu dengan Gravi. Lelaki itu pasti berpikir dirinya wanita murahan. Ily bahkan tak menolak sekali pun ajakan Gravi. Kenapa ia begitu bodohnya kemarin.

Air asin itu menetes lagi mengguyur pipinya. Ily memeluk diri sendiri, duduk berjongkok, menenggelamkan kepala di lipatan tangan, dia menangis tersedu tanpa suara. Setiap jengkal kulitnya sudah tak lagi berharga, semua sudah dilihat dan disentuh kekasihnya, dia sudah hina 'kan. Sekarang Ily tidak hanya miskin, tapi juga tak lagi memiliki harga diri, dia bukan lagi gadis yang baik.

Persis seperti hari-hari sebelumnya, Ily duduk di halte bus. Waktu hampir maghrib dan belum ada satu pun angkutan kota yang melintas. Ily rasa, dia melewatkannya karena terlalu lama berada di toilet tadi. Manik gelap Ily memandang kosong jalanan aspal yang ramai dilewati kendaraan beroda empat.

Sebuah mobil SUV mini BR-V putih berhenti di dekat halte, detik selanjutnya seseorang keluar dari balik pintu kemudi. Halim dengan kaos navy berbalut jaket denim dan celana jeansnya, melangkah mendekati Ily.

"Ayo, gue anter pulang."

Ily bergeming, maniknya tak sedikit pun melirik orang itu. Bertemu Halim pada ujungnya cuma akan mengingatkan Ily pada saudara tirinya. Ily benar-benar ingin sendiri, lagi pula ia juga bisa pulang tanpa perlu bantuan Halim.

"Di trotoar sebelum halte, ada dua orang badan gede yang merhatiin lo."

Ily mendongak, berdiri lalu menengok kanan memastikan ucapan Halim. Benar, ada dua pria berbadan besar berpenampilan sangar. Tiba-tiba Halim menarik dan mendorong tubuh mungilnya masuk ke mobil.

Mobil Halim melaju di sepanjang jalan. Suasana sempat hening sesaat, tapi lelaki itu lebih dulu angkat bicara memecah keheningan. "Jangan ngelamun di pinggir jalan, apalagi sepi gitu. Bukan kesurupan yang berbahaya, tapi dua preman yang kaya itu tadi."

Ily masih bungkam, "Untung gue tadi nengok ke kiri kan. Itu mata juga keliatan banget kalo abis nangis."

"Hah?"

"Hu um," Halim mengangguk, "Kalo bisa, begitu sampe rumah, matanya langsung dikompres air dingin."

"Gue yakin, pasti lo gak mau kan ditanyain ini itu ama ibu lo," sambung Halim.

Ily tersenyum kecil. "Kak, di depan langsung belok kiri aja."

Mobil menepi sesuai keinginan Ily, "Rumah lo yang mana?"

"Agak ke sana lagi, yang ada warung nasi kecil di teras rumah." Ily menjelaskan sembari melepas seatbelt. "Makasih, Kak. Maaf ngerepotin."

"Gak repot, gue juga sekalian mau ke apart Gravi."

Ada apa Halim ke apart Gravi. Ingin sekali Ily bertanya ini dan itu, tapi ... yang benar saja. "Hati-hati, Kak," pesan Ily sebelum akhirnya menutup pintu mobil.

"Assalamualaikum."

Adiknya, Delia yang sedang duduk di warung menjawab semangat salam Ily. Delia dengan puppy eyesnya mencoba membujuk Ily untuk meminjamka ponsel. Ily tertawa singkat.

"Nih, HP-nya. Tas punya Mbak tolong Delia taro di kamar Mbak, ya." Delia mengangguk semangat, berlari ke dalam rumah dengan tas dan ponsel Ily di tangannya.

Senyumnya memudar terganti lagi oleh raut wajah sendu. Matanya menyorot layu apa-apa saja yang dilihat. Tak berselang lama Dipta dan Shinta pulang ke rumah.

"Walaikumsalam," ujar Ily menjawab salam kedua orang tuanya.

Dipta tertus melangkah masuk ke dalam rumah, sedangkan Shinta menemui anaknya yang duduk menunggu warung.

"Ratna mandi sana, abis itu makan langsung istirahat aja. Kaya lesu banget mukanya Ratna."

Gadis itu terdiam. Masih dengan posisi duduk, Ily memeluk ibu yang berdiri tepat di hadapnnya. Ia menahan mati-matian air matanya yang terus mendesak minta keluar.

"Ratna lagi ada masalah?" Tangan Shinta mengusap lembut kepala Ily.

"Sedikit, tadi di kerjaan, Bu."

Shinta tersenyum, "Wajar Na, kalo kerja pasti dimarahin orang. Udah gapapa mending sekarang mandi aja."

Hari ini, satu kebohongan lagi-lagi Ily ucapkan pada ibunya.

Bersambung ....

8 Oktober 2020
00.20 WIB

[Revised]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro