Bagian 03 | Musim Dingin yang Panas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Musim dingin di akhir bulan Desember, tidak ada kehangatan seperti makan makaroni panggang yang baru keluar dari oven. Keadaan antara satu orang dewasa sepaket tatapan menghakimi kepada anak berusia dua belas tahun menciptakan hawa panas.

Oh Tuhan, jika bisa Lim Hyunsik ingin segera membuka sweternya, lalu menyisakan baju putih tipis dalamannya saja.

Kedua tangan sudah berkeringat, Hyunsik hanya menunduk, seolah-olah basah tangan adalah sebentuk impian tanpa standar yang bisa tergenggam. Dia hanya tidak berani melihat ke dalam mata sang ayah.

"Kau mau jadi apa, Hyunsik?"

Anak yang ditanya menelan ludah. Mau jadi apa? Hyunsik tidak tahu, dirinya hanya memikirkan betapa menyenangkan kala menekan bilah-bilah piano.

"Ayah tanya sekali lagi, kau mau jadi apa?" Nada Lim Geun Suk meninggi, menekan tiap kalimat yang tidak cocok untuk diperdengarkan kepada anak seusia Hyunsik.

Masih bungkam.

Ketidakberanian Hyunsik selain menatap ayahnya adalah, tidak berani mengungkapkan apa yang menjadi keinginan.

"Jangan kau pikir libur sekolah berarti libur belajar lalu bisa bermain sesuka hatimu. Kau bolos les demi bermain piano? Kelak sudah dewasa, kau hanya akan main benda itu?"

Panasnya suasana menular pada perasaan Hyunsik. Anak itu ingin menangis, tapi menahan karena takut ayahnya tambah marah.

"Apa yang akan kau dapatkan dari bermain piano? Ingin menjadi pianis?" Geun Suk membuang napas, itu seperti minyak tanah yang bikin sekitar kebakaran dan menimbulkan lebih intensitas panas.

"Bermain piano tidak akan membuatmu kaya, Hyunsik. Dari bermain piano kau tidak akan bisa berdiri tegak dengan pandangan yang tegas. Buatlah dirimu tidak bisa dipandang rendah oleh orang lain dengan kepintaran, bukan dengan bermain piano!"

Mutlak.

Kalimat ayahnya memberi pengaruh besar dalam cara berpikir Hyunsik. Diam-diam Lim Hyunsik berjanji untuk menjauh dari piano, menjauh dari kebahagiaannya ketika mendengar suara benda itu dengan warnanya yang khas. Hyunsik hanya akan belajar terus-menerus seperti keinginan sang ayah, menjadi pintar karena itu prioritas dari ayah.

Iya, dari Lim Geun Suk. Bukan keinginan penuh Hyunsik. Anak itu menekan diri, kesekian kalinya.

Jika kau tidak mau menghadapi ayah yang marah begitu lagi, jangan bermain piano.

Kembang api tercetus menghias langit sesaat Geun Suk keluar dari ruang panas. Suara berisiknya malam tahun baru, Hyunsik tidak suka, keindahan bunga api di langit seperti mengolok Hyunsik yang tengah hancur dari dalam.

Samar-samar, suara ibu dan ayahnya menyapa pendengaran Hyunsik. Warna suara ibu yang seperti buah pir mendominasi suara ayah yang biru kehitaman.

"Tidakkah kau keterlaluan? Kasihan Hyunsik."

"Apa yang keterlaluan dariku? Berlaku keras, kau bilang aku keterlaluan? Tidak, aku memang harus mendidik Hyunsik keras, agar dewasa bisa berguna. Ini juga demi kebaikan dia, 'kan?"

"Demi kebaikan Hyunsik, aku tahu, tapi dia juga butuh bermain. Setelah Hyunsik masuk sekolah junior, kau makin keras. Kau membolehkan Junsuk main bersama teman-temannya, mengapa tidak Hyunsik juga?"

"Pohon yang tumbuh dari bibit aslinya, pasti akan besar sesuai bibit. Kita ini sedang mengurus bibit orang lain. Jika ditanam dengan cara yang sembarang, hanya akan menjadi pohon busuk dan buat malu."

Ledakan petasan sekali lagi terdengar. Hyunsik menatap kaca jendela ruangan usai puas melihat warna suara ayah dan ibunya. Bayangan anak yang sedang duduk dengan raut tidak terbaca itu terlihat buram.

Bunyi ledakan membabi buta, Hyunsik semakin tidak menyukai petasan. Seolah-olah petasan itu berbahagia, dan hanya Lim Hyunsik yang bersedih, sendirian.

•••

Dalam kelompok, jika salah satu anggota melontarkan jenaka, lalu tertawa atas gurauannya, anggota yang lain juga akan ikut terbawa arus, tertawa bersama-sama; tidak peduli jika itu hanya formalitas, rasa tidak enak kepada teman, atau sesuatu yang disebut solidaritas.

Mereka hanya tertawa selayaknya hari itu adalah kebahagiaan. Namun, di balik semua tawa yang terdengar, tahukah bahwa tidak semua tawa adalah gambar dari perasaan gembira?

Lim Hyunsik menyadari itu, menyadari bahwa tidak semua teman-temannya merasa senang ketika tertawa. Jelas terlihat dari warna suara yang menguar. Maka, Hyunsik senantiasa menjadi penggembira bagi teman-temannya, melontarkan candaan hingga salah seorang teman ingin buang air kecil karena saking kencang ia tertawa.

Meja makan kantin rumah sakit memang ramai, tapi yang paling heboh adalah meja di mana Lim Hyunsik berada: penuh tawa teman-teman yang sering makan bersamanya. Dari dokter bedah saraf, dokter anak, sampai perawat. Jika ada cleaning service yang boleh duduk di sana, mungkin Hyunsik akan mengajak makan bersama juga. Hyunsik tidak pernah pilih-pilih teman, kepribadiannya yang ramah acapkali dikagumi orang-orang, terlebih Lim Hyunsik bisa menjadi pendengar yang baik bagi teman-temannya.

Namun, Hyunsik tidak pernah penasaran, atau bertanya kepada diri sendiri; mengapa kala merasa gundah, tidak ada seseorang bersamamu?

Seperti sekarang, Hyunsik yang sendirian di tangga darurat, dipenuhi gumpalan berat usai makan bersama teman-teman.

Perasaan yang kacau, menjadikan Hyunsik otomatis menjauh dari keramaian, berjalan tertatih-tatih untuk sampai sini, menduduki anak tangga—tempat di mana jarang ada orang yang berlalu lalang.

Keringat dingin membanjiri tubuh, baju dalamnya basah. Hyunsik memejamkan mata, menekan kuat-kuat dada, sesekali memukul arah yang ditekan untuk menetralkan perasaan yang menyakitinya.

Seperti tercekik, napasnya membeku, Hyunsik tidak leluasa bernapas.

Ketika Ahn Ha Joo menepis hiburannya, Hyunsik kecewa, tapi tidak merasa sakit. Lagi pula, hari ini Ha Joo telah meminta maaf atas sikapnya kemarin yang terkesan keterlaluan. Hati Hyunsik mencair oleh permintaan maaf itu, sehingga membuatnya langsung menerima, dan memberi kata 'tidak apa-apa'.

Itu bukan masalah. Rasa sakit yang tidak tahu datangnya dari mana yang menjadi masalah.

Kesakitan memuncak, Hyunsik tidak bisa menahan, sampai tingkat pukulan pada dadanya semakin kencang seraya mendesiskan kekesalan.

Dalam keadaan seperti ini, Hyunsik kian memandang rendah diri sendiri. Pun, membenci diri adalah hobi Hyunsik kala kesakitan.

•••

"Apa Dokter Lim akan memberikannya lagi kepada orang lain?"

Hyunsik mendongak, beralih dari fokus melihat lembar kertas di genggaman.

Menyadari maksud perawat, Hyunsik mengangguk. "Ada orang di luar sana yang lebih membutuhkan dariku."

"Kalau begitu, apa boleh untukku?" Si perawat agak kikuk saat Hyunsik kembali memandangnya. "Aku sedang diet tanpa nasi, jadi hanya memakan buah. Jika Dokter Lim membolehkan...."

"Tentu saja." Hyunsik mengembangkan senyum, melihat betapa perawat itu gembira. Dia memberikan kertas laporan lebih dulu, dan menggeser susunan buah ke arah perawat.

"Terima kasih Dokter Lim!"

"Ibu dari pasien itu yang beri," sahut Hyunsik. "Beliau yang semestinya mendapat ucapan terima kasih darimu."

Perawat menggeleng tegas. "Dari tangan beliau, Dokter Lim mendapatkannya. Nah, aku mendapatkan ini dari tangan Dokter Lim."

Hyunsik hanya menanggapi dengan satu gerak bibir; senyuman. Itu saja sudah membuat orang terberkati rasanya. Dia memang tidak pelit tersenyum.

Sesaat perawat keluar, pintu ruangan Hyunsik kembali terbuka. Spontan, Hyunsik  berdiri dari duduk saat tampak wajah seseorang yang sangat dihormati.

"Dokter Lim," sebutnya. Suara itu terdengar menyenangkan. Dua orang lain mengekor di belakang. "Ada pekerjaan tambahan untukmu, tidak masalah, 'kan? Tidak mengganggu pekerjaanmu, kok."

Seorang perempuan dan laki-laki di samping Ketua Yin membungkuk sopan kepada Hyunsik.

"Mereka membutuhkan—"

"Lebih tepatnya dia yang butuh, aku hanya mengantar," tukas laki-laki muda, yang langsung disikut oleh perempuan di sebelah.

"Iya, gadis ini membutuhkan bantuanmu. Selama tiga hari, jelaskan kepadanya hal-hal yang dia ingin tahu, ya."

"Maksudnya... dia anak magang?" tanya Hyunsik, dan si ketua menggeleng, lalu memberi kode kepada perempuan satu-satunya dalam ruangan untuk menjelaskan.

"Aku membutuhkan dokter spesialis mata untuk cerita yang akan kutulis. Ini semacam riset," jelasnya. Hyunsik pikir, perempuan itu sudah selesai berbicara, tahunya ia hanya menarik napas untuk penjelasan detail yang panjang.

"Alasan mengapa harus riset dengan dokter ahli langsung, karena informasi di internet kurang, aku juga tidak bisa memercayai sepenuhnya apa yang tertulis di artikel, terkadang pun infonya dangkal. Mengapa aku memilih Dokter Lim, sementara banyak dokter sepesialis mata di rumah sakit ini, sebab Dokter Lim yang paling kompeten, itu yang tersuara dari Dokter Kepala Yin. Oh iya, namaku Kim Sangeum. Pengarang dari... dari mana ya? Ah, benar! Sebetulnya aku pengarang lepas yang tidak terikat kontrak dengan penerbit mana pun, hehe. Mohon bantuannyaa...." Perempuan itu membungkuk sopan sekali lagi.

Hyunsik mengangguk kaku untuk tanggapan paling baik. Entah mengapa, perempuan itu yang menjelaskan panjang lebar, Hyunsik yang merasa terengah-engah.

"Kau menjelaskan segala hal, tapi lupa kepada orang yang ikut denganmu?" Laki-laki di samping Sangeum berbisik menyebalkan.

"Oya, baru ingat. Dia Jim, temanku." Sangeum menepuk keras lengan temannya secara sengaja; balasan atas bisik-bisiknya yang seperti serangga barusan.

Laki-laki itu maju selangkah. "Nama lengkapku Park Jimin, kau bisa memanggilku apa saja, Jimjim, Jim, atau Ncim? Itu yang teramat manis di antara panggilan yang tersemat untukku. Kau juga bisa memanggilku dengan lebih manis, seperti Sweatheart? Hanya saja, karena kita sesama jenis, kusarankan untuk tidak menggunakan panggilan terakhir. Salam kenal."

Sungguh, tidak ada manfaat sama sekali dari kalimat perkenalan Jimin. Sangeum sampai ingin menendang temannya, tapi bagaimana lagi, tidak mungkin bersikap lebih kasar dari mencubit pinggang Jimin. Ini mereka tengah berada bersama dua dokter yang pasti ketat menjaga etika.

"Bagaimana, Dokter Lim? Kau bisa? Katanya, dia takkan membebani dirimu, kalau kau merasa terbebani atau terganggu, boleh tidak lagi memberi informasi apa-apa." Sang ketua kembali angkat bicara.

Sejenak, Hyunsik terdiam, memandang dua orang yang menghias wajah dengan senyum paling konyol: Hyunsik hanya merasa begitu.

"Baiklah, Dok. Aku usahakan membantu, semampuku."

Keringat, pasang tangan bertaut yang bergetar, berdirinya di balik meja yang sedikit tidak tegak. Jimin memerhatikan Lim Hyunsik.

"Wuahhh! Yasss!" Sangeum gaduh, kelepasan akibat terlalu senang, sementara Jimin berdecak karena suara si teman sudah memecahkan perhatiannya.

"Norak." Desisan Jimin untuk Sangeum tidak terdengar oleh orang yang dimaksud. Namun, suara sekecil itu dapat dilihat Hyunsik.

Suara merah muda. Lim Hyunsik menyukai warna lembut Jimin.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro