Chapter 24🍭

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Guru mata pelajaran terakhir di kelas Aurel--yang tak lain adalah Pak Dika--baru saja keluar. Padahal masih ada sepuluh menit sebelum bel pulang berbunyi. Anak-anak tidak ada yang berani keluar karena pria separuh baya itu sempat memperingati mereka untuk tetap di kelas sampai bel berbunyi. Kalau ada yang melanggar maka Ia akan masuk kembali ke kelas dan mengadakan post test.

Aurel sudah siap dengan tas di punggungnya. Menatap ke arah papan tulis dengan pikiran yang melayang. Syabila di sampingnya melihat Dion yang tengah fokus bermain game cacing dengan pandangan mencemooh sebelum kembali membaca novelnya.

Suara bisik-bisik para teman perempuannya membuyarkan lamunan Aurel. Ia biasanya tidak terlalu tertarik, tetapi karena topik yang kini sedang dibicarakan merekalah yang berhasil membuat Aurel menajamkan telinganya.

"Perasaan gue kek liat mereka berdua terus, deh. Kayak lem. Tapi tetep aja kenapa sweet banget, sih, mereka."

"Udah pacaran, kali."

"Ah, masa sih?"

"Kalo dari yang gue liat, ya, Kak Baby itu bukan tipe cewek yang nempel-nempel padahal belum jadi pacar."

"Hm, iya juga, sih."

"Paling juga nggak sampe seminggu hubungannya."

"Iya bener, bisa juga, mengingat cowoknya playboy."

"Tapi semoga kali ini Kak Alfi gak main-main lagi. Lagian, selama dia.pacaran sama cewek, belum pernah ada yang kek gini."

Aurel menoleh dengan cepat, menatap tajam ketiga perempuan itu.
Sejurus kemudian salah satu dari mereka menoleh dan tak sengaja melihatnya. Temannya itu menaikkan sebelah alis. "Kenapa lo?"

Aurel yang tersadar langsung menggeleng dan memaksakkan senyum. Ia lalu kembali menghadap ke depan dengan muka yang merengut kesal.

Tak berapa lama bel pulang berbunyi. Aurel pun bangun dan berjalan keluar tanpa menunggu Syabila mau pun Dion.

Di luar gedung sekolah, Dion dan Syabila berhasil menyusul Aurel. Mereka bertiga berjalan berdampingan di halaman sekolah. Saat itulah Aurel mendapati segerombolan siswa yang keluar dari arah sebalah kanan gedung sekolah. Tetapi maniknya hanya bisa berfokus pada dua orang saja. Dua remaja yang saling berdampinga. Yang perempuan sedang berbicara dan yang laki-laki tampak mendengarnya sambil tersenyum manis.

Gerombolan itu melewati Aurel. Tetapi tidak satu pun dari mereka yang terlihat menyadarinya. Oh, tentu saja, mereka bahkan tidak mengenalnya. Tetapi berbeda dengan Alfi yang adalah pacarnya, tetapi pria itu bersikap seolah tidak mengenalnya.

Aurel mengepalkan tangannya. Lantas meraih ponsel di saku seragam dan mencari nomor Alfi. Kemudian ia menempelkan benda pipih itu di telinga sambil terus menatap Alfi yang berjalan semakin menjauh. Lelaki itu tidak mengangkat panggilannya.

Aurel berusa menggerakan bola matanya ke berbagai arah guna mencegah adanya cairan bening yang turun. Ia lalu mengetikkan sebuah pesan untuk dikirimkan pada cowok itu.

Kita jalan yuk, Kak.

🐛🐛🐛

Aurel bergegas keluar dari rumahnya begitu mendengar suara mesin mobil. Berlari dan langsung memasuki mobil sebelum Alfi sempat keluar membuat pria itu menatapnya bingung. Aurel memang merasa dirinya tidak sopan, tetapi biar saja, ia sedang kesal sekarang.

"Nggak mau pamit dulu?"

"Nggak usah," jawab Aurel tanpa menoleh.

Alfi menganggukkan kepalanya dan mulai menyalakan mobilnya. Bertanya-tanya dalam hati apa gerangan yang membuat pacarnya bertingkah aneh. Ia melirik sekilas pada perempuan itu yang sedari tadi hanya menatap ke depan tanpa ekspresi.

"Kamu kenapa?" tanyanya. Tetapi sepertinya Aurel terlalu asik melamun sehingga tidak mendengarnya.

"Dek?" panggilnya, mengalihkan atensi sepenuhnya pada gadis yang duduk di sampingnya. Masih, Aurel tetap bergeming di tempatnya.

Alfi kemudian memberanikan diri untuk menyentuh lengan gadis itu. Refleks Aurel menoleh dangan terkejut.

"Kamu kenapa?"

Aurel memperbaiki posisi duduknya. "Nggak, nggak papa," jawabnya kikuk.

"Kita mau ke mana?" tanya Alfi membuka pembicaraan. Ia tak mau membiarkan gadis itu melamun lagi. Pertanyaan Alfi hanya dibalas kedikkan bahu Aurel, padahal cewek itu yang mengajaknya keluar.

"Kamu udah makan?"

"Belum."

"Kita makan dulu aja."

Aurel menolehkan kepalanya. "Di restaurant seafood yang kemarin aja gimana?"

"Kamu mau makan itu?" tanya Alfi setelah sebelumnya menatap Aurel sekilas.

"Nggak juga, Kakak kan suka seafood."

"Di tempat lain aja," saran Alfi.

"Kenapa emanganya?"

"Aku gak lagi pengen makan seafood." Aurel tak mau terlalu ambil pusing dengan alasan cowok itu dan menyutujuinya.

Selang dua puluh menit mobil yang dikendarai Alfi terparkir di depan sebuah tempat makan di kawasan pusat kota. Tetapi bangunan dengan warna coklat kayu itu tampak tidak terlalu ramai. Ada tanaman rambat menghiasai area depan dengan lampu-lampu kecil yang temaram.

Alfi mangajak Aurel turun dari mobil dan menggenggam tangannya untuk.ia bawa masuk. Aurel tentu saja kaget dengan perlakuan tiba-tiba cowok itu. Jantungnya berdetak tak karuan hanya karena genggaman itu.

Seperti terakhir kali, telapak tangan Alfi dingin. Tetapi Aurel pikir itu bukan karena suhu udara. Karena walaupun angin berhembus cukup kencang, ia merasa tidak terlalu dingin.

Sampai di dalam, Aurel membiarkan Alfi memesankan makanan dan minumaan untuk dirinya. Kemudian menunggu selama sepuluh menit sampai akhirnya pesanan meraka datang. Sepasang remaja menyantap makanan di depan mereka dengan diliputi kehiningan.

Benar-benar hening. Aurel sampai merasa aneh sendiri karena ia harus diam untuk waktu yang lama. Ia ingin membuka pembicaraan, tetapi malas mengingat ia sedang dalam mode kesal pada kakak kelasnya itu. Gadis itu semakin bertambah kesal karena Alfi yang bahkan tidak berinisiatif untuk memulai percakapan.

Setelah waktu yang Aurel rasa sangat panjang ia lewati karena terus saja diam, mereka berdua kini kembali duduk di dalam mobil putih Alfi. Aurel tidak tahan lagi. Ia hendak membuka suara untuk mengatakan suatu hal yang menjadi tujuan awalnya untuk mengajak Alfi keluar,ketika tiba-tiba saja cowok itu yang malah bersuara.

"Dek, sebenarnya kamu kenapa?" tanya Alfi. Perasaan Alfijuga sebenarnya tidak enak karena atmosfer keduanya sedari ia menjemput Aurel tadi. Ditambah gadis itu yang sama sekali tidak mengeluarkan suara saat mereka makan tadi, membuatnya semakin yakin ada yang salah dengan Aurel. Sementara itu Aurel dengan terpaksa menutup mulutnya.

"Kamu masih marah?"

"Menurut Kak Alfi?" kata Aurel sambil menoleh. Melayangkan pandangan kesal pada pacarnya itu.

Wajah Alfi kelihatan sekali bingung dengan tingkah Aurel. "Coba jelasin."

Hanya dua kata, tetapi sanggup membuat Aurel mengalihkan pandangan ke arah luar. Tidak berniat menjawab karena merasa malu dengan alasannya nanti.

"Aku mana bisa ngerti kalo kamu gak jelasin," kata Alfi lagi sembari menatap Aurel lekat.

Aurel masih melihat ke arah luar. Ia menyadari tatapan Alfi padanya. Justru itulah penyebab paling besar kenapa gadis itu tidak berani menoleh dari pada alasan yang akan diberikan gadis itu.

"Rel," Alfi menyentuh lengan Aurel.

"Aku cemburu," tukas Aurel. Gadis itu langsung menutup mulut saat menyadari apa yang telah dikatakannya. Untuk beberapa saat ia gelagapan karna ingin berbicara, tetapi akhirnya kembali terdiam.

"Cemburu sama siapa?"

Aurel rasanya ingin menjatuhkan rahangnya saja saat mendengar pertanyaan Alfi. Apa dia benar-benar tidak sadar dengan apa yang sudah dilakukannya?

Aurel menarik napas dan memutuskan untuk mengatakan semuanya. Dilihat dari Alfi, ekspresi cowok itu memang menunjukkan kalau ia sama sekali bingung dengan ucapannya. Dan juga, Aurel juga sudah terlalu dongkol untuk menahan ini semua. Sekali bukan masalah ia tidak dipedulikan Alfi, tetapi tiga kali? Aurel tahu mereka baru saja berpacaran, tetapi setidaknya cowok itu memberitahunya apakah mereka harus backstreet atau tidak. Bukannya terus mengacuhkannya di depan umum seperti sebelum-sebelumnya.

"Kak Alfi selalu nyuekin aku tiap kita papasan di sekolah. Udah 3 kali. Iya, sih, kita emang baru pacaran, tapi tetep aja. Trus juga sering banget aku liat Kakak selalu jalan sama Kak Baby."
Alfi terdiam beberapa saat, sampai akhirnya ia mengangguk. "Maaf," katanya pelan.

Aurel melirik pada Alfi yang tampak menunduk, dalam hati merasa tak enak. Gadis itu entah kenapa jadi merasa kesal sendiri, perasaan di sini Alfi yang salah, tetapi kenapa setiap cowok itu meminta maaf malah ua yang merasa bersalah?

Memikirkan semua itu membuat Aurel ikut menarik napas. "Nggak papa, Aku aja yang terlalu lebay. Maaf, ya, Kak."Aurel menoleh, menatap Alfi dengan senyum canggung.

"Aku janji nggak bakal buat kamu ngerasa kayak gini lagi," kata Alfi. Aurel awalnya merasa itu biasa saja. Tetapi melihat kesungguhan dan tekad cowok itu dari matanya, membuatnya tersenyum.

Aurel mengangguk. "Iya, Kak."

Alfi lantas menyalakan mobilnya dan keluar dari area parkiran. Tidak seperti tadi, kini mereka mulai sedikit saling berbicara. Diam-diam Aurel merasa lega.

Tak berapa lama mereka sampai di rumah Aurel. Kedunya belum turun dari mobil.

"Maafin aku, ya?" pinta Alfi.

Aurel terkekeh melihat cowok itu. Kemudian mengangguk. Mereka berdua lantas keluar bersamaan dari mobil.

Alfi mengarahkan dagu pada rumah Aurel. "Aku pamit, ya?"

"Nggak ada orang, Kak, di rumah."

"Kamu nggak takut di rumah sendirian?"

"Udah kebal. Lagian siapa yang mau gangguin aku," Aurel terkekeh. "Aku suka males kadang kalo diajak Papa Mama keluar, bawaannya capek mulu."

🐛🐛🐛

Hai guys!
Aku update lagu yuhuuu~
Hm, ada apa dengan Alfi? wkwk
Penasaran? Stay tune guys!
Jan lupa vomment!
Tencuuu

6 Juni 2020

~zypherdust💋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro