Chapter 23🍭

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Pa, kemarin Kak Aurel diapelin pacarnya, loh." Putri membuka pembicaraan pada suatu pagi di meja makan yang semula hening.

Indra melirik putri sulung yang duduk di samping kanannya. Aurel yang merasa dilihat membesarkam pupilnya. "Nggak, kok, Pa!"

"Bohong. Aku sama Mama saksinya," tukas Putri kemudian. "Iya 'kan, Ma?" Ia kemudiammenjulurkan lidah pada Aurel yang duduk di depannya saat Vania menganggukan kepala tanda setuju.

"Apa, sih, lo, Dek!"

"Papa nggak ngelarang 'kok."

"Beneran, Pa?" tanya Aurel tak percaya. Ketiga orang di ruangan itu tampak terkekeh.

"Tuh, kan!" seru Putri.

"Rese, lo, Dek! Gue 'kan cuma nanya."

"Sekelas sama kamu orangnya?" tanya Indra.

"Papa, ish!"

"Kayaknya kakak kelas, Pa. Soalnya Ka Aurel panggilnya pake embel-embel 'Kak' mulu." Putri menjelaskan lalu menegus segelas air.

"Dek!"

"Ampun, Kak, ampun." Putri menyengir, tetapi merasa senang karena berhasil membuat kakaknya kesal.

"Hebat juga kamu, belum setengah semester udah punya pacar aja. Kakak kelas, lagi," Vania yang dari tadi hanya menjadi penyimak akhirnya membuka suara. Tetapi itu justru membuat Aurel merasa tidak suka.

"Udah, deh, ngapain bahas aku terus. Putri, tuh, Pa. Katanya ada anak cowok nembak Dia," adu Aurel.

"Kak!" Sekarang gantian Aurel yang menjulurkan lidah pada adiknya itu yang nampak kesal. "Bo'ong, Pa!"

"Kalo kamu nggak Papa izinin pacaran. Masih kecil juga pacar-pacaran," ucap Indra, tetapi tidak sepenuhnya marah.

"Lagian siapa juga yang pacaran," gumam Putri. Memutar kedua matanya karena Aurel yang tersenyum penuh kemenangan.

Setelah beberapa menit berbicara santai dengan keluarga mereka, Aurel dan Putri kemudian diantar Indra ke sekolah. Sepanjang perjalanan kedua putrinya itu tampak saling menunjukkan pandangan tidak suka. Indra hanya tersenyum tipis melihat itu.

Aurel sekarang berjalan masuk ke gedung sekolahnya. Sebelumnya ia sudah diberitahu oleh Syabila yang kebetulan hari ini datang duluan, bahwa apel pagi tidak dilaksanakan. Sahabatnya itu juga mengatakan untuk ke sekolah lebih cepat agar bisa mendapat waktu belajar-jika ia tidak sempat belajar semalam-sebelum menghadapi soal-soal ulangan Matematika pada jam pertama.

Aurel mempercepat langkahnya setelah melirik jam biru langit yang melingkar di pergelangan tangannya. Beruntung ia sampai di kelas tepat dua puluh menit sebelum pelajaran pertama dimulai. Masih ada waktu yang lumayan untuknya belajar.

"Tumben. Nggak belajar lo?"

"Gue lupa. Padahal kemarin gue sempet ngecek jadwal dan ngerasa emang nggak ada ulangan atau pun tugas."

"Ya, kan minggu lalu lo emang nggak ngasih notes di bukunya. Lo minta gue nyuruh ngingetin."

"Trus?"

Syabila menunjukkan cengiran. "Sorry, Beb. Kemarin wifi gue mati. Quota juga nggak ada."

Aurel mendengus lantas mulai memfokuskan diri dengan materi-materi di buku paket dan buku catatannya.

🐛🐛🐛

Dion berjalan sambil bersenandung di samping Aurel menuju kantin. Hanya mereka berdua, Syabila mereka suruh tetap tinggal di kelas untuk lanjut mengerjakan latihan Fisika agar nanti bisa dicontek. Sebagai gantinya kedua remaja ini akan patungan membeli jajan untuk perempuan itu.

Seperti mengingat sesuatu, Dion menghentikkan senandungngnya."Rel, gue pengen nanya sesuatu sama lo."

Aurel melirik cowok itu. "Serius banget, sih. Nanya aja, kali."

"Soal yang waktu itu lo dikeluarin Pak Dika dari kelas gegara ketahuan ngirim surat ke Syabila."

Aurel mengangguk. "Kenapa?"

"Yang dibaca Pak Dika itu bener?"

Sontak langkah Aurel terhenti. "Kenapa lo nanya gitu?"

Dion mengedikkan bahu. "Entah. Gue kepikiran terus sama itu. Trus juga penasaran aja. Lagian, tingkah lo akhir-akhir ini aneh."

"Kelihatan, ya?" tanya Aurel cemas.

"Apanya?"

"Tingkah gue?"

"Jadi beneran?"

Aurel mengangguk.

"Siapa?"

"Menurut lo?"

Dion terlihat berpikir sebentar. Lalu matanya membulat, persis seperti reaksi Putri kemarin. Dan dengan begitu Aurel langsung membekap mulut cowok itu.

"Jangan bereaksi kayak apa pun! Dan jangan sampe Syabila tahu!" peringat Aurel. Sekilas memerhatikan keadaan sekitar. Setelah dirasa Dion mengerti ucapannya, ia menurunkam tangan dari mulutnya.

"Kok bisa, sih, Na? Dari kapan? Gimana caranya?"

Aurel menarik napas. "Lo tau 'kan emang kita udah lama chat-an sama dia. Tapi yang biasa aja, sih. Trus juga kita pernah jalan bareng dua kali."

"Trus?" tanya Dion, masih mengejar penjelasan Aurel.

Aurel meringis. "Sorry, Yon. Gue sama sekali gak kepikiran, beneran."

"Terserah, pokoknya lo harus ceritain semuanya sama gue, kalo nggak gue laporin Syabil."

"Ck, iya-iya."

Mereka lalu terdiam. Aurel yang menghela napas membuat Dion menoleh padanya.

"Tapi, ya, gitu, Yon. Gue takut." Dion menaikkan sebelah alisnya. "Lo tau 'kan gosip miring soal Kak Alfi? Gue takut dia cuman main-main, dan gue malah berkahir kayak sebagian mantannya."

Dion menepuk-nepuk pundak gadis itu. "Udah dibawa santai aja, nggak usah terlalu mikirin."

"Nggak bisa, Dion. Gue juga ngerasa ini terlalu cepet. Pas gue bilang kayak gitu juga kata Kak Alfi lebih cepat lebih baik. Bingung gue," jelas Aurel.

Mereka kemudian sampai di kantin. Masing-masing membeli jajan mereka tak lupa dengan milik Syabila. Saat hendak kembali mereka tak sengaja melihat Alfi bersama teman-temannya. Yang membuat hati Aurel sakit adalah karena ada Baby juga di sana. Mereka kelihatan sangat akrab seperti terkahir kali ia melihat keduanya bersama.

Dion tidak tahu kalau sebenarnya Aurel sudah menyadari kehadiran kakak kelas mereka itu, sehingga ia menyenggol lengan Aurel dan mengarahkan dagu pada Alfi.

Alfi kembali melihat pemandangan yang tidak menyenangkan baginya. Ia hanya bisa memberika senyum tipis yang dipaksakan pada Dion. Ternyata jarak mereka yang tidak terlalu jauh tetap tidak bisa membuat Alfi menyadari kehadirannya. Atau memang ia yang terlalu asik berbincang dengan Baby di sampingnya.

Apa memang pria itu benar-benar ingin mereka backstreet?

Bayangan kejadian semalam terputar. Alfi yang pergi ke rumahnya hanya karena balasan singkat Aurel saat mereka saling mengirim pesan sebenarnya membuat Aurel luluh dan merasa pria itu sangat gentle. Cowok itu yang relamalam-malam ke rumahnya agar bisa minta maaf.

Tetapi Aurel sekarang berpikir, apa permintaan maaf itu termasuk dalam segala sikap manis palsu Alfi yang ia dengarkan dari teman-teman sekelasnya?

"Rel, kalo lo lagi banyak pikiran, boleh 'kok cerita sama gue. Nggak jago ngasih solusi, sih. Tapi setidaknya beban lo terbagi," kata Dion.

Aurel menarik napas dan tersenyum tulus. "Makasih, Yon."

🐛🐛🐛

Double update, eh? (2)
Gimana part kali ini? Ada yang penasaran kenapa Alfi kayak gitu sikapnya? Kalo penasaran yuk pantengin terus cerita ini hehe
Jan lupa vommentnya temans!
Tencuuu

31 Mei 2020
~zypherdust💋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro