Bagian 04 | Menerima dan Memberi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ahli oftalmologi yang tidak pernah gagal sepertimu tahu apa? Jangan sok tahu."

Tidak pernah gagal, ya?

Kenyataan bahwa Hyunsik dan Ha Joo melihat peristiwa dari lensa berbeda, memancing Hyunsik kembali belajar tentang cara putar dunia.

Dalam hal pekerjaan, Hyunsik boleh jadi jarang gagal. Namun, Ahn Ha Joo tidak tahu, bahwa untuk bertahan sampai ke titik sekarang, titik yang dapat Ha Joo lihat dengan mata telanjang, ada begitu banyak goresan kelabu yang mengikat bahu. Lagi pula, kebanyakan orang cenderung buta atas proses.

Hari itu, saat gelap menguasai bumi bersama segala kepekatannya, Hyunsik mengayunkan kaki keluar dari rumah sakit sambil memikirkan; memang, apa yang kau harapkan dari manusia? Memahami dirimu, atau bersikap seperti bagaimana dirimu bersikap? Berharap bukan suatu dosa, tapi berharap kepada manusia adalah satu musibah. Toh, Hyunsik tidak pernah mengharap meski secuil, kebaikannya dibalas. Karena ketika kau memberi daging kepada orang lain, belum tentu orang itu juga akan memberimu daging berkualitas sama.

Cahaya terang dalam hati Hyunsik menyala, pemikiran sebagai bahan bakar, lantas memangkas habis pernyataan nyelekit dari kalimat Ahn Ha Joo di depan aula duka.

Menyusuri trotoar dengan langkah pendek untuk sampai halte sudah menjadi rutinitas Hyunsik setiap hari, tapi seringnya kau tidak pernah tahu akan ada kejadian apa tiap waktu, bukan? Seperti Hyunsik yang tiba-tiba mendekati sosok bungkuk bertongkat.

Seorang kakek terlihat ragu menyeberang, dan Hyunsik mendekap lengan sang kakek tanpa persetujuan, bersama senyum ramah sekalian. Kakek turut menarik kedua sudut bibir kering kala Hyunsik menuntunnya menyeberang jalan.

"Kakek mau ke mana?" tanyanya. Si kakek hanya mengikuti langkah Hyunsik perlahan tanpa menjawab, atau... tidak punya jawaban?

"Mau kuantar? Nanti, bilang saja tempat tujuan Kakek. Bagaimana?"

Hyunsik memang tidak menyetir kendaraan pribadi, mobilnya dibiarkan mendekam di basement. Antar di sini berarti Hyunsik hanya akan menemani si kakek. Ini sudah malam, tidak seharusnya orang tua berada di jalan sendirian. Orang tua ibarat anak kecil yang butuh pengawasan.

"Heeei, berhenti!"

Lantas tubuh Hyunsik berputar sedikit usai menghentikan langkah, melihat sosok pria berlengan besar mendekat arahnya. Seperti ada bisikan bahwa Hyunsik harus berhadapan dengan orang tersebut, maka itu yang terjadi.

"Mau dibawa ke mana ayahku?!"

Apa orang ini tidak bisa mengendalikan suaranya? Melepas tangan dari sang kakek, Hyunsik melirik sebentar kepada orang tua di samping, lalu meneliti pria berotot di hadapan.

Bukan hanya kedua lengannya yang besar, dadanya juga membusung tegas, pasti jika disentuh amat keras. Wajahnya garang, sudah cukup mempresentasikan bahwa orang ini akan dengan mudah mematahkan tulang.

"Sini, Ayah." Ia menarik bahu kakek yang hanya diam, memosisikan beliau di sampingnya. "Kau mau menculik ayahku, ya? Sekarang ini sedang marak penculikan orang tua. Jangan-jangan, kau salah satu komplotan penculik?"

"Ye?" Kedua alisnya terangkat otomatis. Percayalah, itu suara spontanitas Hyunsik.

Sebentar, Lim Hyunsik baru pernah dengar. Biasanya yang menjadi sasaran penculik adalah anak-anak, lalu... tunggu. Terlepas dari kejanggalan sasaran penculik, mengapa pria ini mudah sekali menerjang orang lain dengan tuduhan begitu?

"Maafkan aku. Tadi kupikir beliau sendirian dan mau menyeberang, jadi..."

"Alasan."

Rasanya susah sekali hanya untuk menelan ludah, kerongkongan terasa menyempit. Hyunsik ditinggal di tengah jalan, ditemani sorot lampu dari mobil-mobil yang menunggu simbol lalu lintas berganti.

Kedua kakinya masih terpaku di atas zebra crossing, bahkan setelah beberapa kali suara klakson memenuhi pendengaran. Arah matanya hanya memandang kedua punggung yang kian menjauh. Kedua punggung yang tadi masih bisa Hyunsik lihat bagaimana rupa mereka.

"Kau mau mati, ya?!"

Teriakan salah satu pengendara yang merasa jalannya terhalang tubuh Hyunsik berteriak, hampir menerbangkan sumpah serapah kalau Hyunsik tidak buru-buru menyingkir; sadar bahwa ini bukan saatnya untuk melamun.

•••

Ban besar bus secara garang menindih aspal jalan, melaju, terkadang menyelip antara kendaraan lain jika ada kesempatan. Hyunsik menaiki bus kedua malam ini, akibatnya masih banyak penumpang yang berlomba menaiki bus, dan sekarang penuh. Hyunsik mesti berdiri, membiarkan seorang anak duduk di kursi—yang harusnya tempat Hyunsik—samping sang ibu.

Wajah si anak seputih kertas buku gambar yang kaku, Hyunsik mana tega membiarkannya tidak leluasa duduk dan hanya berada di pangkuan ibunya? Itu mungkin masalah pertama yang telah terselesaikan. Masalah kedua...

Ketika bus bergejolak akibat markah kejut, anak itu mengeluarkan isi perut beraroma tidak sedap. Cairan kental berwarna cokelat sedikit kekuningan berhasil mengotori bagian bawah baju serta celana Lim Hyunsik.

"Astaga, maaf. Maafkan... ah, ya ampun, bagaimana ini...." Ibu dari sang anak betul merasa bersalah, bisa terlihat dari geraknya yang panik mencari sesuatu di dalam tas.

Mungkin, saking tidak bisa menahan mual ditambah tidak ada kantong plastik, anak yang berada di sisi membuang muka sekaligus muntahnya ke arah Hyunsik. Seandainya si anak duduk di dekat jendela yang tengah ibunya duduki, ini tidak akan terjadi. Namun, seperti yang sudah tertulis dalam catatan Tuhan, maka akan terjadi juga sejauh apa pun menghindar, 'kan? Maka, tanggapan Hyunsik sangat sederhana.

"Tidak masalah." Segaris lengkung terpampang rapi pada bibir. Hyunsik mengusap kepala sang anak yang kini mendongak, demi menatap pasang mata Hyunsik. "Kau sakit, ya?"

Anak perempuan berkepang dua di sisi kanan kiri kepalanya itu mengangguk, membuat senyum Hyunsik tambah mekar.

"Dia habis periksa, dokter bilang tukak lambung," kata si ibu, kemudian mengulurkan selembar saputangan. "Pakai ini untuk membersihkan bajumu. Maaf sekali lagi."

"Tidak apa," sahut Hyunsik, lalu menerima saputangan. Alih-alih membersihkan baju sendiri, dia justru membersihkan sisa muntah di sudut bibir si anak, juga depan bajunya. "Cepat sembuh, ya."

Hyunsik mengembalikan saputangan yang sempat mampir di genggamannya kepada sang ibu kemudian. "Terima kasih."

Tidak lama, bus berhenti di halte dekat apartemennya. Hyunsik segera turun, menimbulkan bersicengang yang belum selesai dari ibu si anak. Bukankah aku yang mestinya mengucapkan terima kasih?

Keburukan seolah belum lelah mendekati Hyunsik. Sampai di rumah, dia yang sudah bersih-bersih diri dan bersiap memasak, mesti terhalang gas yang habis. Di situ, Hyunsik tidak bisa menahan diri lagi.

Lim Hyunsik berteriak penuh kesal atas apa yang terjadi hari ini. Dia merasa harinya buruk, karena tindakan yang diambil selalu salah. Dari kata penghibur untuk Ahn Ha Joo sampai memutuskan membantu si kakek. Lalu sekarang, Hyunsik baru tahu kalau gasnya habis.

"DASAR BODOH!"

Diikuti suara benda pecah, Hyunsik masih belum tersadar dari kenyataan, bahwa dia sudah melakukan yang terbaik.

"KENAPA HARUS SEBODOH INI, HAH?!"

Hanya saja, kala dirimu bersikap baik kepada orang, belum tentu kebaikan selalu menyertaimu. Lim Hyunsik tahu benar. Dia bisa menelaah dan membaca dunia sedemikian bijak, tapi tidak pernah mau belajar mengenal diri sendiri lebih dalam.

Apa bagusnya memendam perasaan, jika pada ujungnya tidak bisa mengendalikan diri?

•••

"Odeng, bungeoppang, twigim. Kau sebetulnya manusia atau kerbau?" Laki-laki muda itu menggeleng dua kali secara pelan setelah menunjuk satu per satu tusukan sisa makan perempuan yang kini, masih asyik mengunyah odeng. "Sepertinya kau sedang banyak uang, ya? Kau yang bayar semua makananmu, 'kan?"

"Tentu saja... tidak. Kau yang bayar, Jim." Sangeum menjawab, lalu senyum lebar sambil mengunyah. Multitalenta sekali, sekaligus jorok.

"Kau mau aku bangkrut?" Jimin merasa salah bertanya barusan, respons Sangeum adalah keburukan. Perasaan Jimin memang sudah tidak enak sejak Sangeum menariknya menuju pedagang kaki lima, lantas mengambil makanan tidak tahu sedikit.

"Kau bukan pengusaha, tidak akan bangkrut." Dengan nada entengnya itu... Park Jimin menarik napas panjang. Sepanjang Jembatan Mapo, bagi Kim Sangeum yang tahu dirinya akan kena petuah, dan benar saja.

"Dengar, Kim Sangeum. Aku sudah bersedia menemanimu ya hari ini. Semestinya aku bangun jam tujuh, karena dirimu aku harus bangun lebih pagi. Jadi bukankah semestinya dirimu yang mentraktirku? Memberi dan menerima, menerima dan memberi, kau tidak tahu?"

Memberi dan menerima....

Sosok wanita di balik dagangan terguncang dari dalam, selayaknya tsunami yang mampu mengubrak-abrik hati secara kejam. Arah mata menatap sosok Jimin yang sedang berdebat sengit bersama temannya.

"Kau tidak ikhlas?" Sangeum menghabiskan satu tusuk makanannya lagi. "Jangan dipikir aku tidak tahu. Memberi dan menerima, tapi terkadang kau bisa memberi tanpa harus menerima. Ketika kau menerima juga, tidak mesti memberi. Itu namanya ketulusan. Belajarlah tulus!"

Sangeum mengatakan itu sambil menggerak-gerakan tusuk bekas tokkebi yang baru selesai ditelan—persis di depan hidung Jimin. Siapa yang tidak merasa tersudut kalau begini?

"Aih, kau...." Jimin geregetan, dan Sangeum menjulurkan lidah guna mengejek Jimin yang tidak bisa mendebatnya.

Usai kenyang merayap dan menimbulkan serdawa nikmat, Sangeum menghadap sang penjual. "Seluruhnya jadi berapa, Bi? Dia ya yang bayar." Kim Sangeum menunjuk Jimin menggunakan dagu.

Wanita itu memaksa senyum sebagai tanggapan. Sebelum menghitung makanan yang telah berada di perut Sangeum, si wanita lebih dulu bersuara, "Benar katamu, ketika kita memberi, tidak harus menerima, dan sebaliknya."

Itu seperti pujian, maka Sangeum tersipu melalui senyum malu-malu macan. Hampir saja Jimin ingin mencakar Sangeum menggunakan kuku-kuku beruang. Ekspresi apa itu? Sok imut, pikir Jimin.

"Lalu, bagaimana ketika kau menerima, tapi harus memberi?"

Arah mata Sangeum bergulir ke arah sisi; tidak ada niat apa-apa, sekadar berpikir saja sambil menatap tiang tenda si pedagang.

"Rendah altruisme, tidak tahu diri."

"Tidak tahu diri?" Jimin menimpali sinis. Terus terang, ia tidak setuju atas tanggapan Sangeum. "Kau tahu, hidup itu memang mesti menerima dan memberi biar seimbang. Dasar ratu rumit, kau menyuruhku belajar tulus, 'kan? Kalau begitu kau juga harus belajar lebih banyak tentang realitas hidup, jangan baca karangan fiksi terus."

Kim Sangeum hampir ingin menyahut kalimat Jimin, kalau tidak mendengar si penjual telah mengatakan berapa harga makanan yang perlu dibayar, tahu bahwa situasi begini harus ada yang menengahi keduanya.

Selagi Jimin mengeluarkan dompet dari saku, wanita itu kembali bersuara guna mencairkan suasana yang mendadak tidak enak. Ia berpikir, bagaimana bisa kata-katanya barusan membuat dua orang ini beradu mulut. Meski sebetulnya sebelum itu pun mereka sudah ribut, sih.

"Kalian mau berangkat kuliah, ya?"

"Tidak, bukan. Kami mau ke rumah sakit Geum." Sangeum yang menjawab, sambil menunjuk arah utara, di mana gedung rumah sakit Geum berdiri tegak. Sementara Jimin memberikan uang sejumlah yang harus dibayar kepada wanita yang mengubah pandangan menjadi tidak terbaca.

"Bekerja di sana?" Si wanita lantas mengambil lembar uang dari tangan Jimin.

Kembali mendapat pertanyaan, Sangeum menggeleng singkat. "Kalau iya aku bekerja di sana, paling-paling jadi tukang lap kaca."

Kalimat Sangeum mengundang tawa Jimin, tapi tawa kepuasan seketika terhenti kala Sangeum menambahkan kalimat.

"Dan dia, hanya akan jadi penambal bocor atap rumah sakit."

"Kau tidak pernah lupa mengasah mulut ternyata," desis Jimin. Paham benar kalau kalimat itu dituju kepadanya. Memang siapa lagi?

Ah, Park Jimin selalu kalah jika melawan Sangeum dengan kata-kata.

"Kami pamit, Bi. Terima kasih makanannya. Odeng Bibi benar-benar enak, nanti—"

"Sangeum, sudah. Perutmu akan buncit, kuyakin, bahkan hanya jika kau membicarakan makanan perutmu bisa membesar." Jimin menukas, sebab tanpa sengaja melihat satu gores luka amat dalam pada sorot si penjual kaki lima.

"Um... kami pergi, Bi. Terima kasih makanannya."

Lengan Sangeum ditarik menjauh oleh Jimin, setelah mengatakan sekelumit jiplakan dari kalimat gadis itu.

Tanpa menoleh lagi ke arah penjual, Jimin tidak ingin melihat lebih banyak luka seseorang. Peribahasa yang mengatakan mata adalah jendela rasa, tidak pernah bohong.

Ia terluka, si wanita pedagang kaki lima.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro